Jurnalisme Warga

Nilai Tasawuf di Aceh, Antara Kemerosotan dan Perkembangan

TAK dapat dipungkiri, Aceh merupakan daerah yang paling banyak mengadopsi syariat Islam dalam hukum otonominya

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Nilai Tasawuf di Aceh, Antara Kemerosotan dan Perkembangan
FOR SERAMBINEWS.COM
ANNAS MUTTAQIN SA, alumnus Dayah Modern Darul Ulum Banda Aceh 2017, sedang menempuh penididikan di Universitas Al Azhar, melaporkan dari Kairo, Mesir

OLEH ANNAS MUTTAQIN SA, alumnus Dayah Modern Darul Ulum Banda Aceh 2017, sedang menempuh penididikan di Universitas Al Azhar, melaporkan dari Kairo, Mesir

TAK dapat dipungkiri, Aceh merupakan daerah yang paling banyak mengadopsi syariat Islam dalam hukum otonominya. Terlepas dari pro dan kontra dari penerapan tersebut, masyarakat Aceh tergolong ke dalam masyarakat yang paling kental dengan nilai-nilai Islam. Salah satu nilai keislaman yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh adalah nilai tasawuf.

Aceh yang dahulunya merupakan daerah yang dikuasai oleh kepercayaan Hindu dan Buddha, animisme, dan dinamisme kemudian berhasil diislamisasi. Jika ditilik, hal ini tidak terlepas dari pendekatan ulama-ulama dahulu melalui nilai-nilai tasawuf.

Nilai-nilai ini kemudian menjadi watak dan karakter yang menonjol dalam masyarakat Aceh. Hingga saat ini pun niai-nilai ini masih sangat lekat dan kental, mulai dari tradisi, cara bersosial, hingga cara mendidik anak.

Zikir seraya menggerakgerakkan badan misalnya, ini merupakan salah satu bentuk penerapan dari nilai tasawuf untuk mengeskpresian buncahan rasa cinta terhadap Allah Swt. Begitu pula dengan tradisi peusijuek, khanduri blang, dan lain-lain. Hal tersebut tak lain adalah bentuk dari penjabaran nilai tasawuf agar senantiasa bersyukur dan berserah diri hanya pada Allah. Dalam mendidik anak pun demikian, lantunan-lantunan selawat dan nyanyiannyanyian “peudoda idi” sering terdengar dan menjadi pengantar tidur.

Begitu pula aganangan orang tua agar suatu saat anaknya bisa menjadi teungku juga tak terlepas dari kentalnya nilai-nilai agama Islam yang memengaruhi kehidupan masyarakat Aceh. Dari cara bersosial tak jarang kita mendengar, “Nyan ka kehendak Po ih!” (Itu sudah kehendak Ilahi! ) di sela-sela pembicaraan.

Hal tersebut tentu tak luput dari bentuk keimanan masyarakat Aceh yang mengakar terhadap Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Corak kehidupan masyarakat Aceh yang sangat kental dengan nilai-nilai keislaman khususnya nilai-nilai tasawuf ini merupakan salah satu benteng yang paling besar dan kokoh bagi Aceh dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah wal jamaah (fikih bermazhab, akidah Asy’ariy atau maturidiy, tasawuf Imam Ghazali atau Junen Al- Baghdadi). Lebih dari itu, ia juga menjadi penawar di tengah masyarakat yang kian hari kian tergerus oleh arus materialisme yang menjerumuskan pada rasa congkak dan ria hati.

Namun, di sisi lain praktik nilai tasawuf yang tidak diseimbangi dengan pemahaman hukum-hukum syariat yang baik dan benar juga dapat menjadi bumerang bagi perkembangan masyarakat Aceh sendiri. Sikap pasrah yang tak diiringi ikhtiar contohnya. Sikap ini biasanya sering kali mengatasnamakan sikap tawakal. Padahal, sikap tawakal sendiri dapat diamini setelah sang hamba melakukan usaha dengan maksimal. Kesalahpahaman ini tentu dapat menjerumuskan dalam kemalasan berpikir dan berusaha di tengah-tengah masyarakat.

Anggapan sebagian orangorang luar bahwa Aceh merupakan wilayah yang anti terhadap perkembangan zaman dan tertinggal bisa saja dianggap benar oleh sebagian orang lainnya karena enggan berusaha dan berpikir. Belum lagi jika mereka hanya melihat pada oknum-oknum yang suka mempertentangkan ilmu agama dengan ilmu-ilmu lainnya. Kalimat yang sering dilontarkan masyarakat saat ini misalnya, “Corona nyan makhluk Allah, tanyoe pih makhluk Allah, sama-sama makhluk, hana payah yoe!” (Corona adalah makhluk Allah, kita pula makhluk Allah, sama-sama makhluk tak perlu takut!) begitu pun yang lebih dramatis dari hal tersebut “Hana peureule ta sitot dokter, penyaket Allah brie, ubat pih dari Po, tinggai peu leu meulake, ta peu toe droe teuh bak Allah." Yang lebih disayangkan adalah kalimat tersebut keluar dengan tidak diiringi usaha apa pun. Sikap ini tak lain lahir dari pemahaman sikap pasrah yang tidak disertai penjelasan hukum syariat lebih lanjut.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap pandemi yang sedang melanda dunia, keimanan bahwa segala sesuatu sudah terlebih dahulu ditetapkan oleh Allah adalah ketetapan mutlak yang tidak dapat diganggu gugat oleh manusia mana pun.

Namun, sebelum kita mencapai pada tingkatan-tingkatan tertentu, sejatinya kita adalah hamba biasa yang berjalan di atas sebab akibat yang sudah Allah garis bawahi, dalam kaidah pengambilan hukum sering dikenal dengan istilah“ Al Akhdzu bil asbab”.

Kaidah ini pula yang membuat para fuqaha (ahli fikih) harus merujuk pada ahli di bidangnya masing-masing sebelum mengeluarkan fatwa. Sikap ini pula sejalan dengan firman Allah Surah Annahl 16:43 “Fas aluu ahlu azdzikri inkuntum la ta’lamuun” (Bertanyalah kepada yang mempunyai pengetahuan jika engkau tidak memiliki pengetahuan terhadap hal tersebut).

Di samping itu ulama besar Syekh Ali Ahmad bin Makram Al-Adawi Almaliki dalam hasyiah-nya atas syarah Syekh Zarqaniy terhadap kitab Al- Aziyah pernah mengutip kalimat yang dinisbatkan kepada Imam Al Mujtahid, Imam Malik bin Anas, “Barang siapa yang mengamalkan fikih tanpa didasari tasawuf maka ia akan terjerumus dalam mempermainkan hukum.

Barang siapa yang mengamalkan tasawuf tanpa berlandaskan hukum syariat maka ia telah zindik, dan barang siapa yang menggabungkan keduanya maka ia akan mencapai hakikat kebenaran). Kalam ini merupakan salah satu kalimat yang sering menjadi pegangan kita dalam mempraktikkan manhaj Ahlussunnah wal jamaah. Demikian pula, praktik nilai tasawuf yang sangat kental dalam masyarakat kita harus diiringi dengan pemahaman “beriman kepada qadha dan qaadar Allah” secara baik dan benar.

Ranah mana yang seharusnya menjadi usaha manusia, titik mana manusia harus pasrah, serta di mana kemudian intervensi (qudrah) dari Allah mungkin hadir, harus lebih dulu ditekankan serta dijelaskan, agar tak terjadi kesalahpahaman. Jika hal-hal ini tak dijelaskan terlebih dahulu, tak heran jika muncul masyarakat masyarakat yang malas berpikir dan berusaha lantaran anggapan segala sesuatu telah Allah tetapkan ataupun golongan-golongan sebaliknya yang menihilkan intervensi-intervensi dari Allah.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved