Opini
Dana Otsus Aceh: Problem dan Solusi
Hingga kurun empat belas tahun masa alokasinya, 2008-2021, total dana otonomi khusus yang telah diterima Aceh
Buruknya tata kelola terus terjadi dari tahun ke tahun tanpa ada perbaikan hingga kesiaa-siaan dana otsus pun terus berlangsung bagikan cerita bersambung.
Tak heran, di tengah disorientasi akut ini satu-satunya pendekatan standar yang terpikirkan oleh (beberapa) elite Aceh adalah meminta dan membangun wacana perpanjangan alokasi dana otsus ke pusat.
Terlepas dari wacana ini bernuansa politik atau tidak, saya ingin memberi catatan bahwa pertama, dana otsus itu tak lebih adalah perkara label semata; dan bukan itu sebenarnya yang penting buat Aceh; kedua, perpanjangan alokasi dana otsus selamanya tidak akan pernah relevan jika tidak dibarengi dengan upaya pembenahan tata kelola pemerintahan dan manajemen pembangunan di Aceh.
Tawaran solusi
Solusi terbaik yang dapat saya tawarkan sebagai exit strategy pascadana otsus Aceh adalah kita harus meningkatkan daya tawar politik pembangunan Aceh dengan meyakinkan pemerintah pusat bahwa Aceh dengan segala keunggulan komparatifnya: sumberdaya alam yang melimpah dan posisi strategisnya yang secara geografis berada persis di pusat kawasan beberapa skema kerjasama regional dan internasional seperti IORA, Indo Pasiifik, IMT-GT, dan konektor dalam kerjasama ekonomi bilateral Indonesia-India, serta berada di jalur selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan tersibuk di dunia; adalah masa depan ekonomi Indonesia; adalah representasi kekuatan geo-politik dan geo-ekonomi Indonesia di kancah global di masa-masa yang akan datang.
Narasi ini Insya Allah akan memberi Aceh justifikasi mendapatkan lebih banyak alokasi proyek strategis nasional dalam rangka menstimulasi tumbuh dan majunya sektor produktif di Aceh, bagi Indonesia. Jadi pendekatannya ciptakan banyak program strategis, bukan meminta uang. Program strategis inilah nantinya yang akan menarik banyak sumber anggaran masuk ke Aceh, terserah mau dilabel dengan dana otsus, atau apapun. Jadi pendekatannya adalah money follow program.
Narasi ini tentu saja tidak ingin saya maksudkan sebagai sebuah garansi, tapi dari semua pilihan yang tersedia, saya berkeyakinan inilah langkah paling cerdas dan bermarwah bagi Aceh ketimbang semata berharap dan terpaku pada (label) dana otsus.
Jika pemerintah pusat mengabulkan perpanjangannya alhamdullah, tapi jangan terpaku dengan dana otsus seolah itulah satu-satunya solusi. Ada banyak cara menggaet berbagai sumberdaya dan dukungan bagi keberlanjutan pembangunan Aceh ke depan. Itu yang harus dieksplorasi.
Skenario ke depan
Pada tataran politik, menurut hemat saya elit-elit Aceh juga sudah harus menghentikan pendekatan politik bergaya konfrontatif, selalu menuntut dan menggugat Pemerintah Pusat.
Jakarta memang pernah punya dosa masa lalu terhadap Aceh, tapi kebiasaan yang terus dipelihara dengan selalu menyalahkan pemerintah pusat, itu adalah sikap yang kekanak-kanakan. Dulu ketika Aceh diberi status daerah istimewa kita tidak puas dan protes karena merasa hanya mendapat “pepesan kosong”.
Sekarang setelah diberi status otonomi khusus dengan bonus seratus triliun lebih uang kontan dana otsus, ternyata kita juga masih suka menyalahkan pemerintah pusat atas perkara-perkara yang sebenarnya sangat normatif dan simbolis, sementara puluhan triliun dana otsus yang telah kita terima gagal dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, bahkan sebaliknya Aceh malah mendapat predikat sebagai daerah termiskin.
Saya tidak antipati dan bermaksud menafikkan perkara-perkara normative tersebut. Apa yang menjadi penekanan saya adalah penting dan perlu bagi kita membangun objektivitas dalam melihat berbagai persoalan, karena jika tidak pendulum sejarah Aceh akan terus bergerak dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain.
Jangan sampai kita “bansa Aceh” kehilangan respek dunia karena kesan persis seperti dalam ungkapan bahasa Aceh: lagee ta peutimang minyeuk punoh keunoe han pah, keudeh pih han pah.
Situasi sudah berubah. Militansi tak berdasar justru menjadi blunder yang akan merugikan Aceh sendiri. Politik Aceh sudah harus tampil dengan wajah yang lebih cerdas dan moderat alih-alih militan. Aceh sudah harus mampu memainkan politik diplomasi, persuasi, dan inklusi ketika berhadapan dengan Jakarta; untuk membalikkan kesan Aceh sebagai “anak nakal”, kembali pada jejak sejarah sebagai daerah modal, model, dan inspirasi bagi Indonesia, sebagaimana dulu pernah ditorehkan oleh pendahulu-pendahulu kita.
Semangat inilah yang harus dibangun secara konsisten untuk memperkuat daya tawar Aceh sehingga Jakarta yakin bahwa Aceh sejatinya adalah asset sekaligus masa depan Indonesia.