Jurnalisme warga
Alue Naga, antara Legenda dan Fakta dari Kutaraja
Legenda yang mengisahkan tentang sang Naga Hijau dari Kerajaan Linge. Naga tersebut konon berkhianat pada sahabatnya, yakni Raja Linge
OLEH AMRULLAH BUSTAMAM, Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Gampong Alue Naga di Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, ternyata punya legenda menarik tentang naga. Saat menelusuri literasi, saya dapatkan dua versi cerita rakyat terkait asal-usul istilah Alue Naga ini.
Versi pertama, legenda yang mengisahkan tentang sang Naga Hijau dari Kerajaan Linge. Naga tersebut konon berkhianat pada sahabatnya, yakni Raja Linge. Karena berkhianat, naga mendapat tusukan pedang raja di tubuhnya setelah berkelahi gegara sang naga memakan seluruh kerbau putih yang merupakan amanah Tuan Tapa dari Selatan. Kerbau putih itu dititipkan pada Raja Linge untuk diserahkan kepada Sultan Alam.
Di akhir cerita, meski sang naga meminta untuk dihukum oleh Renggali yang merupakan putra Raja Linge, tapi naga yang telah lama menjelma jadi sebuah bukit di kawasan Lamnyong itu--setelah sekian lama tak bisa bergerak akibat tusukan raja–justru dilepaskan Renggali untuk kembali ke asalnya. Ia tak ingin membunuh naga tersebut. Alasan utamanya adalah sang naga adalah sahabat ayahnya. Raja Linge saja tidak tega membunuh sang naga, apalagi Renggali, anak beliau. Maka, pulanglah sang naga ke asalnya. Sembari menangis, naga tersebut menggeser tubuhnya yang terluka dan bergerak perlahan menuju laut. Di tempat yang ia lewati itulah terbentuk sebuah alur atau sungai kecil. Kemudian, daerah inilah yang disebut Alue Naga.
Cerita versi ini sudah diekspoe sejak tahun 2018 di laman web https://histori.id/kisah-legenda-alue-naga/, https://ceritaanak.org/legenda-alue-naga/3/ bahkan kisah Alue Naga ini sudah diangkat menjadi film kartu di channel Youtube Dongeng Kita dan Chanel Legenda dari Negeri Aceh: Alue Naga.
Versi kedua tentang asal-usul nama Alue Naga ini berawal dari ujung paling utara Pulau Perca (Andalas/Sumatra sekarang). Terdapatlah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Alam, rajanya berjuluk Mahkota Alam (Meukuta Alam), sedangkan ibu kotanya bernama Kota Alam (Kuta Alam). Sang Raja memiliki sahabat, yaitu seekor naga hijau. Kerajaan Alam ini sangat makmur karena letaknya sangat stategis, yakni terletak di ujung selat yang sangat ramai. Di sebelah timur Kerajaan Alam dipisahkan oleh sebuah sungai terdapat sebuah kerajaan lain yang bernama Kerajaan Pedir yang merupakan saingan Kerajaan Alam. Suatu ketika Kerajaan Pedir melakukan gangguan melalui jalur laut, tapi selalu kalah. Pasukan Kerajaan Pedir sendiri tidak bisa memasuki wilayah Kerajaan Alam karena di sisi sungai yang memisahkan kedua kerajaan tersebut hidup naga sakti bernama Sabang. Raja Pedir sangat kesal dan memanggil dua orang jagoan yang mampu menghadapi naga Sabang. Mereka adalah dua raksasa sangat sakti yang bernama Seulawah Agam dan Seulawah Inong.
Singkat cerita, pada saat yang ditentukan, terjadilah pertarungan di perbatasan antara Kerajaan Alam dan Kerajaan Pedir disaksikan oleh rakyat kedua kerajaan tersebut. Pertarungan dua lawan satu berakhir dengan tertebasnya leher naga. Kemudian, Seulawah Agam melemparkan kepala naga Sabang ke arah utara. Lemparan kepala naga tersebut jatuh di darat Kerajaan Alam, tapi terus berguling membentuk sebuah alur dan berhenti di tepi pantai utara Kerajaan Alam.
Lokasi alur bergulingnya kepala naga Sabang menjadi sungai yang pada muaranya itu kelak dikenal dengan nama Alue Naga. https://tengkuputeh.com/2020/05/29/legenda-sabang-seulawah-alue-naga/.
Pra dan pascatsunami
Alue Naga merupakan kawasan yang sering mengundang sensasi dan menarik banyak peneliti untuk datang ke sini. Sebelum tsunami, Alue Naga terkenal karena kisah Pulau Diamat yang sekarang menjadi Dusun Po Diamat. Dusun ini terletak di pesisir ujung Krueng Cut Gampong Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Dulunya dusun ini merupakan tempat pengasingan penduduk yang memiliki riwayat penyakit kusta atau lepra sejak tahun 1960.
Pulau Diamat ini merupakan pulau pengasingan bagi pengidap kusta yang berasal dari berbagai daerah di Aceh, tapi pascatsunami hanya tinggal lima orang lagi. Alhamdulillah kondisi mereka sudah sembuh semua dan setiap tahunnya secara khusus Baitul Mal Kota Banda Aceh membantu masyarakat yang memiliki riwayat penyakit tersebut. Melalui senif fakir uzur disantuni per tiga bulan guna membantu ekonomi mareka yang hidup di bawah garis kemiskinan. https://baitulmal.bandaacehkota.go.id/uzur-po-diamat.
Selanjutnya kasus tanah erfach, banyaknya tanah erfach dengan statusnya yang tidak jelas pascatsunami berimbas pada telatnya proses rehab rekon di Gampong Alue Naga saat itu. Untuk menyelesaikannnya, salah satu Forum NGO Luar Negeri yang tergabung dalam Aceh Habitat Club coba menggagas penelitian dan diskusi untuk mencari solusi terkait percepatan pembangun di Alue Naga yang luluh lantak saat tsunami 2004 dan menghilangkan infrastruktur tanah meliputi lebih kurang 242.6 hektare persil tanah. Banyak NGO Asing yang telah berpartisipasi di Alue Naga saat itu, seperti CRS, Muslim Aid, Mercy Corp, Caritas Germany, Save The Children, Oxfam, Kerap/P2KP. dan yang paling konsiten adalah BRR NAD-Nias.
Khusus untuk Dusun Podiamat dan Kutaran, tepatnya di Timur Gampong Alue Naga, secara umum 80% persil tanahnya sudah hilang karena hantaman besar tsunami. Di sisi lain masih banyak warga dari kedua dusun ini masih selamat. Persoalan selanjutnya adalah para warga dari dusun ini yang kebanyakan adalah pelaut tidak mau direlokasi ke bukit Neuheun yang sudah didirikan bangunan rumah bantuan. Masyarakat bersikeras bertahan di barak-barak pengungsi. Yang menarik dari adalah masyarakat Alue Naga menyebutkan bahwa mereka adalah pelaut dan tidak mungkin tinggal di bukit, “Maka bawalah bukit itu ke sini (Alue Naga) bangun kembali gampong kami,” pinta mereka.
Untuk menyelesaikan polemik membutuhkan waktu yang cukup lama hal ini karena terkait pengeluaran dana yang cukup besar untuk menimbun kembali lokasi yang sudah menjadi laut pasca tsunami. BRR NAD Nias melalui Satker Perkim akhirnya mengabulkan keinginan masyarakat Alue Naga dan ditimbunlah dua dusun tersebut dengan tanah dan batu dari bukit Ujong Bate. Hasil akhirnya biasa kita lihat sekarang berdirinya puluhan rumah di empat dusun Gampong Alue Naga ini lengkap dengan prasarana lainnya, seperti meunasah, sekolah, dan lainnya. (https://catalogue.nla.gov.au/Record/6217921/
Ada beberapa harapan dari warga Alue Naga yang belum terlaksana kiranya dan membutuhkan perhatian serius dari Pemko Banda Aceh, Pertama, harapan dari perangkat Gampong Alue Naga, sekiranya lokasi Alue Naga dapat dirawat menjadi aset wisata halal sembari meningkatkan perekonomian warga setempat. Harapan ini tampaknya akan segera terealisasi kiranya, karena pihak pemko melalui Dinas Pariwisata Kota banda Aceh telah berencana memugar kembali semua aset wisata dimulai dari barat (Ulee Lheue) sampai ke timur (Alue Naga).