Jurnalisme warga
Berharap Jalan Diponegoro Seperti Malioboro
Pasar Aceh merupakan sentral perekonomian di Kota Banda Aceh. Namun, bagi masyarakat

AMRULLAH BUSTAMAM, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Banda Aceh
Pasar Aceh merupakan sentral perekonomian di Kota Banda Aceh. Namun, bagi masyarakat rasanya tidak mengasyikkan bila ke Pasar Aceh cuma untuk belanja kebutuhan sandang tertentu seperti baju, sepatu, tas, emas, dan lainnya, kemudian pulang.
Tidak ada yang menarik di Pasar Aceh, selain kemudian singgah sejenak ke Masjid Raya Baiturrahman untuk shalat dan berfoto ria.
Pascamusibah tsunami 2004 lalu, memang sebagian bangunan Pasar Aceh yang rusak telah dibangun kembali dengan konsep modern dan sebagian lain dibiarkan tetap seperti situasi sebelum tsunami, bahkan lantai dua Pasar Aceh lama terlihat tidak terurus.
Adapun Jalan Diponegoro yang menjadi jalur utama Pasar Aceh berada tepat di depan bangunan Pasar Aceh baru sekarang.
Ruas Jalan Diponegoro ini dimulai dari perempatan belokan depan Bank Negara Indonesia (BNI) sampai Toserba Shimbun Sibreh di seberang jalan pintu gerbang Masjid Raya Baiturrahman.
Era tahun 80-an sampai tahun 90-an, Jalan Diponegoro ini sangat ramai dan seru. Saat itu Jalan Diponegoro dipenuhi ratusan labi-labi (angkutan kota) dari berbagai kecamatan di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Suara riuh kernet labi-labi tambah heboh saat ia sesekali memukul dinding mobilnya sebagai isyarat kepada sopir agar jangan jalan dulu.
Penumpang berdesakan, hiruk pikuk luar biasa. Kanan-kiri Jalan Diponegoro ada toko pakaian, sepatu, dan di kaki lima ada banyak ‘nyak-nyak’ penjual berbagai sayuran.
Di lorong-lorong pinggirnya banyak penjual es campur, kue terang bulan (apam keubeu), putu, jagung rebus, kue bhoi (bolu ikan), keukarah, dan banyak lainnya.
Bahkan, ada toko yang khusus dibuka untuk masyarakat, khususnya anak sekolah yang nangkring di Jalan Diponegoro untuk main game dengan komputer besar dan mengunakan uang koin saat itu. Pokoknya, cukup meriah.
Namun sekarang, Jalan Diponegoro tidak lagi dilalui dan dipadati oleh labi-labi. Hal ini terjadi setelah terminal labi-labi dipindahkan ke kawasan Keudah, dekat lokasi bekas Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh dulunya.
Saat ini, jika kita perhatikan hanya beberapa labi-labi saja yang mangkal di ujung lorong Toko Istana Kado, dengan tujuan agar lebih mudah mendapatkan penumpang. Selebihnya adalah kendaraan pribadi dan bus Transkoetaradja.
Seperti jalan protokol pada umumnya, ruas Jalan Diponegoro hanya digunakan untuk jalur satu arah. Tidak ada yang menarik di jalan ini.
Di saat malam pun jalan ini dipenuhi oleh pedagang baju, jam, dan pedagang sepatu di kaki lima. Tidak ada yang seru.
Lain halnya jika untuk ke depannya Jalan Diponegoro diubah oleh Pemko Banda Aceh menjadi jalan yang mempunyai daya tarik tersendiri, layaknya Jalan Malioboro di Yogyakarta.
Mungkin, Anda pun pernah jalan-jalan di Malioboro. Inilah jalan yang selalu diingat oleh wisatawan lokal dan mancanegara.
Ada apa di Malioboro? Jalan Malioboro merupakan jalur kendaraaan umum, tapi di kanan kiri jalannya dijual berbagai kerajinan seni hasil buatan tangan dan pertunjukan budaya lainnya.
Di sini masyarakat dapat menyaksikan pentas seni, terdapat pula berbagai lapak kaki lima dengan dagangan cendera mata yang sangat variatif.
Pemko Yogyakarta acap kali mengadakan karnaval, baik itu untuk memperingati hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan RI, karnaval hari-hari besar Islam, ulang tahun Kota Yogyakarta, dan lainnya.
Pendeknya, Jalan Malioboro menjadi fokus utama setiap diakan karnaval tersebut.
Jalan Malioboro menjadi ikon utama Yogyakarta, kenapa demikian? Hal ini tidak lepas dari kebijakan Pemko Yogyakarta yang selalu merawat sejarah.
Selain belanja, Malioboro sekarang juga nyaman untuk lokasi jalan-jalan. Ada pedestrian area dengan bangku-bangku yang instagramable di sepanjang jalan hingga titik Nol Kilometer.
Di saat malam pun, jalan ini tetap penun dan meriah. Gemerlap lampu-lampu malam menjadikan Jalan Malioboro seperti surganya pelancong.
Untuk menyiasati parkiran kendaraan bagi pengunjung, Pemko Yogyakarta telah menata parkiran dengan sangat rapi. Pemko menyediakan 12 kantong parkiran/pos parkiran (istilah jogja).(Tempo.com).
Masih banyak hal yang bisa diadopsi dari Jalan Malioboro ini dan kemudian ditumpahkan ke dalam kesumpekan Jalan Diponegoro Kota Banda Aceh.
Sudah waktunya Pemko Banda Aceh berinisiatif mengubah Jalan Diponegoro menjadi lebih meriah dibanding sekarang.
Banyak sekali space di sekitaran Pasar Aceh yang bisa dikembangkan menjadi area yang menarik perhatian masyarakat luar untuk datang dan menikmati Kota Banda Aceh lebih dari yang sekarang ini.
Untuk keragaman hasil karya seni dari Aceh yang bisa dijual di Jalan Diponegoro ini rasanya cukup melimpah, tinggal dikirim dari berbagai kabupaten/kota di Aceh saja.
Sumber daya manusia dan kreativitas anak-anak Aceh sekarang ini saya rasa cukup siap untuk menyulap Jalan Diponegoro menjadi meriah, seperti halnya Jalan Malioboro di Yogyakarta.
Semoga Pasar Aceh sebagai pasar tua bersejarah tetap terawat keasliannya, jangan diubah dengan konsep pasar modern semua.
Tingginya peradaban karena pandainya penguasa (pemerintah) merawat sejarah. Dalil ini juga berlaku untuk Banda Aceh.
Baca juga: Mengambil Iktibar dari Erupsi Semeru
Baca juga: Vaksinasi Ikhtiar Kemaslahatan