Jurnalisme warga
Proteksi 1. 000 Hari Pertama Kehidupan untuk Cegah Stunting
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 menunjukkan bahwa kasus stunting dan gizi buruk di Aceh masih berada di atas angka nasional

OLEH MASYUDI, S. Kep., Ners., M. Kes., IYCF Consultant–Flower Aceh, Dosen FKM Universitas Serambi Mekkah, dan Mahasiswa Doktoral Prodi DMAS-USK, melaporkan dari Banda Aceh
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 menunjukkan bahwa kasus stunting dan gizi buruk di Aceh masih berada di atas angka nasional dan menduduki peringkat tertinggi ke-5 di Indonesia.
Angka gizi buruk secara nasional adalah 3,5%, sedangkan di Aceh berada pada posisi 5,5%.
Sama juga halnya untuk stunting atau balita pendek, angka stunting di Aceh berada di posisi 37%, sedangkan nasional 30% (Riskesdas, 2018).
Secara global, berdasarkan perkiraan bersama UNICEF, WHO, dan World Bank Group terhadap malnutrisi anak tahun 2019 melalui dokumen Joint Child Malnutrition (JME) kekurangan gizi akut/wasting masih terdapat 49 juta balita di seluruh dunia atau sekitar 7,3%.
Stunting adalah sebuah bentuk masalah gizi dengan kondisi tinggi badan anak lebih rendah dibandingkan tinggi badan anak seusianya berdasarkan standar yang ditetapkan.
Bentuk masalah lainnya adalah kekurangan berat badan menurut usia atau kurang gizi.
Sedangkan kelebihan gizi disebut kegemukan atau obesitas.
Stunting dan masalah gizi lainnya yang terjadi dalam waktu yang lama akan berdampak pada pertumbuhan fisik, metabolisme, kekebalan, dan pertumbuhan otak.
Masalah gizi yang berkepanjangan berdampak pada tumbuh kembang anak dan akan berpengaruh pada masa depan sumber daya manusia.
Pertumbuhan fisik yang tidak maksimal akan memengaruhi kapasitas kerja di masa depan dan ketidakoptimalan perkembangan metabolisme.
Di sisi lain, kekebalan akan berdampak terhadap risiko penyakit tidak menular dan pertumbuhan, serta perkembangan otak yang tidak maksimal.
Hal ini akan berdampak pada kurangnya kemampuan kognitif dan belajar, serta prestasi sekolah yang buruk.
Bagaimana mencegah terjadinya hal ini? Banyak gerakan yang sudah dilakukan untuk menekan masalah gizi ini.
Keterlibatan masyarakat, terutama keluarga, sangat dibutuhkan untuk bersama dengan pemerintah bahu-membahu menyelesaikan bersama masalah gizi.
WHO telah merekomendasikan empat standar emas pemenuhan gizi dalam program Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA), yaitu: inisiasi menyusui dini, pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI setelah usia bayi enam bulan, dan melanjutkan pemberian ASI kepada bayi hingga usianya mencapai dua tahun atau lebih.
Jika kita kembali ke pokok bahasan kita hari ini, yakni “proteksi 1.
000 hari pertama kehidupan (HPK) untuk mencegah stunting pada balita” maka bagaimana sebenarnya menghitung 1.
000 hari pertama kehidupan tersebut? Kapan dimulainya? Seribu HPK dihitung sejak hari pertama ibu mengetahui bahwa ia sedang mengandung anaknya.
Pada masa ini sampai dengan masa kelahiran dihitung lebih kurang sembilan bulan dikali dengan 30 hari, menjadi 270 hari.
Dalam periode ini ibu harus memeriksakan kehamilannya secara berkala dan memenuhi kebutuhan gizi anak yang dikandungnya dengan mengonsusmi makanan bergizi dan tambahan suplemen tambah darah atau Fe.
Dalam masa ini ibu harus memahami bahwa dirinya perlu mengonsumsi tambahan makanan bergizi seimbang, mengingat ia perlu memenuhi kebutuhan dua orang, yaitu ibu dan janinnya.
Masa selanjutnya adalah masa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan.
Dalam masa ini bayi hanya diberikan ASI saja tanpa tambahan apa pun karena kandungan ASI telah sesuai dengan kebutuhan bayi dan kemampuan usus bayi untuk mencerna pada usia tersebut hanya sebatas ASI.
Setelah masa pemberian ASI eksklusif selesai enam bulan selanjutnya, bayi mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI.
Pada awal mula kepadanya diperkenalkan terlebih dahulu makanan lumat dan terus ditingkatkan sesuai dengan pertambahan usia bayi.
Pokok penting dari makanan pendamping ASI ini adalah kelengkapan dan keberagaman jenis asupan yang diberikan.
Jenis bahan makanan yang dibutuhkan oleh bayi yang pertama adalah zat pembangun.
Ini terdiri atas bahan-bahan yang mengandung karbohidrat, seperti bahan olahan dari beras dan gandum.
Kedua adalah protein hewani yang bersumber dari hewan seperti daging, ikan, telur, dan sebagainya.
Ketiga, protein nabati yang dapat diperoleh dari bahan makanan semisal kacang-kacangan (tahu dan tempe).
Keempat adalah buah dan sayur.
Dalam masa ini ASI tetap dilanjutkan hingga paling kurang usia bayi mencapai dua tahun.
Jumlah hari dalam dua tahun adalah 770 hari, ditambah dengan masa dalam kandungan sembilan bulan atau 270 hari, maka total harinya adalah 1.000 hari.
Sosialisasi dan pemaparan tentang upaya pencegahan masalah gizi ini masih penting untuk digencarkan kepada masayarakat.
Persoalan gizi sebenarnya dapat diatasi bila msayarakat mulai dari keluarga memiliki pemahaman yang baik tentang kebutuhan gizi.
Seiring dengan meningkatnya pemahaman diharapkan akan mampu mengubah perilaku masyarakat dalam menerapkan pola asuh bagi anak dan keluarga.
Persoalan gizi keluarga tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor ekonomi.
Sebagai contoh, tidak semua bahan makanan bergizi harus dibeli.
Keluarga dapat memenuhinya dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam berbagai jenis sayuran.
Keluarga yang memiliki pengetahuan yang baik tentang gizi juga diharapkan mampu memilih jenis asupan bergizi yang dibutuhkan untuk anggota keluarga.
Dalam upaya pengentasan masalah gizi pada anak, keterlibatan lintas sektor sangatlah dibutuhkan.
Pemerintah juga harus memastikan penerapan kebijakan yang telah dibuat terkait percepatan penurunan angka stunting dan masalah gizi lainnya dapat berjalan dengan baik.
Saat ini, sebagian besar pemerintah kabupaten dan kota di Aceh telah membuat kebijakan dalam berbagai bentuk, seperti peraturan bupati/peraturan wali kota, surat edaran, dan lainnya.
Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi di Aceh.
Dalam Pasal 5 ayat (1)-nya disebutkan bahwa pencegahan dan penanganan stunting terintegrasi di Aceh dilakukan dengan pendekatan Seribu Hari Pertama Kehidupan (1.
000 HPK) secara komprehensif, baik intervensi spesifik, maupun intervensi sensitif sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal masyarakat setempat, serta tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Jika melihat dari isi Pergub tersebut dapat diketahui bahwa Pemerintah Aceh telah dengan tegas memerintahkan bahwa penanganan stunting terintegrasi menjadi sebuah keharusan dan mendapat perhatian yang serius.
Namun, kembali lagi bahwa keberhasilan kebijakan tersebut sangat ditentukan oleh komitmen dan implementasi di lapangan.
Selain kebijakan pemerintah, faktor berikutnya yang tak kalah penting adalah penganggaran, bagaimana agar kegiatan-kegiatan preventif yang telah dicanangkan para pihak nantinya dapat didukung oleh anggaran.
Baca juga: Sejumlah Desa Raih Penghargaan Bupati Bireuen Terkait Penanganan Stunting
Baca juga: Mahasiswa Unimal Kampanyekan Anti Stunting
Baca juga: Tiga Anak di Aceh Tamiang Berhasil Bebas dari Stunting, Ini Lokasinya
Dengan demikian, masyarakat mendapatkan pemahaman tentang bagimana upaya pencegahan dapat dilakukan agar masalah gizi tidak terjadi.