Salam
Aceh Paling Sering Selamatkan Rohingya
Sebuah kapal pengangkut imigran Rohingya kembali memasuki perairan Aceh, tepatnya di perairan Bireuen, 45 mil laut dari bibir pantai
Sebuah kapal pengangkut imigran Rohingya kembali memasuki perairan Aceh, tepatnya di perairan Bireuen, 45 mil laut dari bibir pantai.
Kapal itu pertama kali dilihat nelayan pada Minggu (26/12/2021) malam dan hingga Selasa (28/12/2021) dini hari masih terombang-ambing di tengah laut dalam kondisi mati mesin.

Para nelayan tak berani menarik kapal tersebut ke daratan karena takut berurusan dengan hukum.
Para imigran yang sebagian wanita dan anak-anak itu mendapat bantuan makanan dan minuman dari para nelayan penjaga rumpon.
Kemudian bantuan makanan dan minuman juga diantar Sekretaris Panglima Laot, TNI AL, dan sejumlah nelayan Jeunieb kepada para imigran yang mayoritas anak-anaka bawah umur.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, meminta Polairud, TNI AL, dan pemerintah daerah hingga pusat harus menyelamatkan para pengungsi tersebut karena kemungkinan besar mereka sudah berminggu-minggu atau bahkan berbulan berada di laut.
"Ini persoalan hidup dan mati.
Kalau menolak mereka menepi atau mengirim kembali mereka ke lautan lepas, sama saja itu melepas kewajiban internasional Indonesia," kata Usman.
Berbeda dengan Usman Hamid, polisi kepada pers kemarin mengatakan tim gabungan bakal memberikan bantuan makanan dan BBM ke kapal Rohingya.
"Agar mereka melanjutkan perjalanan ke Malaysia sebagaimana rekom yang dimiliki sesuai informasi yang kita dapatkan serta juga sesuai keinginan para pengungsi tersebut," kata Kabid Humas Polda Aceh Kombes Winardy.
Ini bukan pertama kali kapal Rohingya “mati mesin” di perairaran Aceh.
Menurut catatan sudah lebih empat kali kejadian serupa.
Karenanya, masyarakat kini sangat berhjati-hati terhadap mereka.
Sebab, dari pengalaman sebelumnya, keberadaan mereka ada kaitan dengan dengan sindikat perdagangan manusia.
Dalam kasus sebelumnya banyak Rohingya yang diam-diam kabur dari penampungan.
Sebagian mereka dijemput dan ditunggui di luar penampungan kemudian dibawa ke Medan, Sumatera Utara.
Di sisi lain, nelayan juga pernah dihukum karena didakwa sebagai bagian dari sindikat perdagangan manusia.
Karena itu, kini para nelayan sudah tak berani lagi membantu pendaratan para pengungsi Rohingya.
Pemerintah juga sudah sangat hati-hati.
Bukan karena kehilangan rasa kemanusiaan, tapi dari pengalaman selama ini, setelah didaratkan, pihak-pihak yang mestinya bertanggung jawab, ternyata seperti mengabaikannya.
Padahal, untuk menampung seorang Rohingya itu, paling sedikit pemerintah harus menyediakan Rp 50.000 perhari.
Itu belum termasuk tempat tidur, tampat mandi, cuci, dan kakus.
Baca juga: Danlanal Lhokseumawe: Kapal Rohingya Terdeteksi Berada di Perairan Bebas
Baca juga: Nelayan Bireuen Antar Makanan untuk Rohingya yang Terombang-ambing di Laut
Bayangkan, jika yang ditampung pernah sampai 400-an Rohingya selama berbulan-bulan.
Berapa duit yang harus dikeluarkan.
Dari mana pula sumber dana pemeruintah daerah sebanyak itu.
Itulah sebabnya, maka kali ini kita melihat para pihak di Kabupaten Bireuen lebih memilih membantu perjalanan mereka ke tujuan.
Apalagi, ini kondisinya akhir tahun, pemerintah daerah juga banyak yang tidak punya anggaran cadangan untuk membiaya penampngan para Rohingya.
Pihak luar juga harus tahu bahwa Aceh ini mungkin satu-satunya daerah di Indonesia yang paling sering menyelamatkan para Imigran Rohingya.
Dalam 10 tahun terakhir mungkin lebih lima kali para Rohingya “terdampar” di Aceh.
Ada ribuan imigran Rohingya yang diselamatkan Pemerintah dan masyarakat Aceh, meskipun sebagian mereka melarikan diri dari penampungan dengan berbagai modus.
Maka, jika kali ini tidak memilih mendaratkan mereka ke Aceh, mungkin karena kondisinya tidak memungkinkan disertai pertimbangan-pertimbangan lain.
Nah?!
Baca juga: Polda Aceh Bantu Imigran Rohingya yang Terdampar di Perairan Aceh
Baca juga: Bupati Bireuen Prihatinkan Nasib Pengungsi Rohingya, Langsung Kirim Bantuan ke Tengah Laut