Kupi Beungoh
Santai
Keterkejutan bahwa orang-orang Indonesia memang benar-benar santai dapat dilihat dari pengalaman yang diceritakan oleh mereka yang baru...
Oleh: Bung Alkaf *)
“Karena iklimnya sangat bagus dan tanahnya subur, mereka tidak kesulitan untuk makan, jadi orang-orangnya cenderung santai,“ kata Shin Tae-yong. Dia melanjutkan dengan beberapa potongan wawancara menarik, “Masuk ke stadion, mereka tidak langsung cepat-cepat.” Masih sambil bercerita dengan serius, “Pelatih dan staf turun dari bus masuk ke lapangan dalam waktu 1-2 menit dan berdiri menunggu pemain datang, tapi mereka masih duduk ngobrol tidak berniat ke lapangan. Mereka terus mengobrol sambil mengikat tali sepatu.” Itu merupakan salah satu petikan wawancara Shin Tae-yong dengan stasiun televisi Korea Selatan.
Dia sedang mengambarkan pengalaman barunya sebagai pelatih Timnas Indonesia. Setelah mantan pelatih Timnas Korea Selatan di Piala Dunia Rusia 2018 menangani Timnas Indonesia, publik Korea semakin memberi perhatiannya kepada negara yang selalu gagal menjadi pemuncak di turnamen penting sepak bola. Seperti ada kebanggaan bagi mereka melihat orang Korea Selatan menjadi pelatih sepak bola di negara-negara lain.
Akan tetapi, teman saya, Syukurdi, tidak mengamini apa yang dikatakan Shin Tae-yong itu. Dia menulis di status Facebooknya dengan huruf kapital, “Kata STY pemain Timnas “santai” dan suka ngobrol. Saya menolak budaya Korea. Disiplin itu budaya asing. Santai adalah kebiasaan kami. Bang Haji Oma saja membikin lagu judulnya, “Santai.” Oh ya, satu lagi, “Mengobrol” adalah kearifan lokal dan ciri khas budaya yang harus dilestarikan.
Baca juga: Shin Tae-yong Ungkap Ada Satu Janji PSSI yang hingga Kini Belum Terpenuhi
Harusnya Coach STY ikut juga mengobrol dengan pemain sebagai bentuk keramah-tamahan. Mengobrol adalah identitas kami. Buruh bangunan, buruh pabrik, pegawai pemerintah, dokter dan perawat, aparatur hukum, dan lain-lain, semua mengobrol sambi bertugas.”
Ada benarnya, bahkan mungkin semuanya benar, dari apa yang Syukurdi sampaikan, kalau bangsa kita memiliki budaya luhur, yaitu santai. Keterkejutan bahwa orang-orang Indonesia memang benar-benar santai dapat dilihat dari pengalaman yang diceritakan oleh mereka yang baru menginjakkan kaki di Eropa atau Amerika Utara. Salah satu yang diceritakan diantaranya,”Orang-orang di sini jalannya terlalu cepat.” Jangan-jangan bukan mereka yang terlalu cepat, bisa saja kita yang terlalu lambat.
Pertanyaannya sekarang adalah apa yang salah dengan santai. Jangan-jangan, karena terlampau santailah, negara ini masih baik-baik saja sampai sekarang. Menjadi manusia yang tidak terlalu revolusioner atau santai ada baiknya juga.
Mengenai topik santai, saya malah jadi ingat sebuah metafora yang disampaikan oleh Sukarno dalam satu acara keagamaan di Jakarta. Dia menceritakan satu negeri yang bernama Utara Kuru. Itu negeri yang tidak bergejolak. Sukarno menceritakan kalau negeri itu panasnya tidak terlalu, dingin tidak terlalu. Semuanya adem. Sukarno tidak menyebut kalau negeri itu terlalu santai – tentu saja dia tidak mau Indonesia seperti itu – tetapi dari coraknya, negeri Utara Kuru jelas saja santai hidupnya. Tidak mau ribet. Sukarno menganggap kalau negeri dengan tipikal seperti itu tidak akan menjadi bangsa yang besar.
Baca juga: Anies, Pilpres, dan Restu Aceh
Baca juga: Yang Kita Bela ini Tujuan Syariah
Sukarno sepertinya juga benar.
Namun, bangsa ini kalau diajak berlari kencang sepertinya akan cepat ngos-ngosan. Bahkan bisa-bisa bisa kolaps dengan cepat. Sukarno pernah mengajak itu. Dia enggan melihat bangsa ini terlalu santai. Duduk di teras rumah pada sore hari; ambil gitar genjrang genjreng lagu The Beatles. “Itu kontra revolusioner!” kata Sukarno. Terlalu santai. Tetapi, bukankah Tari Lenso – yang digemari Sukarno – juga santai? Kalau hal tersebut kita tanyakan pada Bung Besar itu, dia pastilah akan menjawab, “Tari Lenso itu adalah jeda sesaat di kala kita mengobarkan api revolusi dari Sabang sampai Merauke.”
Shin Tae-yong berasumsi kalau budaya santai anak asuhnya karena pengaruh tekstur alamnya. Ada benarnya juga amatannya. Di Indonesia, kita tidak perlu susah-susah mencari kayu untuk membuat api unggun guna mengusir dingin yang menusuk. Di Indonesia juga, karena tidak ada salju; yang ada hanya hujan, orang bisa berjalan-jalan bahkan berlari-lari di tengah lapangan walau di tengah hujan deras sekalipun.
Hal demikian tidak bisa terjadi di negara empat musim. Mana ada orang di sana yang mau bermain bola di tengah siraman salju tanpa memakai pakaian berlapis. Alam membuat mereka tidak bisa santai.
Baca juga: Menginterupsi Negara
Baca juga: Ali dan Apa yang Kita Ingat Darinya
Salah seorang budayawan pernah mengatakan, dalam satu ceramahnya, bahwa masalah yang dialami oleh orang Indonesia bisa diselesaikan dengan gampang karena negara ini memiliki budaya joget. Joget adalah penerjemahan dari sikap santai. Mungkin, ini khas dari negeri-negeri dengan kultur Melayu.