Opini
Anies, Pilpres, dan Restu Aceh
Pemugaran makam Sultan Aceh terakhir, Sultan Alaidin Muhamamd Daud Syah, selesai dilakukan
Oleh Muhammad Alkaf
Esais
Pemugaran makam Sultan Aceh terakhir, Sultan Alaidin Muhamamd Daud Syah, selesai dilakukan.
Untuk menyambut itu, dua kerabat Sultan yang paling dikenal di publik, Tuanku Muhammad dan Tuanku Warul Walidin membagikan kesannya yang mendalam.
Tuanku Muhammad, yang kini menjadi anggota legisatif Kota Banda Aceh, menulis di laman Facebooknya, bahwa “Kegiatan hari (ini) bukanlah hanya memugar makam, tapi memugar peradaban.

” Selang beberapa hari, Warul Walidin menulis dengan lebih panjang mengenai peristiwa bersejarah di Kota Jakarta dalam rubrik Citizen Reporter di Harian Serambi Indonesia (15 Desember 2021).
Baginya, Anies melakukan apa yang tidak dilakukan oleh para pendahulunya.
Warul menulis dengan perasaan sendu, “Dari 17 Gubernur yang telah memerintah DKI Jakarta dari era pertama Gubernur Soewirjo hingga terakhir Gubernur Djarot Saiful Hidayat memimpin DKI, tak satu pun tergerak untuk memperhatikan apalagi memugar makam Sultan Aceh terakhir ini.
” Selain menulis laporan di media ini, Warul juga memasang baliho besar di tengah Kota Banda Aceh.
Pesan yang disampaikan melalui baliho itu tidak kalah kuatnya dengan tulisannya itu.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Anies Baswedan atas apa yang telah dilakukannya, Warul menutup dengan frasa, yang menyasar kesadaran kolektif orang Aceh mengenai masa lalunya, “Semoga menjadi momentum kembalinya kejayaan Aceh.
” Apa yang kita saksikan beberapa hari belakangan ini merupakan kontestasi narasi tentang siapa yang lebih berhak atas golongan lain di Aceh.
Kontestasi ini berlangsung ketat terutama pasca MoU Helsinki di dalam medium demokrasi lokal, baik itu dalam wajah politik elektoral, agama, identitas, dan kesejarahan.

Dalam hal tersebut pula, keluarga Sultan Aceh merupakan kelompok yang telah lama tersingkir dari kontestasi itu.
Namun, dengan memanfaatkan ruang demokrasi tersebut, kerabat Sultan mencoba menerobos ke atas dengan memanfaatkan sentimen simbolik, salah satunya melalui pembentukan organisasi yang bernama Kaum Alaidin Kesulthanan Aceh Darussalam.