Berita Banda Aceh

Kejahatan Seksual Harus Dihukum Berat, Revisi Qanun Jinayat Masuk Prolegda

Ketua Komisi DPRA VI DPRA, Tgk H Irawan Abdullah S.Ag mendukung pendapat yang meminta dihukum berat pelaku kejahatan seksual

Editor: bakri
hand over dokumen pribadi
Anggota DPRA, Tgk Irawan Abdullah SAg 

SUKA MAKMUE - Ketua Komisi DPRA VI DPRA, Tgk H Irawan Abdullah S.Ag mendukung pendapat yang meminta dihukum berat pelaku kejahatan seksual.

Dengan demikian bisa memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan keadilan kepada korban.

Hal itu dikatakan Ketua Komisi VI DPRA, Tgk H Irawan Abdullah kepada Serambi, Rabu (12/1/2022).

"Qanun Jinayat sudah masuk dalam program legislasi daerah (prolegda) tahun 2022 terkait revisi.

Terkait pasal 47, 48, dan 50 Qanun Jinayat terhadap pelaku kejahatan seksual, pada prinsipnya DPRA sepakat pelaku dihukum berat," kata Irawan Abdullah kepada Serambi, Rabu (12/1/2022).

Dikatakan Irawan, apa yang menjadi harapan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati bahwa pada pasal terkait kejahatan seksual dengan ancaman penjara, menurut Irawan, DPRA belum dapat menyimpulkan.

Ketua Komisi VI DPRA, Tgk H Irawan Abdullah, SAg, membuka acara sekaligus menjadi pemateri sosialisasi regulasi qanun-qanun Syariat Islam Angkatan III tahun 2021 di Hotel Grand Permata Hati, Blang Oi, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Rabu (21/10/2021)
Ketua Komisi VI DPRA, Tgk H Irawan Abdullah, SAg, membuka acara sekaligus menjadi pemateri sosialisasi regulasi qanun-qanun Syariat Islam Angkatan III tahun 2021 di Hotel Grand Permata Hati, Blang Oi, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Rabu (21/10/2021) (For Serambinews.com)

"Ini belum dibahas.

Nanti ketika dibahas baru akan diketahui," kata Irawan.

Baca juga: Kebiri Kimia, Hukuman bagi Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak hingga Proses Eksekusinya

Baca juga: Kekerasan Seksual Menimpa Anak Masih Menjadi Persoalan Serius, Psikolog: Perlu Perhatian Bersama

Menurutnya, pihak kementerian PPPA sejauh ini belum menyampaikan berbagai usulan ke DPRA.

Selama ini yang menyampaikan adalah lembaga swadaya termasuk lembaga peduli anak dan perempuan.

Irawan mengakui bahwa ancaman hukuman di Qanun Jinayat meliputi cambuk, penjara, dan denda, sudah tepat.

Ketua Komisi VI DPRA menyebutkan, sebagaimana hasil pertemuan dengan ahli yang melahirkan Qanun Aceh tentang Jinayat, pasal yang mengatur sanksi dan ancaman hukuman sudah tepat.

"Mungkin pemahaman yang perlu diperdalam terkait lembaga yang menjalankan qanun tentang Jinayat ini," tegasnya.

Anggota Komisi I DPRA Fuadri juga mengakui bahwa Qanun Aceh tentang Jinayat sudah masuk dalam prolegda tahun 2022.

Sebab, ada beberapa pasal yang direncanakan direvisi termasuk kejahatan seksual.

"Kami mendukung pelaku kejahatan seksual diperberat," kata anggota DPRA asal pemilihan Nagan Raya ini.

Dikatakan Fuadri, dalam Qanun Jinayat sebenarnya sudah sangat jelas bahwa pelaku bisa dijerat ganda yakni cambuk, penjara, hingga denda.

"Mungkin pemahaman saja yang masih belum.

Nanti perlu dipertegas kembali.

Gagal Diversi

Saat ini kasus perkosaan terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Sebagiannya bahkan menimpa anak-anak.

Di Nagan Raya, ada kasus penyekapan dan pemerkosaan dengan terdakwa J (17).

Hakim Mahkamah Syar'iyah (MS) yang menyidang kasus tersebut sempat menawarkan diversi, alias diselesaikan di luar pengadilan untuk kasus ini.

Sidang perdana di MS pada Rabu (12/1/2022) siang.

Namun diversi gagal, karena ditolak oleh korban yang masih berusia 15 tahun.

Sedangkan terdakwa MR (17) yang juga ikut melakukan perkosaan, tidak lagi ditawarkan diversi, karena sudah mengulangi perbuatan serupa pada korban sehingga masuk kategori residivis.

MR dengan korban lain pada Oktober 2021 lalu pernah diversi karena masih dibawah umur.

Tawaran diversi diajukan karena ancaman hukuman terhadap terdakwa J yakni 1/3 dari ancaman maksimal 200 kali cambuk, atau 200 bulan penjara atau 2.000 gram emas.

Hal itu tertuang dalam Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat.

Kajari Nagan Raya, Dudi Mulyakesumah SH melalui Kasi Pidum R Bayu Ferdian SH yang dikonfirmasi Serambi, kemarin mengakui bahwa langkah diversi juga ikut ditawarkan di Mahkamah Sya’iyah.

Namun, korban menolak, sehingga kasus berlanjut ke persidangan.

Langkah diversi diajukan karena pelaku masih anak dan ancaman hukuman maksimal di bawah 7 tahun.

"Langkah diversi mengacu kepada aturan bahwa pelaku anak dengan kasus yang ancaman di bawah 7 tahun tetap ditawarkan," kata Bayu. (riz)

Baca juga: Kekerasan Seksual dan Rusaknya Budaya Kita

Baca juga: Aceh Darurat Kekerasan Seksual Digaungkan Pengunjuk Rasa di Depan DPRA

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved