Opini

Bumi dalam Nestapa

Persoalan ekologi yang nyata di depan mata tampaknya belum menjadi suatu kejeraan berarti bagi manusia

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Bumi dalam Nestapa
FOR SERAMBINEWS.COM
Siti Arifa Diana, S. Sos, MA. Alumni Magister Sosiologi di Selcuk University, Konya, Turki

Oleh Siti Arifa Diana, S. Sos, MA. Alumni Magister Sosiologi di Selcuk University, Konya, Turki

Persoalan ekologi yang nyata di depan mata tampaknya belum menjadi suatu kejeraan berarti bagi manusia.

Bahkan kita telah terbiasa menikmati bencana ekosistem ini setiap akhir dan awal tahun.

Setidaknya kita telah menyaksikan bersama betapa bumi kian menunjukkan kenestapaan dalam wujud ‘sangar’nya berbentuk perubahan iklim yang ekstrim.

Ketika masyarakat berbicara tentang ketidakseimbangan ekologi saat ini, produktivitas manusia masih memerlukan eksploitasi yang besar untuk menguras sumberdaya bumi.

Tak heran mengapa catatan Walhi dalam 6 tahun terakhir menyatakan terdapat 2.000 hektare hutan rusak akibat ilegal logging.

Disusul dengan berbagai polemik pencemaran lingkungan akibat kegiatan pertambangan, mega proyek jalan, pencurian kayu, serta konflik lahan yang tak kunjung menemui titik penyelesaian.

Sementara jargon besar yang digusung oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya penyediaan kebutuhan ekonomi warga dalam wujud perizinan operasi perusahaan kelapa sawit di berbagai titik lokasi khususnya di Aceh menciptakan paradoks dan kontradiksi yang pelik bagi ekosistem.

Bahkan sebagian besar masyakat adat gampong tidak memahami alur diciptakan oleh para korporasi ini.

Dilema ekologi

Sejak abad lalu, prediksi akan kehancuran ekosistem telah menjadi topik krusial dalam teori yang diciptakan oleh Marx tentang kapitalisme.

Di tengah semrautnya pertumbuhan ekonomi bebas dengan hadirnya revolusi teknologi, dan di tengah laku kerja dalam system modern, dan seiring itu pula manusia tak lagi ramah terhadap bumi dan isinya.

Baca juga: Hutan Gundul Resapan Air Hilang, Banjir Terus Hantui Masyarakat

Baca juga: BMKG: Enam Wilayah di Aceh Ini Diminta Waspada Kebakaran Hutan dan Lahan

Namun kembali lagi pada kuasa Allah SWT, dampak yang ditimbulkan oleh alam tidak jauh-jauh dari efek yang diciptakan manusia.

Dalam sepekan saja memasuki awal 2022, Aceh masih tenggelam dalam ketidakberdayaan menghadapi banjir.

Potret ketidakseimbangan ekologi menjadi dasar utama.

Selain masih gencarnya praktik pembalakan hutan di sejumlah daerah pedalaman Aceh.

Tercatat pada tahun 2019 tutupan hutan Aceh menyusut drastis sebanyak 15.140 hektar.

Dengan demikian kondisi hutan Aceh dalam pantauan Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA) saat ini hanya tersisa sekitar 3.004.532 hektar.

Hal ini dipicu oleh aktivitas pertambangan dan perambahan hutan.

Di samping itu tingginya ekspansi pengembangan lahan sawit, menyebabkan minimnya resapan air, dan memicu erosi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dan anak sungai di sejumlah daerah di Aceh.

Tak heran bencana banjir disertai longsor akan terus bergulir setiap tahunnya, terutama saat musim hujan.

Dari kilas balik ini, kita dapat memahami bahwa selama ini alam hanyalah dijadikan objek eksploitasi yang dapat mengakali manusia untuk bertindak dengan apa maunya.

Dimana konsep pembangunan berkelanjutan dijadikan sebagai moto ala ‘Kapitalisme’ untuk memberikan keseimbangan dalam mobilitas manusia (eks.

infrastruktur, pabrik industri, pemukiman, real estate serta peningkatan proyek migas, batubara, semen dan logam).

Sementara itu, mandetnya regulasi dan penerapan Qanun CSR (Corporate Social Responsibility) di beberapa kabupaten/kota di Aceh sejak 2016, melahirkan gejolak serius bagi tanggung jawab sejumlah perusahaan dalam menjalanan aktivitas pengelolaan sumber daya alam Aceh, sehingga melahirkan konflik dalam tatanannya.

Kita menyadari bahwa, bumi tidak hanya dihuni oleh manusia saja, akan tetapi makhluk hidup lainnya yang juga memiliki hak yang sama di mata Tuhan.

Namun relasi negatif yang telah dibangun manusia terhadap ekosistem, telah menggangu kenyamanan dan keamanan satwa-satwa dalam habitatnya.

Tak heran pemberontakan tak hanya dilakukan oleh manusia dalam menuntut hak mereka, namun satwa-satwa liar di hutanpun melakukan hal serupa, akan tetapi bukan di Gedung Bupati atau di Kantor DPR, melainkan dengan insting mereka sendiri menunjukkan pada manusia bahwa habitat dan populasi mereka sedang dalam ancaman.

Bukti hilangnya respek satwa-satwa liar terhadap perilaku manusia dapat kita telusuri dari berbagai kasus, seperti aksi kawanan gajah liar yang memasuki area pemukiman warga, hingga merusak lahan perkebunan dan rumah milik warga di kawasan Bener Meriah Aceh (2021, Kompas.

com).

Kejadian serupa juga dialami oleh warga di Desa Ceuruemen, Kabupaten Aceh Barat, tatkala gajah-gajah liar memasuki area perkebunan sawit setempat dan merusak lahan seluas empat hektar milik warga.

Sebelum itu, sempat viral berita tentang harimau yang turun ke pemukiman warga dan memangsa lima ternak sapi milik warga pada tahun 2019, di Desa Leubok Pusaka, Aceh Utara (Kompas.com).

Baca juga: Anggota DPRA Tuding Kerusakan Hutan Penyebab Banjir di Aceh, Kapolda dan Pangdam Harus Pantau Hutan

Sorenson menyatakan sifat superior dalam diri manusia mendorong ambisinya untuk mengakumulasi lebih banyak kekayaan alam hingga membiarkan makhluk hidup lain terbelenggu dalam kepunahanan habitat, serta populasi mereka.

Sebuah Keniscayaan

Saya sadar setiap tahunnya opini bertemakan ‘kerusakan alam’ akan selalu menjadi topik yang tak pernah kering untuk dibahas.

Namun percayalah ocehan ini bukan hanya dibuat untuk menanamkan sisi moralitas kita sebagai individu terhadap lingkungan, namun bagaimana cara kita selaku manusia menyelesaikan persoalannya (memenuhi kebutuhan hidup) dengan mempertimbangkan rasionalitas untuk tidak membebani lingkungan secara ekstrim.

Mungkin cara kita untuk menghemat listrik, mengurangi pemakaian plastik, tidak membuang sampah sembarangan adalah langkah sederhana untuk menjadi manusia yang bijak.

Tapi kita sedang berbicara tentang problem corak produksi, dan mentalitas kita dalam ketidaksiapan menghadapi resiko (bencana) yang telah kita buat.

Tuntunan kebutuhan memaksa untuk terus memproduksi dan memproduksi, bentang hutan yang luas diekstrak sedemikian untuk membangun infrastruktur, mendorong perkembangan industri tambang, dan distribusi kayu, mobilitas manusia terfokus pada produksi yang kelewat batas terhadap ekosistem untuk mengakumulasi modal sehingga menghasilkan keuntungan segila-gilanya.

Memang era globalisasi telah menuntut kebutuhan hidup manusia dalam ruang capital untuk memenuhi bahan baku, tenaga kerja, menunjang teknologi dan serta perambahan untuk menampung padatnya penduduk di dunia.

Akan tetapi corak-corak produksi yang dilakukan selama ini sangat memaksa alam bekerja keras terhadap manusia, tanpa disadari bahwa sumber daya yang ia miliki juga punya ambang batas tertentu.

Ironinya, parelitas kegiatan kapitalis ini terus melahirkan dampak penindasan alam tak berkesudahan.

Pemerintah maupun PT PT yang bekerja sama atas izinnya lantas begitu semarak mengkampanye aksi tanam pohon, dan gerakan hijau sebagai bentuk loyalitas terhadap lingkungan, dan mengklaim CSR perusahaan mereka mempunyai kontribusi merestorasi alam dengan menanam puluhan hektar tanaman untuk bumi.

Akan tetapi ada banyak kecacatan yang ditimbulkan dari mekanisme AMDAL yang dijalani, bagaimana masyarakat desa yang notabennya hidup berdampingan dengan ekosistem dan hutan, harus rela mendapatkan perlakuan tidak adil dari efek pencemaran lingkungan, banjir, serta krisis air bersih.

Memang sangat mustahil untuk mengakhiri keniscayaan akan bumi nestapa, tanpa kita segera mengkhiri mobilitas kapitalis di dunia ini.

Baca juga: Jokowi Cabut 2.078 Izin Tambang, Tertibkan Izin Sektor Kehutanan

Baca juga: Ini Dugaan Penyebab Banjir Luapan di Pandrah, Bukan Karena Tanggul Patah Tapi Dampak Hujan di Gunung

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved