Berita Nasional
Produsen Diminta Tak Tekan Harga TBS Petani Sawit, YLKI: Ibarat Ayam Mati di Lumbung Padi
Pemerintah menurunkan harga minyak sawit melalui kebijakan domestic price obligation (DPO) agar harga untuk dalam negeri tidak mengikuti tren
JAKARTA - Pemerintah menurunkan harga minyak sawit melalui kebijakan domestic price obligation (DPO) agar harga untuk dalam negeri tidak mengikuti tren pasar dunia yang tinggi.
Selain itu, Kemendag juga menetapkan domestic market obligation (DMO) untuk seluruh eksportir sawit agar memastikan pemenuhan pasokan dalam negeri.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan pemerintah tersebut demi stabiliasi harga minyak goreng dalam negeri.
Namun, ia meminta agar penurunan harga minyak sawit itu tidak berdampak kepada harga tanda buah segar (TBS) sawit dari para petani.
"Kami minta pemerintah melindungi harga TBS petani.
Ibaratnya jangan mengobati satu penyakit tapi muncul pula penyakit baru," katanya, Jumat (28/1/2022).
Diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menurunkan harga minyak sawit sebesar Rp 9.
300 per kg dan Rp 10.300 per liter untuk olein.
Harga itu setara dengan 655 dolar AS per ton atau turun signifikan dari tren harga pasar saat ini di atas 1.300 dolar AS per ton.
Baca juga: Petani Sawit Menjerit, Dalam Sehari Harga TBS di Abdya Turun Rp 900 per Kilogram
Baca juga: Apkasindo Aceh Gandeng Apkasindo Aceh Tamiang Benahi Tata Kelola Sawit di Simeulue
Gulat menegaskan, kebijakan baik DPO maupun DMO itu jangan sampai menjadi modus bagi produsen minyak sawit untuk menekan Indeks K.
Adapun Indeks K yakni persentase yang dibayarkan kepada petani kelapa sawit setelah dipotong seluruh pengeluaran pabrik kelapa sawit yang memproduksi minyak sawit.
Kementerian Perdagangan, kata dia, harus mengantisipasi kemungkinan adanya tekanan yang muncul kepada harga TBS.
Apkasindo, kata Gulat, meminta agar harga TBS tetap merujuk pada harga lelang KPBN Dumai.
Diketahui, rata-rata harga sawit saat ini terus naik atau sekitar Rp 3.500 per kg.
"Jadi, harga TBS petani jangan juga dikonversikan ke harga DPO CPO Rp 9.300 itu," ujarnya.
Gulat pun menegaskan, meski harga sawit saat ini sedang tinggi, petani juga mengalami tekanan.
Salah satunyavakibat harga pupuk yang tinggi.
Tercatat pada semester kedua 2021 harga melonjakn hingga 100 persen.
Di samping itu harga herbisida dan pestisida yang tinggi pun memberatkan petani.
Baca juga: Harga TBS Sawit di Salang Simeulue Anjlok Dampak Jembatan Lalla Putus, Segini Harganya Sekarang
Baca juga: Pascajembatan Putus, Petani Sawit di Simeulue Kesulitan Pasarkan Buah Sawit yang Siap Dipanen
Meski begitu, ia menjelaskan harga TBS yang tinggi saat ini tidak sepenuhnya terbentuk dari biaya produksi saat ini.
Namun, terbentuk dari rujukan harga perdagangan internasional.
Hal itu yang menjadi perbedaan dengan komoditas lainnya.
"Makanya itu kami setuju jika pemerintah mengunci pasokan dan harga minyak sawit khusus untuk minyak goreng," kata dia.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, polemik mengenai mahalnya minyak goreng di Indonesia ibarat ayam yang mati di lumbung padi.
Sebab dijelaskan dia, Indonesia menjadi negara terbesar penghasil Crude Palm Oil (CPO), namun masyarakatnya belum bisa mendapatkan harga minyak goreng yang murah.
"Dalam gejola minyak goreng di pasar ibarat ayam mati di lumbung padi.
Mengapa, karena kita penghasil CPO yang terbesar tapi negara gagal memasok harga minyak yang rasional kepada masyarakat dengan harga yang tinggi bahkan kalah jauh dengan Malaysia.
Ini malah sebaliknya, penghasil CPO terbesar tapi harganya malah yang termahal," ujarnya dalam diskusi Media Syndicate Harga Minyak Goreng Naik Tinggi secara virtual, Jumat (28/1/2022).
Tulus menilai pemerintah tidak memiliki kesiapan dari jauh-jauh hari untuk memitigasi gejola harga.
Padahal jauh sebelumnya, Tulus bilang, kenaikan minyak goreng sudah terprediksi.
"Namun yang jadi kambing hitamnya adalah demand tinggi karena menjelanglibur akhir tahun, itu selalu disebut alasannya.
Pasti ini tidak kayak gitu pasti ada sesuatu distorsi pasar yang lebih seitemik," kata Tulus. (republika.co.id/kompas.com)
Baca juga: Harga Minyak Goreng Naik, CPO dan Biji Kelapa Sawit Jadi Penyebabnya
Baca juga: Dalami Teknis Peremajaan Sawit, Petani Simeulue Belajar ke Aceh Tamiang