Pertanian Organik

Merajut Asa Pertanian Organik di Aceh

Permintaan sayuran organik cukup baik. Termasuk dengan peluang pasarnya yang prospektif.

Penulis: Mawaddatul Husna | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/Foto Instagram kamiKITA Community Center
Hasil pertanian tomat yang ditanam di kamiKITA Community Center, di Gampong Mulia, Banda Aceh. 

Laporan Mawaddatul Husna | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Deretan pipa paralon berisi tanah tertata rapi di atas hamparan tanah seluas 500 meter di sudut pusat kota Banda Aceh, Gampong Mulia. Dari lubang-lubang pipa itu, tumbuh subur cabai, terong, sawi, pakcoy dan berbagai sayuran lainnya. Beberapa petani terlihat merawat pertanian hidroponik itu dengan cukup telaten.

Hidroponik tersebut dikelola oleh kamiKITA Community Center, sebuah komunitas warga yang bergerak di isu lingkungan, kesehatan dan literasi keuangan. Selain mengembangkan hidroponik, mereka juga menanami tanah tersebut dengan berbagai jenis tanaman sayuran seperti sawi, pakcoy, terong, buncis, cabai, okra, jagung dan lainnya.

Seluruh tanaman itu dikembangkan secara organik, alias tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Sejak pandemi Covid-19 mendera, tepatnya Juni 2020, komunitas kamiKITA berinisiatif menggalakkan pertanian urban (urban farming) berbasis organik. Selain untuk membantu ketahanan pangan keluarga, mereka ingin mendidik warga agar mengkonsumsi pangan organik yang lebih sehat.

Beras Organik Tamiang Mulai Dilirik Pasar Swalayan di Medan

“Upaya ini tidak hanya bermanfaat dari segi ekonomi, tetapi juga kesehatan karena pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk organik, pupuk kandang atau kompos,” kata Koordinator Pertanian Urban kamiKITA, Edi Suranta Ginting kepada Serambi, Jumat (17/12/2021).

Lahan pertanian cabai di Lamlhom, Aceh Besar.
Lahan pertanian cabai di Lamlhom, Aceh Besar. (SERAMBINEWS/Foto kiriman Aslim Zahari)

Konsumsi pangan organik sedang menggeliat di Banda Aceh. Menurut Edi, masyarakat saat ini mulai menyadari pentingnya mengkonsumsi produk pertanian organik. Peluang pasarnya pun, masih terbuka lebar.

Untuk memperoleh sayur-sayuran organik di komunitas kamiKITA, warga langsung datang dan memetiknya sendiri di kebun. Karena bertujuan edukasi, harga yang dijual tak dipatok mahal, mulai Rp 1.000 per ons,” sebutnya.

Pupuk Subsidi Jatah Petani di Pidie tidak Cukup, Pemerintah Bantu Pupuk Organik untuk 12.000 Hektare

Bahkan, warga bisa menukar sayur dengan barang bekas dari rumah. Ban mobil bekas misalnya senilai Rp 5 ribu/buah, ampas kopi kering Rp 4 ribu/kg, dan galon bekas Rp 3 ribu/buah, spanduk Rp 3.000/buah, baju bekas Rp 500/pcs, karung goni Rp 500/buah, botol kaca Rp 400/botol, botol plastik 1,5 liter Rp 200/Rp 100 per botol, tutup galon Rp 100/botol, pintu. Selain itu, bisa juga menukar sayur dengan pintu, jendela, kayu, daun, dahan dan ranting dengan harga nego. Cara ini sekaligus dilakukan untuk mengurangi sampah di lingkungan sekitar.

Kebun organik kamiKITA cukup diminati warga Banda Aceh. Selain sayuran, warga juga banyak mencari produk pertanian seperti kompos, dan lainnya. Komunitas kamiKITA berencana melebarkan usahanya. Mereka berharap bisa memasok hasil panen kebunnya ke supermarket. “Kami sedang menunggu untuk bisa memasok ke Suzuya Mall Banda Aceh,” kata Edi.

Meski bisnis pertanian organik menjanjikan, tantangannya juga cukup banyak. Salah satunya adalah potensi kegagalan organik lebih tinggi daripada anorganik. Kegagalan itu seringkali disebabkan serangan hama.

“Kalau anorganik lebih gampang. Jika ada hama tinggal disemprot kimia langsung selesai. Tapi kalau organik prosesnya agak lama. Jadi perlu persiapan yang sangat super, harus teliti, nggak bisa dikelola sampingan atau enggak serius,” papar Edi yang juga praktisi pertanian. Untuk menghadapi serangan hama, mereka memproduksi sendiri pestisida alami, dan menanam serai sebagai pengalih hama.

Selain di kebun kamiKITA, warga Banda Aceh kerap membeli sayuran organik dari Suzuya Mall. Ini adalah satu-satunya supermarket yang menyediakan sayuran organik terlengkap di Banda Aceh. Mereka menjual brokoli, bunga kol, kangkung, bayam, kacang panjang, kol, okra, jagung manis, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, wortel, tomat, dan lainnya. Komoditas tersebut dipasok dari petani-petani Banda Aceh dan Medan.

Denmark Luncurkan Susu Organik, Mempromosikan Gaya Hidup Lebih sehat di Arab Saudi

Menurut Store Manager Suzuya Mall Banda Aceh, Nelli Marlina, permintaan sayuran organik cukup baik. Termasuk dengan peluang pasarnya yang prospektif. “Peluang pasar untuk sayuran organik ini bagus karena selama ini permintaan dari pelanggan juga tinggi,” kata Nelli tanpa menyebut jumlah penjualan per bulan.

Sementara di lokasi lain, Suzuya Pasar Atjeh di Jalan Diponegoro, sudah lama tersedia beras organik yang didatangkan dari Medan, namun stok yang disediakan tidak terlalu banyak.

Menurut Asisten Manager Suzuya Pasar Atjeh, Dedek Susiana mengatakan sudah lama pihaknya juga menyediakan beras organik, karena sudah ada pelanggannya.

“Dan untuk permintaan pasarnya lumanyan juga lakunya,” sebutnya.

Selain itu, juga ada Almond Factory Organic Store yang berlokasi di Jalan Teuku Iskandar, Lamglumpang, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh yang menyediakan beragam produk organik, satu diantaranya beras organik yaitu beras mix organik (hitam, merah, cokelat), beras organik merah, beras organik pandan wangi pecah kulit , dan lainnya dengan masing-masing berisi 1 kg.

“Permintaan beras organik lumanya banyak, karena ada yang beli untuk bayi dan ada juga yang beli untuk orang tuanya. Walaupun beras putih tetap organik karena beda rasanya,” kata Owner Almond Factory, Heartly Surviva yang akrab disapa Echi kepada Serambi, Senin (31/1/2022).

Ia menyebutkan secara keseluruhan dalam satu bulan bisa menjual sebanyak 100 kilogram beras organik, dan setiap bulan penjualannya tersebut stabil. Harga yang dijual mulai Rp 20.000- Rp 30.000/kg. Paling mahal beras hitam organik sampai Rp 40.000/kg. Beras-beras organik tersebut didatangkan dari Yogyakarta.

Meskipun harga beras organik tergolong mahal dibanding harga beras pada biasanya sekitar Rp 10.000- Rp 12.000/kg, namun permintaannya selalu ada. “60 persen pelanggan saya adalah yang benar-benar sudah memilih hidup sehat. Sedangkan 40 persennya lagi orang-orang biasa yang mencoba mengkonsumsi produk organik,” kata Echi yang konsisten menjual produk organik sejak 2014.

Echi mengaku usahanya ini mulai berkembang sejak 2019 hingga sekarang karena sudah menjadi tren dan life style untuk hidup sehat. Hal itu juga karena pengaruh media sosial saat ini yang terus menyebarkan terkait hidup sehat.

Selain beras organik, ia juga menjual sayuran organik namun tidak terlalu banyak dipasok di tokonya, seperti salada dan jenis sayuran lalapan lainnya yang salah satunya dipasok dari kamiKITA.

Mentan Kurangi Kuota Pupuk Subsidi Aceh capai 10.199 Ton, Tingkatkan Pemanfaatan Pupuk Organik

“Harganya juga tidak jauh beda dengan harga sayur biasa. Misal salada organik dijual Rp 10.000, sementara harga di pasaran Rp 6.000, lebih murah Rp 4.000,” katanya.

Konsumen pangan organik Mira Aslani (33), warga Ulee Kareng, Banda Aceh, mengaku sudah mengkonsumsi sayuran organik sejak 2016. Awalnya untuk detox tubuh. Ia khawatir jika mengkonsumsi pangan nonorganik, maka pestisida yang menumpuk bisa membahayakan kesehatan.

Alasan lain, sayuran organik yang telah dimasak rasanya lebih enak. Tampilan sayurannya juga lebih segar, mengundang selera makan. “Selama konsumsi sayuran organik ini tubuh jadi lebih segar, lebih fresh, kulit juga lebih bagus,” kata dia yang berprofesi sebagai Pelaku UMKM di Banda Aceh.

Untuk memperoleh sayuran organik tersebut, Mira cukup membelinya di Suzuya Mall Banda Aceh karena jenis sayuran yang dijual lebih lengkap. Meski harga sayuran organik lebih mahal, tak jadi soal.

“Kalau harganya tentu jauh berbeda dengan yang anorganik. Kalau sayuran anorganik misal kangkung tiga ikat Rp 5.000, tapi kalau organik bisa Rp 10.000 untuk tiga ikat kangkung,” katanya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Aceh, bahwa provinsi ini memiliki luas lahan pertanian seluas 4.440.066 ha pada tahun 2020. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, disebutkan luas panen tanaman pangan untuk padi pada 2020 seluas 320.752,85 ha dengan jumlah produksi 1.751.996,94 ton.

Sementara data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, hortikultura di Aceh pada 2020 memiliki luas panen seluas 12.667 ha, terdiri atas cabai besar 5.722 ha, kentang 1.015 ha, cabai rawit 4.459 ha, dan bawang merah 1.471 ha. Untuk jumlah produksinya secara keseluruhan sebanyak 1.614.783 kuintal (kw). Terdiri atas kentang 120.065 kw, cabai besar 734.437 kw, bawang merah 112.465 kw, dan cabai rawit 647.816 kw.

Sedangkan jumlah pertanian organik mencapai 31,60 ha yaitu produksi cabai oleh Kelompok Tani Urum Bahgie, di Desa Genting Gerbang, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Khusus pertanian padi organik, Data Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh mencatat, berada di dua kabupaten di Aceh. Yakni Aceh Tamiang dengan luas 25 ha dan Aceh Tengah sekitar 40,9 ha.

Belum Didukung Harga Pasar

Di tengah potensi pasar yang ada, sejumlah petani tradisional di Provinsi Aceh mulai beralih ke organik, meski belum sepenuhnya meninggalkan bahan-bahan kimia. Seorang petani cabai di Gampong Lamlhom, Aceh Besar, Aslim Zahri (26), mengatakan, sejak awal 2019 ia menggunakan campuran pupuk organik dan pupuk kimia untuk lahan cabai seluas 8.000 meter.

Pupuk organik, kata Aslim, ia gunakan saat menumbuhkan benih dalam polybag hingga berusia satu bulan. Sembari menunggu benih, Aslim dan para pekerjanya membajak tanah. Tanah yang telah dibajak kemudian diberi pupuk kimia sebanyak 50 kg untuk keseluruhan tanah yang akan ditanami cabai, seperti NPK Phonska, SP 36 dan ZA. Lalu dicampur dengan kotoran sapi, sekam, dan kotoran ayam untuk tiap lobang bedengan sebanyak satu genggam tangan orang dewasa.

“Tanah didiamkan supaya masak sekitar 2 minggu lebih atau satu bulan sebelum ditanam cabai,” kata Aslim.

Aslim menjelaskan, dia belum sepenuhnya menggunakan pupuk organik karena proses penyesuaian dengan tanah membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu, jumlah kotoran sapi dan ayam yang tersedia tidak selalu mencukupi kebutuhan seluruh lahan.

Saat ini, Aslim mengandalkan kotoran sapi dari sejumlah peternak. Ia kerap mendatangi tempat ternak di sejumlah kampung untuk mendapatkan kotoran sapi. Tapi, rata-rata mereka hanya memiliki satu atau dua ekor sapi. Kotoran yang dikumpulkan tersebut, tidak bisa memenuhi permintaan petani yang memiliki lahan luas.

Karena sulit mencari kotoran sapi dalam jumlah cukup, Aslim pun mencampurnya dengan kotoran ayam dan sekam yang lebih mudah didapat. “Kebetulan di Lhamlhom ini ada warga yang beternak ayam dalam jumlah yang besar sehingga bisa memenuhi permintaan kami,” sebut Aslim.

Sekali tanam, Aslim mengeluarkan biaya sebesar Rp 2,5 juta, mulai untuk benih, pupuk kandang dan pupuk kimia. Meski masih campuran, menurut Aslim, kualitas tanaman dan hasil panen lebih baik dibandingkan jika hanya menggunakan pupuk kimia saja. “Tanaman lebih tahan terhadap penyakit. Kondisi batang pohon sama buahnya juga bagus,” kata dia.

Sementara untuk panen harian yang diperoleh sekitar 70-80 kg cabai, dengan masa panen selang tiga hari sekali. Cabai-cabai ini dia pasok ke pasar disekitar Lhamlhom, dan Peunayong dengan harga rata-rata Rp 25.000/kg. Dengan harga hasil panen tersebut, Aslim mengatakan hanya cukup untuk modal dan upah para pekerja. “Artinya cukuplah untuk menutupi biaya produksi. Karena harga itu tergantung dari harga pasar, apabila cabai di pasarannya banyak maka harganya bisa lebih murah. Apalagi sekarang sudah banyak juga cabai lokal,” sebutnya.

Hal lainnya juga disampaikan oleh Sekretaris Kelompok Sepakat Cang Bakoeng Kuta Cot Glie, Aceh Besar, Amiruddin. “Hasil cabainya alhamdulilah bagus. Namun ruginya kita bermain di organik. Saat hasil produksi kita bawa ke Pasar Lambaro itu, sama saja hasilnya dengan yang nonorganik. Sementara modal untuk organik itu lebih besar,” katanya mengeluh.

Amiruddin mencontohkan pengalamannya. Saat tanam cabai tiba, ia merogoh biaya produksi sebesar Rp 72 juta untuk menanam di atas lahan seluas 1 ha, dengan keuntungan mencapai Rp 200 juta. Saat itu ia menggunakan 90 persen pupuk kandang, sisanya 10 persen pupuk kimia. Harga jual saat itu sekitar 2018 ke tengkulak di Pasar Lambaro sebesar Rp 20.000/kg.

“Jadi bisa dapat keuntungan sekitar Rp 200 juta. Namun dua tahun terakhir ini, harga cabai Rp 12.000/kg sehingga jangankan untuk untung, modal saja tidak cukup,” sebutnya.

Harga jual produk organik petani bisa lebih mahal, tapi kata Amiruddin, mereka harus mengantongi sertifikat organik yang diterbitkan Lembaga Sertifikasi Organik. Tapi kendalanya, biaya sertifikasi mandiri mencapai Rp 40 juta –bukan angka yang kecil bagi petani tradisional seperti dirinya.

Ia mencoba mengurus sertifikasi bersubsidi dari pemerintah. Tapi ia terbentur rumitnya persyaratan. “Akhirnya nggak selesai-selesai sertifikat organik tersebut,” katanya. Ia pun berharap pemerintah bisa menjawab berbagai kendala itu agar petani bisa sepenuhnya beralih ke pupuk organik sekaligus mendapatkan kepastian harga yang lebih baik. “Artinya harus ada sinergi apabila ingin menggerakkan pertanian organik di Aceh,” dia berharap.

Petani cabai lainnya di Bener Meriah, Minni (49) menyampaikan juga menerapkan pertanian semi organik. Sebab tanah di kebun seluas 1.600 meter itu sudah tercampur dengan sampah-sampah daun atau sampah kopi sebagai pupuk organik yang dibawa ke kebun tersebut.

“Dikebun sudah bercampur komposnya. Palingan dua bulan lagi dipancing dengan pupuk buatan untuk daun dan buahnya,” sebutnya. Penggunaan pupuknya lebih banyak menggunakan kompos dibanding pupuk buatan. Perbandingannya itu 70 persen organik dan 30 persen pupuk buatan.

“Belum ada yang murni menggunakan pupuk organik. Rata-rata yang untuk dijual menggunakan tambahan pupuk pabrik. Tergantung dari struktur tanahnya juga, kalau daunnya banyak tapi buahnya sedikit, maka dipancinglah dengan pupuk buah yaitu pupuk pabrik,” paparnya.

Untuk sekali produksi, ia menyebutkan hanya mengeluarkan modal sekitar Rp 200.000 untuk khusus membeli pupuk urea. Sekali tanam keuntungan yang diperoleh kira-kira kurang dari Rp 10 juta dengan waktu panen dua kali dalam satu bulan. “Kalau harga jualnya tergantung harga di pasaran pada hari itu. Kita jual ke tengkulak yang ada di Bener Meriah,” sebutnya.

Dosen Jurusan Agribisnis dan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Dr Monalisa SP MSi menjelaskan, mengubah budaya petani dan konsumen ke organik, tak semudah membalikkan telapak tangan.

Kendala paling besar justru di tingkat konsumen yang belum sepenuhnya menyadari manfaat mengkonsumsi pangan organik. Konsumen pangan organik biasanya memiliki riwayat penyakit berbahaya yang kondisinya dapat memburuk jika mengkonsumsi produk nonorganik.

“Mengkonsumsi pangan yang terpapar bahan kimia dalam dosis tinggi dan terus-menerus memang dapat mempengaruhi sel-sel, jaringan, dan organ tubuh manusia. Bahkan bisa terbawa sampai ke janin ketika seorang ibu mengandung,” kata Monalisa.

Sedangkan dari aspek lingkungan, bahan-bahan kimia dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah. Lebih luas, petani dapat meninggalkan lahan pertanian yang kurang subur dan mendorong terjadinya pembukaan tanah pertanian baru.

Di sisi lain, kata dia, ketersediaan pupuk organik juga terbatas sehingga petani tidak punya banyak pilihan. “Nah, disinilah peran, maksudnya petani maju, petani inovatif dan Pemerintah melalui penyuluh harus merangkul petani untuk memproduksi pupuk organik sendiri,” kata Dr Monalisa.

Kembangkan Budidaya Padi Organik

Pada tahun 2022, Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh akan membina tiga kabupaten di Aceh untuk budidaya padi organik, yaitu Aceh Barat Daya (Abdya), Pidie, dan termasuk Aceh Tamiang.

Sebelumnya sudah ada dua kabupaten di Aceh yang berhasil mengembangkan budidaya padi organik. Yaitu Aceh Tamiang pada 2021 dengan luas lebih kurang 25 hektare yang merupakan swadaya masyarakat.

Selanjutnya Aceh Tengah lebih kurang 40,9 hektare yang pure dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh yang membantu memberikan bantuan benih sejak 2020 hingga 2021 sudah menghasilkann produk dengan sertifikasi organik.

“Tahun ini kita ada binaan ke Abdya, karena para petani antusias, mereka menginginkan padi dengan varietas lokal. Termasuk juga kabupaten Pidie dan Aceh Tamiang,” kata Kabid Tanaman Pangan Distanbun Aceh, Safrizal yang didampingi Kasi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (P2HTP), Sri Mulyani kepada Serambi, Selasa (18/1/2022).

Dikatakan untuk Abdya dan Pidie belum ditentukan luas lahan yang akan dikembangkan budidaya padi organik, kemungkinan masing-masing dibawah 50 hektare. Sedangkan Aceh Tamiang, mereka menyediakan lahan seluas 100 hektare.

Ia melanjutkan, keberhasilan padi organik ini nantinya tergantung dari pengawasan, keinginan petani. Artinya kemampuan dan keseriusan petani dalam mengembangkan budidaya padi organik.

Hal yang menjadi tantangan dan kendala di pertanian organik ini, dikatakan Safrizal, mengubah perilaku petani dari menggunakan bahan nonorganik ke organik. Namun, pada beberapa daerah sudah berjalan dengan sendirinya. Artinya mereka sudah punya budaya dari awal untuk mengembangkan organik, dan juga didukung oleh topografi dan kondisi lingkungan di tempat tersebut, sehingga memang layak sekali dikembangkan organik.

“Kemudian sumber airnya juga. Jadi sumber air untuk mengairi sawah itu tidak terkontaminasi dengan sawah-sawah yang menggunakan pupuk nonorganik. Untuk menjadi kawasan organik itu sendiri butuh waktu beberapa tahun kalau kita buat dari awal. Selanjutnya ada proses assessment dari lembaga untuk melihat layak tidak dilihat dari sisi iklimnya, kondisi lahannya. Bahkan pola pikir petani juga dilihat,” paparnya.

Safrizal menambahkan, secara kebijakan pertanian organik menjadi tren saat ini untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia. “Kita melihat penggunaan pupuk sudah massif sehingga berdampak dalam jangka panjang untuk kesehatan. Oleh karena itu Pemerintah beralih ke organik. Selain sehat juga mengurangi ketergantungan kepada pupuk kimia. Selain bahan bakunya sudah langka juga harus impor dan harganya mahal,” sebutnya.

Sementara organik sumbernya banyak, antaranya dilingkungan sekitar petani yang banyak pohon, tanaman, sisa-sisa dari tanaman, makanan, dan ternak. “Sehingga bagaimana petani itu kita edukasi mau mengolahnya dan mungkin nanti kita bantu sarana pengolahannya. Kita coba massifkan kepada petani sebelum ia melakukan pola tanam treatment-nya pupuk organik,” katanya.

Pihaknya juga akan mendorong agar memiliki izin edar untuk produk-produk organik ini, agar dapat dipasarkan secara massif. “Kalau segmen pasar organik, ini memang segmen pasar spesial. Seperti di Aceh Tamiang waktu itu kita diundang saat panen padi organik perdana. Kita tanya ke bupatinya, nanti hasil panennya mau dibawa kemana. Dan beliau mengatakan pihaknya sudah menjajaki dan ditetapkan semua PNS di Aceh Tamiang wajib membeli beras organik. Kemudian ritel-ritel disana juga diwajibkan menampung untuk dijual kepada konsumen yang memang sudah terbangun pola pikirnya untuk mengkonsumsi organik,” papar Safrizal.

Sama juga dengan di Takengon, Aceh Tengah, dikatakan Safrizal, bupati setempat mengatakan tidak mengizinkan jaringan mini market hadir di kabupaten tersebut, apabila tidak mau menjual beras organik, dan pihak mini market wajib untuk menampungnya.

Sedangkan ditingkat provinsi, pihaknya juga akan menjajaki ke ritel-ritel modern untuk memasarkan produk organik. Menurutnya, dengan kualitas yang tetap ditingkatkan, hasil produksi berasnya menarik, bersih, kemasannyapun menarik, serta didukung dengan uji lab, tersertifikasi mutu, maka untuk pemasarannya tidak akan sulit.

“Kalau itu semua dipenuhi, saya rasa tidak susah. Harga beras organik mungkin sampai Rp 20.000 per kilogram, tapi bagi orang yang paham pasti mau,” sebutnya.

Kabid Hortikultura Distanbun Aceh, Chairil Anwar menyampaikan hortikultura di Aceh pada 2020 memiliki luas panen seluas 12.667 ha, terdiri atas cabai besar 5.722 ha, kentang 1.015 ha, cabai rawit 4.459 ha, dan bawang merah 1.471 ha.

Untuk jumlah produksinya secara keseluruhan sebanyak 1.614.783 kuintal (kw). Terdiri atas kentang 120.065 kw, cabai besar 734.437 kw, bawang merah 112.465 kw, dan cabai rawit 647.816 kw.

Sementara pertanian organik, dikatakan, di Aceh baru memiliki 31,60 ha tanaman cabai di Aceh Tengah yang tersertifikasi organik dari Lembaga Sertifikat Organik LSO-009-IDN.

Tanaman cabai organik itu dibudidayakan oleh Kelompok Tani Urum Bahgie, tepatnya di Desa Genting Gerbang, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Kelompok tani ini sudah memperoleh sertifikat organik sejak 20 September 2021 yang berlaku hingga 20 September 2024.

“Dan setiap tahunnya mereka dipantau oleh lembaga terkait,” sebutnya.

Dikatakan, pada tahun ini Lembaga Sertifikasi Organik tersebut juga akan kembali mengeluarkan sertifikat organik setelah tanaman itu nanti diuji dan dinyatakan layak memperoleh sertifikat tersebut. Nantinya kabupaten/kota mengusulkan kelompok tani atau petani yang akan diuji oleh lembaga tersebut.

Perkuat Penggunaan Pupuk Organik

Dikutip dari website milik Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, disampaikan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Ali Jamil melalui SK nya Nomor 45/KPTS/RC.210/B/10 2021, tertanggal 21 Oktober 2021, telah mengurangi kuota pupuk subsidi 2021 Aceh sebanyak 10.199 ton untuk empat jenis pupuk.

Keempat jenis kuota pupuk subsidi yang dikurangi adalah urea sebanyak 3.705 ton, SP-36 sebanyak 1.325 ton, ZA sebanyak 5.006 ton dan NPK sebanyak 163 ton. Sementara untuk pupuk cair organik ditambah 1.527 ton.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Cut Huzaimah melalui Kabid Sarana dan Prasarana Fakhrurrazi menyampaikan terkait pengurangan empat jenis kuota pupuk subsidi Aceh tersebut, pihaknya sangat terkejut ketika melihat SK Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan terkait pengurangan kuota empat jenis pupuk subsidi, yaitu urea, SP-36, ZA dan NPK. Sementara untuk pupuk cair organik ditambah.

Pupuk organik ditambah 1.527 ton, dari dari 7.939 ton menjadi 9.466 ton. Urea dikurangi 3.705 ton, dari 76.006 ton menjadi 72.301 ton, SP-36 dikurangi 1.325 ton dari 17.019 ton menjadi 15.694 ton, ZA dikurangi 5.006 ton, dari 12.437 ton menjadi 7.431 ton, dan NPK dikurangi 163 ton, dari 45.020 ton menjadi 44.857 ton.

Fahrurrazi menyatakan, kuota pupuk subsidi yang diberikan Kementan pada tahun 2021, baru memenuhi sekitar 35 -40 persen, dari kebutuhan RDKK kelompok tani di Aceh. Alasan dari pihak Kementan relokasi kuota pupuk subsidi antar daerah yang dilakukan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian daerah yang stok pupuknya masih banyak, digeser atau direlokasi ke daerah yang daya serap pupuk subsidinya cukup tinggi.

Daya serap pupuk subsidi di Aceh, kata Fahrurrazi sebenarnya cukup tinggi. Buktinya sampai posisi 31 Oktober 2021, serapan untuk pupuk subsidi urea sudah mencapai 77,72 persen dari kuotanya 72.301 ton. Pupuk NPK lebih tinggi lagi sudah mencapai 87,02 persen dari kuotanya 44.857 ton, ZA juga tinggi mencapai 70,80 persen, dari kuotanya 7.431 ton.

Pupuk SP - 36 yang daya serapnya rendah baru 50,75 persen dari kuotanya 15.694 ton. Pupuk organik cair daya serapnya juga masih rendah baru sebesar 54,74 persen dari kuotanya 9.466 ton. Dari kelima jenis pupuk tersebut, daya serap tertingginya ada pada jenis pupuk NPK, kedua urea dan ketiga ZA.

Kabid Tanaman Pangan Distanbun Aceh, Safrizal, melihat sisa stok pupuk urea subsidi dan NPK subsidi yang ada sekitar 22 persen dan 17 persen dari kuotanya, setelah pengurangan sudah tentu, ketersediaan kedua jenis pupuk subsidi nanti, di kios pengecernya jauh dari kebutuhan petani.

"Kita harapkan, kekurangan kebutuhan pupuk subsidi kimia itu, sebagian bisa dialihkan ke pupuk buatan organik," ujarnya.

Dikatakannya, Distanbun Aceh bersama Penyuluh Pertanian di Pidie dan Dinas Pertanian setempat, telah melakukan pelatihan kepada anggota kelompok tani sebanyak 30 orang mengenai cara pembuatan pupuk organik dan menyuburkan lahan sawah dengan cairan decompuser MA 11.

Program pelatihan pembuatan pupuk organik dan pembasmi hama organik itu dilakukan, untuk mengubah pola pikir atau kebisaan anggota kelompok tani, yang selalu bergantung pada pupuk kimia (Urea, NPK, ZA, SP-36), atau non organik, kepada pemanfaatan pupuk organik yang alami dan bahan baku pembuatannya ada disekitar petani.

Memanfaatkan pupuk organik, kata Safrizal, tanah menjadi subur, produktivitas tanaman padi bisa naik dari 5,6 ton menjadi 10 ton/hektar. Hal ini sudah di uji di lahan sawah petani padi di Kuta Cot Glie, Aceh Besar hasil panen padinya mencapaia 10,6 ton/hektar. Dan pada lahan sawah SMK PP Saree, Aceh Besar, produktivitas lebih tinggi mencapai 12,4 ton/hektar.

“Solusi untuk mengurangi kekurangan kebutuhan pupuk kimia (nonorganik) di musim tanam padi rendeng, anggota kelompk tani padi perlu meningkatkan pemanfaatan pupuk organik dan decompuser MA 11, sebagai alat penyubur lahan sawah untuk menaikkan hasil produktivitas panen padinya dari 5,6 ton menjadi 10 – 12 ton/hektar,” kata Safrizal.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved