HUT Ke 33 Serambi Indonesia
33 Tahun Serambi Indonesia: Phaederus, Acta Diurna dan Sjamsul Kahar
Dalam hal menulis, Senat Romawi pada masa itu, melaporkan pekerjaan lembaga itu kepada publik yang ditulis pada batu menir yang dipahat.
Koran itu kemudian berkembang antara hidup dan mati seiring dengan lenyapnya Republik Romawi, dan dimulainya era diktator dan kaisar.
Kisah Serambi Indonesia
Cerita lahirnya Serambi Indonesia 33 tahun yang lalu sama sekali tidak dapat disandingkan dengan sejarah Acta Diurna, sekalipun asbabun nuzulnya mempunyai kemiripan dengan urgensi Aceh pada masa itu yang butuh pemberitaan dari, oleh, dan untuk lokal Aceh.
Sekalipun nuansa lokalnya sangat kental, Serambi Indonesia tetap saja tidak mau berlaku dan terkesan lokalistik.
Tambahan kata Indonesia adalah unik, karena bagi banyak pihak Aceh terkenal sebagai daerah Serambi Mekah.
Baca juga: Inilah Kura-kura Tertua Tercatat di Buku Rekor Dunia, Berumur 190 Tahun, Libidonya Tak Pernah Turun
Menurut cerita adalah Ibrahim Hasan yang mengusulkan nama Serambi Indonesia untuk nama koran itu, karena bukankah Aceh menjadi kawasan Indonesia paling barat yang langsung berhadapan dengan siapapun yang akan ke Indonesia, baik dari sebagian besar Asia, Afrika, dan bahkan seluruh kawasan Eropah, dan sebagian Amerika Serikat?
Ibrahim Hasan adalah pemimpi, pelaku, dan pemimpin.
Ia telah mengenal baik Sjamsul Kahar, perwakilan, sekaligus wartawan Harian Nasional Kompas.
Kita tidak tahu apakah mereka membaca habis tentang naifnya Plato, dan hebatnya Romawi tentang pemberitaan dan komunikasi publik.
Yang pasti, sekalipun Aceh pernah mempunyai berbagai media cetak pada masa pra dan pasca kemerdekaan, bahkan ketika awal Orde Baru, pada tahun 80an, koran Aceh memang ada, namun dalam kenyatannya sering kali “tiada”.
Persoalan koran Aceh pada masa itu yang diwakili oleh Aceh Post, Harian Mimbar Swadaya, dan Peristiwa.
Nyaris semua koran itu berada dalam ruangan ICCU penerbitan, kadang bernapas, seringkali megap-megap.
Alasan utamanya? Karena persoalan modal keuangan yang megap-megap, dan barangkali juga persoalan sumber daya manusia.
Hal itu sangat disadari oleh Ibrahim Hasan pada tahun 1989.
Sebagai gubernur yang baru saja dilantik, ia sangat berambisi membangun konektivitas informasi publik ke seluruh Aceh setiap hari.