HUT Ke 33 Serambi Indonesia
Membaca Serambi di Era DOM ke Damai
Di masa DOM sejak 1989-1998, Serambi dengan lincah bisa terus mencetak koran secara rutin kecuali pada hari-hari libur nasional.
Sebut saja joke yang sering diucapkan di podium yakni di Jakarta tidak sungai namun ada jembatan. Di Aceh banyak sungai namun tidak ada jembatan.
Karena tiap hari baca serambi, saya hapal kata terobosan yang diucapkan oleh pak Ibrahim Hasan. Saya juga suka baca kolom Apit Awe karya khas Pak Hasyim KS yang berada di halaman 1 di pojok kanan bawah.
Membaca tulisan Apit Awe, saya seperti dikritik oleh penulis terutama kepada aparat pemerintah. Saya seperti dihadiahi sembetan cambuk rotan dengan mengutip Hadi Maja atau peribahasa Aceh.
Di masa DOM sejak 1989-1998, Serambi dengan lincah bisa terus mencetak koran secara rutin kecuali pada hari- hari libur nasional.
Khusus untuk liburan hari raya idul Fitri dan Idul Adha, saya amati Serambi menambah hari libur terbit tanpa mengurangi biaya langganan. Warga bisa paham serambi tidak beredar karena hari raya di Aceh bisa seminggu libur bagi PNS dan loper koran juga pulang Gampong .
Ada kesepakatan yang tidak tertulis antara pelanggan dengan manajemen Serambi. Tanpa Serambi, saya kesepian info tentang Aceh.
Di era reformasi, saya ingat Serambi tidak terbit sekitar 2 Minggu. Koran terpercaya ini diinstruksikan tidak terbit oleh panglima GAM Ishak Daud.
Baca juga: 33 Tahun Serambi Indonesia: Phaederus, Acta Diurna dan Sjamsul Kahar
Akhirnya serambi bisa terbit lagi. Tentu saja serambi mengirim negoisator yang ulung sehingga ada bisa beredar lagi. Pada masa itu, halaman Serambi penuh dengan lapak berita dari jubir GAM. Ini masa GAM naik daun.
Saya salut kepada redaksi Serambi dalam mengatur keselamatan pembawa berita di lapangan sejak masa DOM hingga konflik.
Bagaimana pun keselamatan nyawa wartawan adalah segala- galanya di atas berita yang ditulis, memang ada dua wartawan serambi yang kemudian bertugas sebagai perwakilan Serambi di Jakarta yakni Kak Nona dan Bang Fikar.
Masa duka Serambi yakni ketika gempa dan smong meluluhlantakkan pesisir Aceh pada Ahad, 26 Desember 2004. Ada puluhan wartawan dan keluarga besar Serambi menjadi syuhada.
Saya menyaksikan kantor redaksi dan mesin cetak Serambi dekat Alue Naga terhempas puluhan meter.
Kalau perangkat keras seperti mesin cetak bisa dipesan secepatnya. Namun menyangkut SDM, itu butuh waktu bertahun-tahun untuj menghadirkan di jajaran manajemen
Setiap hari, saya klik Serambi untuk mengetahui haba di gampong halaman. Saya tidak bisa melupakan asal saya dari gampong.
Serambi menjadi obat rindu melepaskan kerinduan pada nostalgia di Tanoh Endatu dan update situasi perekonomian.