Feature
Kisah Mahasiswa Gayo di Malang, Sepekan Mi Instan, Tiga Hari tak Makan, Kini Jadi Imam
Hampir tiga tahun saya tidak pernah menari dan berdidong lagi. Ini sungguh pertunjukan menyenangkan, melepaskan rindu
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Ansari Hasyim
Ikut testing di UIN, lulus. Kabar itu ia sampaikan ke kampung halaman. Sejak itu ia mulai menata hidup sebagai mahasiswa.
Ia menyewa rumah bersama kawan-kawan sekampung, rumah sederhana.
Awalnya kehidupan berjalan lancar. Kuliah berlangsung baik. Sampai kemudian datang pandemi Covid-19 di penghujung 2019 yang terus memuncak pada 2020 dan berlanjut ke 2021.
Selama dua tahun, Amri dan juga penduduk negeri ini terkurung di rumah. Keadaan ekonomi juga terpelanting, termasuk di Bener Meriah.
Orang tua Amri, petani kopi juga terkenal dampak. Harga kopi jatuh sampai titik nadir.
"Seminggu kami makan mi instan," kenang Amri.
• Manajemen Hotel Horison Sky Kualanamu Roadtrip ke Aceh
Sebahagian besar kawan-kawannya memilih pulang kampung.Tinggal dia sendirian.
Amri tidak menyerah. Ia berusaha bertahan. Bahwa pulang kampung dalam situasi genting seperti itu, juga tidak menguntungkan. Ia memilih tetap tinggal di Malang.
Tapi ia harus berhadapan dengan kenyataan getir susul menyusul. Persediaan makanan benar-benar habis. Stok mi instan juga habis.
"Tiga hari saya tidak makan," kisah Amri lagi mengenang kesulitan paling sulit itu.
Tapi dalam situasi sulit, kadang kala melahirkan kreativitas tak terduga. Tiba-tiba ia punya ide mengadukan nasib kepada para dosennya. Minta bantuan penyelamatan. Dengan sisa paket internet HP yang masih tersedia, Amri memberanikan diri mengirim pesan Whats App (WA) kepada dua puluh lebih dosennya.
• Diprediksi Omicron Melandai pada Maret, Puncaknya Dua Minggu Lagi
Alhamdulillah, gayung bersambut. Tiga dosen meresponsnya sangat cepat. Dan ada seorang dosen yang hari itu juga menyediakan fasilitas jemputan pribadi dan memboyong Amri ke rumah sang dosen di Gadingkulon, Kabupaten Malang.
"Saya langsung ikut dan nginap di rumah pak dosen. Saya akan diberikan kerja, tapi saya tidak tanya jenis pekerjaannya," kata Amri mengenang kisah itu.
Sehari setelah di Gadingkulon, baru sang dosen manyampaikan bahwa masjid di kampung itu butuh pengurus, sebagai imam, pengajar pengajian anak-anak dan remaja.
"Saya diberi ruang kamar di masjid, dan sejak itu saya tinggal di masjid dan jadi imam masjid," ujar Amri.
Amri menjalankan pekerjaannya sebagai tenaga pengajar Taman Pendidikan Al Quran (TPA) dan mengajar di sebuah pesantren di kabupaten itu. Semua ia jalani dengan senang sambil merampungkan kuliahnya di UIN.