Jurnalisme Warga

Tradisi ‘Toet Apam’ Bangkit Kembali di Pidie

Isi surat edaran itu meminta setiap sekolah mulai TK, SD, SMP, baik negeri maupun swasta untuk mengadakan acara ‘toet apam’ (masak apam)

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Tradisi ‘Toet Apam’ Bangkit Kembali di Pidie
IST
T.A. SAKTI, Penerima Anugerah Budaya “Tajul Alam” dari Pemerintah Aceh pada Pekan Kebudayaan Aceh V Tahun 2009, melaporkan dari Banda Aceh

OLEH T.A. SAKTI, Penerima Anugerah Budaya “Tajul Alam” dari Pemerintah Aceh pada Pekan Kebudayaan Aceh V Tahun 2009, melaporkan dari Banda Aceh

BERAWAL dari beredarnya video singkat tahun lalu di media sosial (medsos) berupa candaan yang kocak.

Dalam video itu terlihat Bupati Pidie, Roni Ahmad MM alias Abusyik sedang mempromosikan kue apam sebagai kuliner khas Pidie.

Siaran video itu bertepatan dengan 1 Rajab 1442 H (13 Februari 2021).

Saat itu Abusyik dikelilingi banyak ibuibu.

Bupati Pidie mengajukan satu pertanyaan kepada mereka sebagai berikut, ”Nyoe lon tanyong bak droeneuh bandum, jaweueb beusigo!” (Sekarang saya tanya kepada Anda semua, harus dijawab serentak!) “Nyoe Apam geutanyoe pue apam gob” (Yang ini apam kita atau apam orang lain).

Secara amat serentak kaum ibu itu menjawab, “Apam geutanyoe! (Apam kita!)” Akibat jawaban yang spontan itu, maka muncullah ketawa yang riuh rendah dan amat panjang.

Kenapa mereka ketawa? Tentu punya tafsiran masingmasing.

Baca juga: Lestarikan Budaya Leluhur, Dharma Wanita Persatuan Perkim Pidie Adakan Teot Apam Massal

Baca juga: Keren, Teut Apam Masuk Kurikulum Sekolah di Pidie, Kadisdik: Lestarikan Makanan Khas Daerah

Beberapa hari kemudian, keluarlah Surat Edaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pidie terkait Khanduri Apam.

Isi surat edaran itu meminta setiap sekolah mulai TK, SD, SMP, baik negeri maupun swasta untuk mengadakan acara ‘toet apam’ (masak apam) secara serentak pada hari yang telah ditentukan.

Acara itu berlangsung dengan meriah di seluruh Kabupaten Pidie.

Alhamdulillah, anjuran melaksanakan acara ‘toet apam’ di sekolah-sekolah dalam Kabupaten Pidie juga terbit pada buleuen Apam atau bulan Rajab tahun 2022 ini (Lihat: Pidie Gelar Teut Apam Massal, Serambi Indonesia, Minggu, 6 Februari 2022).

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) Pidie, Thantawi ST (tengah) memperhatikan prosesi teot apam massal di halaman kantor setempat, Rabu (9/2/2022).
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) Pidie, Thantawi ST (tengah) memperhatikan prosesi teot apam massal di halaman kantor setempat, Rabu (9/2/2022). (SERAMBINEWS.COM/NUR NIHAYATI)

Kita patut menyatakan salut sekaligus hormat kepada Bupati Pidie yang telah mengangkat kembali “batang terendam” yang sudah sangat terabaikan ini.

Mengenai memudarnya tradisi kenduri apam, memang sudah disadari masyarakat secara umum.

Kenyataan ini dibuktikan dengan berlangsungnya beberapa kali lomba ‘toet apam’ di Banda Aceh.

Malah, masyarakat Aceh di Medan, Sumatera Utara, pada Rabu, 23 Februari 2022 mengadakan acara ‘toet apam’ di sana.

Kegiatan itu dimeriahkan dengan penampilan Medya Hus dkk untuk melantunkan syair, yaitu cae Aceh mengenai kenduri apam.

Buleuen Apam adalah salah satu dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh”, yang setara dengan bulan Rajab dalam kalender Hijriah.

‘Buleuen’ artinya bulan, sedangkan ‘apam’ sejenis makanan mirip serabi, tapi lebih besar.

Baca juga: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pidie Gelar Teut Apam Massal, Diikutkan Festival di Kabupaten

Kenapa disebut buleuen Apam? Karena, memang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Pidie bahwa bila buleuen Apam tiba mereka mengadakan “khanduri apam” (kenduri serabi) sepanjang bulan Apam tersebut.

Tradisi ini pernah paling populer di Kabupaten Pidie.

Akibatnya, sangat terkenal bagi orang di luar kabupaten itu sebutan ”Apam Pidie”.

Dulu, tradisi ‘toet apam’ berlangsung secara alami di Kabupaten Pidie.

Begitu bulan Rajab sudah tiba, kenduri apam segera berlangsung di mana-mana, tanpa perintah dan anjuran.

Selain di Pidie, tradisi kenduri apam berlangsung secara tidak merata di Aceh.

Ada juga orang/wilayah yang melakukan kenduri apam, ada juga yang tidak.

Seorang teman saya asal Aceh Besar menjelaskan bahwa ia sering menikmati apam pada bulan Rajab ketika tinggal bersama neneknya.

Sejak sang nenek meninggal, tradisi itu pun hilang.

Begitu pula dengan kisah teman saya yang lain asal Gampong Grot, Indrapuri, Aceh Besar.

Ia katakan, kenduri apam tidak diadakan di kampungnya.

Baca juga: Pidie Akan Gelar Teut Apam Massal di Sekolah, Begini Penjelasan Kadisdik

Sementara seorang teman lain asal Kuta Blang, Bireuen, juga mengatakan hal yang sama.

Menurut seniman besar Aceh, Medya Hus, tradisi ‘toet apam’ pernah ada di tempat asalnya Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya.

Sepanjang tahun setiap hari Jumat, warga Krueng Sabe membawa apam ke masjid untuk disantap oleh jamaah yang hadir shalat Jumat.

Namun, tradisi ini sudah pupus sekarang.

Kegiatan ‘toet apam’ dilakukan oleh kaum ibu.

Terkadang sendirian, tetapi lebih sering secara berkelompok.

Dulu, pekerjaan pertama dari usaha ini adalah “top teupong breuh bit” (menumbuk tepung dari beras nasi).

Tepung ini tak perlu dijemur, tapi langsung dicampur santan kelapa dalam sebuah beulangong raya (periuk besar).

Campuran ini direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak nanti menjadi lembut.

Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair.

Cairan tepung inilah yang diambil dengan ‘aweuek’/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya, yakni ‘neuleuek’ berupa ‘cuprok tanoh’ (pinggan tanah).

Baca juga: Lestarikan Budaya Leluhur, Sekolah di Pidie Akan Gelar Teot Apam Massal, Begini Penjelasan Kadisdik

Dulu, apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan ‘on u tho’ (daun kelapa kering).

Malah orang-orang percaya bahwa apam tidak boleh dimasak selain dengan daun kelapa kering.

Tapi sekarang, masak apam dengan kompor sudah biasa.

Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya yang disebut ‘kuah tuhe’, berupa masakan santan dicampur pisang klat barat (sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula.

Bagi yang alergi ‘kuah tuhe’ mungkin karena ‘luwih’ (gurih)-nya, apam dapat pula dimakan bersama kelapa kukur yang dicampur gula pasir.

Bahkan bisa juga dengan hanya memakan apamnya saja (seunge apam), yang dulu di Aceh Besar disebut ‘apam beb’.

Selain dimakan langsung, apam dapat juga direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan.

Cara yang demikian disebut “apam teuth ’op” (apam yang direndam).

Begitulah, apam yang telah dimasak bersama lauknya, siap untuk dihidangkan kepada tetamu yang sengaja dipanggil/ diundang ke rumah.

Siapa pun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan kenduri apam.

Bila mencukupi, apam juga diantar ke meunasah (surau).

Ketika ‘buluko’ (pos jaga) banyak dibangun di kampungkampung, dan setiap hari banyak orang di situ, apam juga dibawa ke sana.

Apam juga diantar kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain.

Begitulah, acara ‘toet apam’ diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung selama buleuen Apam (Rajab) sebulan penuh di Kabupaten Pidie tempo dulu.

Selain pada buleuen Apam, kenduri apam juga diadakan pada hari kematian.

Ketika jenazah telah dikebumikan, semua orang yang hadir di kuburan disuguhi apam.

Apam di perkuburan ini tidak diberi kuah.

Hanya dimakan dengan kelapa kukur yang diberi gula (dilhok ngon u).

Kenduri apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat.

Tujuannya, sebagai upacara tepung tawar (peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal.

Menurut informasi, tradisi ini masih berjalan sampai sekarang di beberapa gampong dalam Kecamatan Simpang Keuramat, Aceh Utara.

Meski gempa terjadi pada hari apa saja, apam tetap dimasak pada hari Jumat untuk dibawa ke masjid.

Akibat gempa besar, boleh jadi si mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya.

Sebagai tanda turut berdukacita atas keadaan itu, maka diadakanlah kenduri apam tersebut, sekaligus memohon rahmat dan lindungan dari Allah Swt.

Baca juga: Lestarikan Tradisi Masyarakat Pidie, Ratusan Pelajar ‘Toet Apam’ Pakai Kain Sarung

Baca juga: Sekelumit Riwayat ‘Buleun Apam’ di Pidie

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved