Opini
Menyambut Musyawarah Besar MPU
Insya Allah mulai hari hingga 10 Maret, MPU Aceh melangsungkan musyawarah untuk memilih anggota baru masa bakti 2022-2027

* (Pemilihan Anggota 2022-2027)
Oleh Prof.Dr.Al Yasa` Abubakar, MA, Dosen Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry dan anggota MPU Aceh periode 2017-2022.
Insya Allah mulai hari hingga 10 Maret, MPU Aceh melangsungkan musyawarah untuk memilih anggota baru masa bakti 2022-2027.
Menyambut acara lima tahunan tersebut, penulis, melalui artikel ini ingin menjelaskan beberapa hal mengenai MPU dan pemilihan anggotanya yang dilakukan melalui musyawarah para ulama se-Aceh.
Mudah-mudahan artikel ini dapat membantu menjelaskan, walaupun hanya secara singkat, keberadaan MPU, kewenangan dan tugas, dan juga cara pemilihan para anggotanya, sebagai salah satu lembaga keistimewaan Aceh.

Dalam UU 44/99, disebutkan bahwa Aceh diberi izin membentuk sebuah badan yang bersifat independen, yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang islami, yang anggotanya terdiri atas para ulama (Pasal 9).
Badan ini oleh Qanun diberi nama Majelis Permusyawartan Ulama (MPU) Aceh.
Setelah MOU Helsinki, dan UU 11/06 disahkan, keberadaan MPU diatur secara lebih jelas, disebutkan dalam satu bab tersendiri yang terdiri dari tiga pasal (Bab XIX, Pasal 138-140).
Dalam Pasal 138, disebutkan bahwa,
1) MPU dibentuk di Aceh/kabupaten/kota yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan Muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan memperhatikan keterwakilan perempuan.
2) MPU bersifat independen dan kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama.
3) MPU berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, serta DPRA, dan DPRK.
Baca juga: MPU Aceh Desak Yaqut Cholil Qoumas Minta Maaf
Baca juga: MPU Aceh Selatan Sesalkan Pernyataan Menteri Agama yang Bandingkan Azan dengan Suara Anjing
Dari ketentuan ini terlihat bahwa MPU bukan hanya ada pada tingkat provinsi, tetapi juga pada tingkat kabupaten kota.
Tetapi karena tulisan ini akan fokus pada provinsi, maka keberadaan MPU kabupaten/kota tidak dibicarakan.
Selanjutnya hal lain yang perlu digarisbawahi, undang-undang ini menetapkan bahwa, anggota MPU bukan hanya para ulama, tetapi juga para cendekiawan Muslim, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan.
Jadi ada tiga kelompok anggota MPU menurut undang-udnang—sekiranya ingin ditajamkan, yaitu ulama, cendekiawan Muslim, dan keterwakilan perempuan.
Dalam Pasal 139 disebutkan bahwa MPU berfungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi.
Dari ketentuan ini dapat digarisbawahi bahwa MPU yang dinyatakan bersifat independen, merupakan mitra Pemerintah Aceh (eksekutif) dan DPRA (legislatif), dan fatwa yang ditetapkan MPU menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah.
Dalam Pasal 140 disebutkan bahwa tugas dan wewenang MPU adalah; (a) memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan (b) memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
Dari ketentuan ini terlihat dua tugas dan wewenang utama MPU, pertama memberi fatwa terhadap persolan pemerintahan, dan arahan terhadap perbedaan pendapat di tengah masyarakat dalam masalah keagamaan.
Jadi istilah fatwa dalam undang-undang digunakan untuk produk MPU yang berhubungan dengan kebijakan Pemeirntahan Aceh, sedangkan istilah arahan digunakan untuk produk MPU yang berhubungan dengan perbedaan pendapat yang terjadi di tengah masyarakat.
UU 11/06 meminta agar ketentuan yang relatif masih global di atas, diatur lebih lanjut dengan Qanun Aceh, yang Alhamdulillah telah disahkan, yaitu Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelsi Persmusyawaratan Ulama Aceh.
Baca juga: Bandingkan Suara Azan dengan Gonggongan Anjing, MPU Aceh Desak Menag Yaqut Minta Maaf
Pasal 14 Qanun ini menyebutkan bahwa anggota MPU terdiri dari ulama dan cendekiawan Muslim utusan provinsi dan kabupaten/kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan.
Mengenai jumlahnya disebutkan dua kali jumlah kabupaten/kota, terdiri dari utusan masing-masing kabupaten/kota 1 (satu) orang dan utusan provinsi sebanyak jumlah kabupaten/kota ditambah satu orang.
Dari ketentuan di atas ada dua hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, pengertian ulama dan cendekiawan Muslim dan yang kedua jumlah anggota MPU Aceh dan pembedaannya menjadi utusan kabupaten/kota dan utusan provinsi.
Mengenai pengertian ulama, diatur dalam Pasal 1 angka 12, bahwa ulama adalah tokoh panutan masyarakat yang memiliki integritas moral dan memahami secara mendalam ajaran Islam dari Alquran dan Hadist serta mengamalkannya.
Sedang pengertian cendekiawan Muslim disebutkan dalam pasal 1 angka 13, yaitu ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas moral dan memiliki keahlian tertentu secara mendalam serta mengamalkan ajaran Islam.
Mengikuti ketentuan undang-undang, Qanun membedakan ulama dengan cendekiawan Muslim, melalaui tiga ciri.
Ulama merupakan ilmuwan yang mempunyai tiga ciri, (a) tokoh panutan masyarakat yang memiliki integritas moral; (b) memahami secara mendalam ajaran Islam dari Alquran dan Hadis; dan (c) mengamalkan pengetahaunnya.
Sedangakan cendekiawan Muslim juga mempunyai tiga ciri, (a) ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas moral; (b) memiliki keahlian tertentu secara mendalam; dan (c) mengamalkan ajaran Islam.
Dari ketentuan di atas dapat dipahami bahwa ulama mesti menjadi tokoh panutan masyarakat, sedangkan cendekiawan Muslim tidak mesti menjadi tokoh panutan amsyarakat.
Ulama mesti sanggup memahami ajaran Islam dari Alquran dan Hadis, sedangkan cendekiawan Muslim mesti memiliki keahlian terentu secara mendalam.
Baca juga: MPU Aceh Gelar Rapat Koordinasi, Ini yang Dibahas
Namun ulama dan cendekiawan mesti mengamalkan ajaran Islam secara baik.
Syarat di atas tentu berlaku juga orang perempuan yang akan dipilih menjadi anggota MPU, baik mewakili ulama ataupun cendekiawan Muslim.
Mengenai jumlah anggota MPU, dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, anggota yang berasal dari utusan kabupaten/kota, masing-masing kabupaten kota mengirim satu orang (berjumlah 23 orang) dan kedua, anggota yang menjadi utusan provinsi, sebanyak jumlah kabupaten/kota ditambah satu (23+1).
Anggota MPU utusan provinisi dipilih dalam musyawarah ulama, yang diatur dalam Pasal 16 sebagai berikut.
(1) Calon anggota MPU utusan Aceh ditetapkan oleh MPU dengan mempertimbangkan kualifikasi dan domisili.
(2) Calon anggota MPU sebanyak-banyaknya tiga kali dari jumlah yang akan dipilih.
(3) Anggota MPU utusan Aceh dipilih melalui Musyawarah Besar Ulama yang diikuti seluruh pimpinan MPU Aceh, utusan MPU kabupaten/kota masing-masing dua orang, dan seluruh calon anggota MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dari ketentuan di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, calon anggota MPU Aceh ditetapkan oleh Pimpinan MPU Aceh, dengan mempertimbangkan kualifikasi dan domisili.
Qanun memberikan kewenangan yang relatif luas sekali kepada Pimpinan MPU untuk memilih dan menentukan calon anggota MPU, sehingga kesan subjektifitas akan sukar dihindarkan, kecuali kalau Pimpinan MPU bersedia merumuskan kriterianya secara objektif dan mengumumkannya secara transparan.
Kedua, jumlah calon anggota MPU Aceh ini sebanyak-banyaknya tiga kali dari jumlah yang akan dipilih (3 X 24 = 72 orang ).
Baca juga: Ketua MPU Aceh Terima Anugerah Sahabat LKBN ANTARA 2021
Karena disebutkan sebanyak-banyaknya, maka Pimpinan MPU tentu boleh saja menentukan jumlah kurang dari yang diizinkan Qanun.
Ketiga, peserta musyawarah yang berhak memilih anggota MPU Aceh terdiri dari dua kelompok yaitu, (a) semua calon yang berhak untuk dipilih (72 orang di atas); dan (b) peserta musyawarah utusan kabupaten/kota, masing-masing dua orang (23 X 2 = 46 orang), yang hanya berhak memilih dan tidak berhak untuk dipilih.
Dengan demikian ada 72 orang yang berhak dipilih dan ada 72 + 46 = 118 orang yang berhak memilih.
Sebetulnya setiap musayawarah tentu mempunyai peraturan dan tatatertib sendiri, agenda acara, laporan pertanggung-jawaban pengurus dan pengesahannya, sistem dan tata cara pemilihan tertentu, yang sebetulnya perlu juga diketahui oleh masyarakat luas, karena MPU merupakan lembaga publik, yang mewakili dan mengaspirasikan kepentingan berbagai golongan dan lapisan umat.
Mudah-mudahan ada yang bersedia dan berkesempatan menjelaskannya kepada publik, karena MPU merupakan lembaga keistimewaan Aceh, yang menurut undang-undang merupakan mitra Pemerintah dan DPRA.
Wallahu a`lam bis-shawab.Wassalam.
Baca juga: MPU Aceh Sorot Cara Pemerintah Tanggani Covid-19, Jangan Sampai Aceh Kolaps
Baca juga: MPU Aceh Tamiang Kecam Pelaku Vandalisme di Masjid Besar Al-Huda