Opini

Tata Cara Eksekusi Jaminan Fidusia

Beberapa waktu yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan yang sangat monumental terkait dengan tata cara eksekusi

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Tata Cara Eksekusi Jaminan Fidusia
FOR SERAMBINEWS.COM
Hesphynosa Risfa, S.H., M.H. Advokat/Praktisi Hukum

UU Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa jaminan fidusia memiliki kekuatan hukum yang luar biasa, kedudukannya disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Norma tersebut diatur dalam Pasal 15 yang menyebutkan bahwa: (1) Dalam sertifikat Jaminan fidusia dicantumkan kata-kata: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Sertifikat Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan (3) Apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Kemudian terkait tata cara eksekusi jaminan fidusia diatur kembali dalam Pasal 30 yang menyebutkan: (1) pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia; dan (2) dalam hal pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Baca juga: MaTA :  Kasus Pengadaan Westafel Dapat Dijerat Dengan Hukuman Mati

Dalam praktik selama ini kalimat “bantuan pihak yang berwenang” dimaknai adalah pihak kepolisian sesuai dengan ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

Dua putusan MK

Terkait dengan tata cara eksekusi sebagaimana penulis uraikan di atas, MK telah menguji dua perkara yang sangat penting untuk pembaruan hukum kedepan, terkait dengan interpretasi Pasal 15 dan Pasal 30 UU Nomor 42 Tahun 1999.

Kedua hal tersebut dituangkan dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 20 November 2019, kemudian belum lama ini melalui Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021, tanggal 20 Januari 2022.

Di televisi maupun surat kabar kita sering mendengar lembaga pembiayaan menggunakan jasa debt collector (juru tagih) untuk menagih pelunasan kewajiban kepada nasabah yang terlambat membayar cicilan.

Bahkan tidak jarang dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang benar.

Di banyak kasus juga dilakukan dengan kekerasan, paksaan, dan ancaman.

Tindakan seperti ini sangat meresahkan masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki kredit kendaraan bermotor pada suatu lembaga pembiayaan atau perbankan.

Masalah seperti ini timbul karena kreditur memegang ketentuan dalam UU Nomor 42 Tahun 1999.

Bahwa kreditur memiliki “hak untuk langsung mengeksekusi” kendaraan bermotor jika debitur terlambat untuk menunaikan kewajibannya.

Karena jika kita membaca ketentuan UU Fidusia seolah-olah memberikan kedudukan yang lebih kuat kepada kreditur dibandingkan dengan debitur.

Baca juga: Saksi Ahli Sebut Keluarga Ayah Berhak Atas Perwalian Gala Sky, Kuasa Hukum Doddy Beri Respons

Melihat beberapa persoalan yang timbul dilapangan maka MK melakukan reinterpretasi ketentuan Pasal 15 tersebut.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved