Berita Politik

Anggaran Pemilu 2024 belum Jelas, Demokrat Beri Kritikan Keras

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, mengungkapkan potensi pelengseran Presiden Joko Widodo (Jokowi)

Editor: bakri
For Serambinews.com
Ratusan calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengikuti tes tulis di Jakarta International Expo (JIEXPO), Rabu (24/11/2021). 

JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, mengungkapkan potensi pelengseran Presiden Joko Widodo (Jokowi) bila penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ditunda dengan alasan anggaran habis digunakan untuk proyek pemindahan ibu kota negara (IKN).

Dia mengatakan kondisi anggaran negara habis untuk proyek pemindahan IKN tidak bisa digunakan menjadi dasar untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menunda penyelenggaraan Pemilu 2024.

"Kalau katakanlah anggaran untuk pemilu oleh presiden dan DPR karena habis anggaran kita untuk bangun IKN maka tentu tidak ada pemilu.

Ketua KPU RI, Ilham Saputra didampingi Ketua KIP Banda Aceh Indra Milwady dan komisioner lain meninjau kesiapan KIP setempat dalam menyambut Pemilu 2024, Sabtu (18/12/2021).
Ketua KPU RI, Ilham Saputra didampingi Ketua KIP Banda Aceh Indra Milwady dan komisioner lain meninjau kesiapan KIP setempat dalam menyambut Pemilu 2024, Sabtu (18/12/2021). (Dok Humas)

Kalau tidak ada pemilu, otomatis presiden dan wapres diperpanjang masa jabatan, mungkin instrumennya nanti dia akan bikin perppu," kata Benny dalam diskusi PARA Syndicate yang berlangsung daring, Rabu (9/3/2022).

"Tapi enggak ada, tidak bisa begitu, sebelum bikin perppu dia sudah bisa dituduh impeachment, dituduh melanggar konstitusi," sambungnya.

Benny bilang, pelengseran Jokowi dengan alasan pelanggaran konstitusi bisa dilakukan karena Jokowi telah dinilai dengan sengaja tidak mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu 2024.

Menurutnya, langkah sengaja tidak menganggarkan anggaran pemilu merupakan sebuah kejahatan konstitusi.

"Ini constitutional crime.

Risikonya sangat berat untuk presiden dan wapres tentu kalau dua-duanya setuju.

Konstitusi kita sangat jelas," ucap Benny.

Baca juga: Sikap Jokowi Dinilai Mengayun Soal Usul Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Baca juga: PDIP Tolak Wacana Tunda Pemilu, PKS Minta Jokowi Tidak Diam

Diketahui, hingga kini usulan anggaran untuk pesta demokrasi 5 tahunan di Indonesia itu belum disetujui oleh DPR RI dan pemerintah.

KPU semula mengajukan anggaran sebesar Rp 86 triliun.

Namun, anggaran itu kini dipangkas melalui hasil rasionalisasi menjadi Rp76,6 triliun.

Pemenuhan anggaran akan dibagi melalui empat sumber, yakni APBN 2022, 2023, 2024 dan 2025.

Namun demikian, belum ada anggaran yang cair hingga Maret 2022 ini.

Tarik ulur keputusan politik mengenai anggaran itu masih terjadi meski Juni 2022 nanti akan memasuki tahapan pertama pemilu.

Berdasarkan Pasal 167 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), tahapan pemilu diwajibkan dimulai minimal 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.

Artinya, tahapan Pemilu 2024 akan dimulai Juni 2022.

Muhammadiyah: Secara Moral Bermasalah

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, mengatakan bahwa mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk menunda pemilihan umum (Pemilu) 2024 dan memperpanjang masa jabat presiden bisa saja terjadi.

Baca juga: Rocky Gerung Sebut Wacana Pemilu Ditunda Dimunculkan Karena Pihak Penguasa Belum Punya Penerus

Namun, dia mengingatkan kepada pemerintah dan elite partai politik terkait etika kala ingin melakukan hal tersebut.

"Secara etik dan moral menurut saya itu sangat bermasalah, karena suasana kejiwaan, suasana kebatinan, dan konteks yang menjadi latar belakang dari lahirnya pasal-pasal dalam amandemen itu dihilangkan begitu saja," ujar Mu'ti dalam sebuah diskusi daring, Rabu (9/3/2022).

Dia mengingatkan ihwal nilai demokrasi dalam mewacanakan amandemen untuk menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabat presiden.

Jangan sampai aspirasi masyarakat hanya menjadi sekadar formalitas untuk mengubah konstitusi.

"Suasana kebatinan itu menurut saya adalah jiwa dari sebuah UUD, suasana kebangsaan itu adalah roh yang menjadi landasan mengapa sebuah undang-undang itu disusun," ujar Mu'ti.

Dia berharap para elite itu melihat langsung keadaan di masyarakat.

Pahami keadaan dan perasaan mereka, bukan justru sibuk memikirkan diri sendiri dan golongan dalam mempertahankan kekuasaannya.

"Jangan hanya membaca hasil survei yang mungkin saja tidak akurat, Tentu, masyarakat menginginkan yang terbaik dan membawa kemajuan," ujar Mu'ti.

Menurutnya, pemerintahan saat ini sudah melakukan sesuatu yang cukup baik dalam penanganan pandemi Covid-19.

Jangan sampai hal baik tersebut dicemari oleh wacana perpanjangan masa jabat presiden yang melanggar konstitusi dan akan menjadi warisan dari pemerintahan periode ini. (cnnindonesia.com/ republika.co.id)

Baca juga: Istana Bantah Terlibat Gerakan Tunda Pemilu

Baca juga: Partai Gelora Ajukan Uji Materi UU Pemilu Terkait Keserentakan

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved