Opini

MPU bukan MUI

Demikianlah semangat para ulama saat melakukan musyawarah di Asrama Haji pada tanggal 25-27 Juli 2001 lalu

Editor: bakri
zoom-inlihat foto MPU bukan MUI
IST
Dr. Yuni Roslaili, MA. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Oleh Dr. Yuni Roslaili, MA. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Demikianlah semangat para ulama saat melakukan musyawarah di Asrama Haji pada tanggal 25-27 Juli 2001 lalu.

Musyawarah ulama se-Aceh itu sepakat membubarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sebagai gantinya sepakat membentuk sebuah lembaga yang bernama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).

Mantan Wakil Ketua MUI Aceh, dan deklarator MPU, Tgk.Imam Syuja’, kepada Tempo menegaskan, dengan terbentuknya MPU ini, ulama Aceh tidak tunduk lagi kepada MUI di Jakarta.

Menurut Imam, selama ini MUI bertugas memberikan nasihat kepada Pemerintah Daerah Aceh.

Nasihat itu bisa didengar atau juga bisa tidak digubris.

Tetapi nasihat MPU mutlak harus didengar dan dilaksanakan.

Pemda Aceh, tidak bisa lagi bertindak seperti dulu, karena kedudukan MPU sejajar dengan Pemda, kata Tgk.Imam Syuja’ kepada Tempo (27/6/2003).

Di dalam deklarasi ulama saat itu, menyatakan bahwa MPU merupakan lembaga independen yang akan memberikan nasihat kepada semua pihak dengan menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kepentingan umat berdasarkan tuntunan Allah SWT dan Rasulullah.

Lembaga MPU secara yuridis disahkan dalam Peraturan Daerah (Perda) No.3 tahun 2001 tentang Majelis Permusyaratan Ulama.

Baca juga: MUI Tegaskan Pernikahan Beda Agama Haram dan Tidak Sah

Baca juga: Tanggapi Permintaan Maaf Ustaz Khalid Basalamah Tentang Wayang, MUI: Ini Jadi Pelajaran

Dalam Perda itu disebutkan, MPU merupakan lembaga konsultasi yang memberikan pertimbangan kepada Gubernur Aceh, terutama di bidang syariah (hukum Islam).

Karena itu, keberadaan MPU lebih kuat, dan tidak lagi seperti “macan ompong”, seperti MUI dulu, kata Imam.

Biaya operasional MPU semuanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Daerah Istimewa Aceh yang dianggarkan setiap tahun.

Dan saat itu, peserta musyawarah sepakat memilih Tgk.H Muslim Ibrahim sebagai ketua umum merangkap anggota MPU Aceh periode 2001-2006, wakil ketua terpilih Tgk Daud Zamzami dan Al Yasa Abubakar.

Selebihnya 24 orang ulama duduk sebagai anggota MPU.

Konsep Trias Politica ala Aceh

Salah satu dari beberapa indikasi sebuah negara dikategorikan negara hukum dalam pandangan Julius Sthal adalah adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan.

Pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan istilah trias politica merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut di berbagai negara di belahan dunia.

Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function).

Trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.

Baca juga: Ibadah Haji di Metaverse Tak Penuhi Syarat, MUI: Beberapa Ritual Butuh Kehadiran Fisik

Dengan demikian hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.

Konsep relasi legislatif, eksekutif, dan ulama di Aceh ini nampak menyerupai konsep politik Trias Politica oleh John Locke yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu.

Menurut Montesquieu dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan; yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif .

Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya.

Pada dasarnya, konsep trias politica tersebut tidak bertentangan dengan fikih siyasah.

Implementasi pembagian kekuasaan ini dapat dilihat pada masa Khulafaurrasyidin.

Saat itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legeslatif dipegang majelis syura, dan kekuasaan yudikatif dipegang qadhi atau hakim.

Kemudian, pada masa khilafah kedua yaitu masa Umar bin Khattab, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif dirinci lewat undang-undang.

Pada masa ini juga, Umar bin Khattab membuat undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan legeslatif, dengan tujuan agar para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara bisa bebas dari pengaruh eksekutif.

Sampai di sini jika dianalogikan kepada konteks Aceh, nampak bahwa di Aceh telah mempunyai sebuah sistem daulah islamiyah yang demoktratis dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Urgensi Lembaga MPU

Secara historis sosiologis peran ulama sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Baca juga: Heboh! Dorce Gamalama Ingin Dimakamkan Sebagai Perempuan, Ini Kata MUI, Buya Yahya dan Gus Miftah

Khazanah lama masyarakat telah menampilkan peran dan pengaruh ulama di tengah-tengah masyarakatnya.

Dalam rentang sejarahnya yang panjang, masyarakat Aceh telah menjadikan ulama sebagai suluh dalam kehidupan sehari- hari, sehingga lahir kehidupan dan budaya masyarakat Aceh yang islami.

Kenyataan inilah yang kemudian menghadirkan sebuah ungkapan “Hukom ngon adat lage zat ngon sifeut” sebuah sinyalemen yang meniscayakan keserasian adat kebiasaan masyarakat dengan syariat agamanya sebagai buah dari tuntunan ulama.

Di samping itu, gezag dan fibrasi ulama juga memberi pengaruh dalam system pemerintahan.

Meskipun kedudukannya tidak menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat askritif, namun seringkali sebelum seorang sultan atau ulee balang membuat putusan, terlebih dahulu bermusyawarah dengan para ulama untuk dapat dipertimbangkan apakah suatu putusan sah atau tidak menurut pandangan agama.

Dan pada masa Sultan Iskandar Tsani, mulai diletakkan dasar pengaturan sosial, seperti kemitraan antara pemegang otoritas politik dan pemegang otoritas spritual di seluruh tingkat pemerintahan.

Bukan hanya seorang sultan yang harus didampingi seorang kadhi malikul adil, tetapi pada pemerintahan tingkat gampong pun, seorang keuchik (kepala desa) harus didampingi oleh imam meunasah.

Meski pengaruh kepada struktur pemerintahan pernah hilang setelah kemerdekaan terutama di era orde baru yang menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik dan otoriter dengan sistem unifikasi hukum yang dibangun, pascareformasi, peran ulama dalam otoritas politik di Aceh diakomodir kembali melalui UU Nomor 44 Tahun 1999.

Undang- undang ini memberikan keistimewaan dan kewenangan khusus kepada Aceh untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan serta peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Dalam hal ini peran ulama yang dimaksud adalah kontribusi ulama dalam penetapan kebijakan daerah, dalam sebuah lembaga independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi syariah sebagaimana disebutkan dalam UU No.

44 Tahun 1999 Pasal 4-9, Perda No 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No.

11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Pasal 140 dan Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).

Pasca disahkan sejumlah undang- undang dan regulasi tersebut posisi lembaga ulama memiliki legitimasi yuridis yang super kuat bahkan melampaui sejarahnya.

Bagaimana tidak, yang dahulunya di dalam sejarahnya, otoritas ulama dalam politik penguasa di Aceh hanya sebagai tempat bertanya, tidak dalam wujud institusi.

Namun sejak disahkan undang-undang keistimewaan dan kekhususan untuk Aceh pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah membawa babak baru dalam proses pemerintahan, di antaranya telah menempatkan ulama dalam konteks lembaga sebagai mitra legislatif dan eksekutif dalam menentukan arah kebijakan daerah seiring dengan perubahan dan transformasi social politik yang terjadi di Aceh.

Sampai di sini jelaslah bahwa posisi MPU tidak equal dengan MUI.

Dan seharusnya tidak untuk mereduksi lembaga MUI karena keduanya mempunyai legal standing, peran dan status yang berbeda.

Meskipun pada awal berdiri lembaga MPU, para pengurus MUIlah yang kemudian didaulat menjadi pengurus MPU.

Hal demikian agaknya dikarenakan situasi Aceh yang dalam suasana konflik.

Jadi posisi menurut penulis adalah karena keadaan darurat.

Oleh karena itu setelah kondisi kembali normal seperti saat ini, jika ada gagasan untuk menghidupkan kembali lembaga MUI di Provinsi Aceh adalah sesuatu yang sah saja agar terlihat distingsi yang jelas antara fungsi MPU sebagai lembaga daerah dengan organisasi keulamaan lainnya di Aceh.

Dengan demikian semakin banyak pula lembaga ulama yang berkontribusi dalam mengisi keistimewaan di Aceh dalam frame fastabiqul khairat.

Baca juga: MUI: Vaksin Merah Putih Sudah Dapat Sertifikat Halal

Baca juga: Kontroversi Haji Virtual Melalui Metaverse, MUI: Ibadah Haji di Metaverse Tak Penuhi Syarat

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved