Opini
Putro Neng, Ratu Muslim Tangguh
LEGENDA Putro Neng (Legend of Lady Niang) di abad pertengahan dua puluh Samudra Pasai banyak beredar dengan berbagai versi kontroversi
Garis keturunan dari putri yang bermata sipit Ma Yue yang juga istrinya Tengku Bullah yang hidup pada tahun 1900-an kerap disudutkan oleh golongan munafik yang menjadi antek-antek para penjajah.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan beliau berhijrah ke pedalaman Pase yaitu Kampung Maddan Gedong Pase dan membangun Masjid Madan sebagai pusat kegiatan masyarakat setempat.
Jiwa patriot yang tertanam kuat dalam diri beliau selalu memperjuangkan syariah di lingkungan Pase untuk melawan kaum munafik yang ingin mengembalikan masyarakat kepada budaya Hindu.
Sejarah ekonomi pertengahan abad dua puluh di Pasai Sumatra ketika era jalan sutra Dinasti Ming yang mayoritas muslim (expedisi Cheng Ho) beberapa kali singgah dan berdagang membuat Pase tumbuh dan berkembang yang diikuti bersamaan dengan redupnya Kerajaan Sriwijaya.
Cheng Ho dan Ma Huan beberapa kali singgah dan berdagang di Pase, sehingga “Putro Neng” tercatat sebagai pelopor kesetaraan gender pertama di Asia Tenggara.
Sejarawan polyhistor Maidar PhD saat pulang kampung, beliau sering memapar beberapa fakta hasil temuan riset sporadis dan arsip Tiongkok, yaitu percikan arsip Dinasti Yuan & Dinasti Ming saat Tiongkok dipimpin oleh para tokoh berlatar muslim.
Kumpulan historiografi monumental Tiongkok yang selamat dari pemusnahan pihak komunis, seperti serial sejarah kumpulan ilmuan muslim era dinasti Ming, seperti "Ershisi Shi = Twenty Four Histories” serta survey Expedisi Duta Agung Antar- Bangsa Tiongkok terbesar di Asia-Arabia-Afrika, yakni Cheng Ho.
Dengan bantuan sejarawan agung Ma Huan (marga Ma yang muslim), yang menulis buku besar seperti "Yingya Shenglan" (Servey Umum tentang Wilayah Perdagangan Maritim Asia Tenggara), ditambah aneka analisis model dan kaligrafi komplex di Sumatra, termasuk makam Putro Neng di Blang Pulo, Kota Lhokseumawe yaitu aneka hikayat dan legenda serta kisah lisan turun temurun di sekitar Kecamatan Samudra dan Aceh Utara setelah kolonial sampai kini, maka setelah direkonstruksi tentang legenda sebenarnya versi terlihat jelas pengaburan sejarah yang telah terencana secara sistematis.
Berdasarkan penuturan Ma Yue (dipanggil Mayeu) istri Tengku Bullah di Kecamatan Samudra, kerap bercerita dongeng Putro Neng dan kisah marga Ma (marga Tionghoa yang mayoritas muslim) di sekitar Aceh Utara, dan cucunya bernama Janniah (yang meninggal diterpa tsunami di pantai Banda Aceh).
Janniah adalah cucu dari Nenek Mayue mampu mengingat kisah Putri Neng yang diceritakan neneknya.
Hasil paduan informasi dan riset tentang Putri Neng dalam konteks sejarah Samudra Pasai Raya, ketika Pasai diperintah oleh para wanita (1405-1428), seperti Sultanah Nahrisyah (wafat 1428) dengan makam pualam termegah di Asia, dan munculnya aneka tokoh wanita agung di Pasai sesuai paparan cerita tersebut, sehingga terbuka tabir sejarah sebenarnya.
Begitu halnya penuturan Naina Hishamuddin, Putri Nurul A'la sampai kepada Cut Muetia, dan lain sebagainya.
Kisah kaum matriachat di Samudra Pasai sangat membekas.
Hikayat yang tersusun dengan alur cerita yang indah tersebut (For Grandma Ma Yue & her Granddaughter Jannia, by Mai Da'r).
Ketangguhan dari Putro Neng keturunan Muslim China yang sudah melegenda merupakan bukti sejarah terhadap tangguhnya seorang putri dalam memimpin bangsa dengan menerapkan syariah Islam secara konsisten.