Jurnalisme Warga
Rendahnya Capaian Vaksinasi Kelompok Rentan, Salah Siapa?
Seorang perempuan yang duduk di kursi roda menyambut kedatangan saya di rumahnya, Gampong Lamteumen Timur, Banda Aceh

OLEH MARDHATILLAH, Anggota Komunitas Jurnalis Warga Banda Aceh dan alumnus D4 Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Seorang perempuan yang duduk di kursi roda menyambut kedatangan saya di rumahnya, Gampong Lamteumen Timur, Banda Aceh, pada Selasa,15 Maret 2022.
Usianya 43 tahun.
Sepanjang usianya dihabiskan di kursi roda karena ia mengalami disabilitas fisik sejak lahir.

Namun, kondisi itu tak menyurutkan semangatnya untuk tetap beraktivitas layaknya orang sehat fisik.
Ia tak ingin kekurangannya menjadi penghalang dalam beraktivitas.
Perempuan itu Erlina Marlinda.
Ia Program Manager Children and Youth Disabilities for Change (CYDC).
Organisasi ini fokus pada pemberdayaan ekonomi, memperjuangkan hak disabilitas, advokasi kebijakan hingga pendidikan inklusif yang lebih ramah terhadap kelompok disabilitas.
Semangat itu juga ditunjukkan Erlin ketika berjuang untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Baca juga: Realisasi Vaksinasi Booster di Agara Masih Rendah, Ini Penyebabnya
Baca juga: Capaian Vaksinasi Booster di Aceh Masih Rendah, Kabid Humas Polda Aceh: Butuh Kesadaran Masyarakat
Mengapa disebut berjuang? Karena, proses yang dilaluinya untuk mendapatkan vaksinasi terbilang tidak mudah.
Saat ini, Erlin mengaku sudah dapat dua kali vaksin merek Pfizer tanpa mengalami efek samping atau biasa disebut KIPI (Kejadian Ikutan Pascaimunisasi).
Vaksinasi pertama pada 3 Februari dan vaksinasi kedua 8 Maret 2022 di Museum Aceh.
Lantas apa yang membuatnya mau divaksinasi, bahkan sampai tak mengalami efek samping? Menurutnya, ada beberapa alasan yang membuat seorang disabilitas memutuskan untuk divaksinasi atau tidak.
Pertama, adanya ikatan kontrak kerja dengan lembaga tempat mereka bekerja yang mewajibkan untuk divaksinasi.
Kedua, punya kesadaran karena adanya aktivitas atau jam terbang tinggi yang membuatnya harus melawat ke luar kota bahkan ke luar negeri.
Ketiga, munculnya kesadaran atau inisiatif dari diri sendiri karena suatu kebutuhan agar tetap sehat dan tak ingin jatuh sakit sehingga merepotkan orang lain.
Dari tiga hal tersebut, Erlin sadar bahwa dirinya termasuk dalam kategori kedua, karena memiliki aktivitas yang padat, bahkan sebelum pandemi melanda ia mengaku cukup sering melakukan perjalanan ke luar daerah dan luar negeri.
Adanya keinginan untuk kembali melakukan perjalanan tersebut juga menjadi alasan lain yang membuatnya merasa butuh untuk divaksinasi.
Ia juga bercerita apa yang dilakukannya sebelum divaksinasi sehingga tidak menimbulkan efek samping.
Baca juga: Capaian Vaksinasi Anak Rendah, Bupati Aceh Singkil: Akibat Terpengaruh Isu Hoaks
Awalnya, ia mengunjungi pusat vaksinasi, yaitu di Banda Aceh Convention Hall (BACH) untuk menanyakan kepada tenaga vaksinator bagaimana prosedur mendapatkan vaksin.
Dari sana ia mendapatkan informasi bahwa untuk meminimalisasi terjadinya KIPI terutama pada kelompok rentan seperti disabilitas, sangat diperlukan check up kondisi kesehatan.
Ia diarahkan ambil rujukan di puskesmas terdekat agar dapat digunakan untuk check up di rumah sakit.
Setelah dapat hasil check up, dokter melihat ada luka di kaki dan kekentalan darah dalam dirinya.
Akibat kondisi tersebut, ternyata butuh waktu hingga lima bulan sampai akhirnya dokter memberinya izin untuk divaksinasi.
Erlina sadar bahwa kondisi kesehatannya membutuhkan perlakuan khusus.
Pada saat mencari informasi awal di BACH, ia dihadapkan pada perdebatan dua dokter vaksinator yang mengkhawatirkan kondisinya.
Dokter A memberikan informasi dengan detail apa saja kemungkinan efek yang akan dialaminya ketika mendapatkan vaksin, sedangkan dokter B merasa tak perlu menjelaskan kepada peserta vaksin selengkap itu karena khawatir akan timbul rasa cemas dan berakhir tak mau divaksinasi.
Dari dua perdebatan dokter tersebut, justru ia merasa sangat beruntung dan bermanfaat atas informasi yang sangat lengkap diberikan kepada dirinya, sehingga ia merasa memiliki tanggung jawab dalam mengambil kesimpulan apakah divaksinasi atau tidak.
Ia merasa sangat butuh mendapatkan informasi selengkap itu karena dapat membuatnya lebih tenang dan informasi tersebut nantinya tidak hanya menambah wawasan bagi dirinya, tetapi juga dapat memberikan edukasi kepada teman-teman disabilitas lain yang belum bersedia divaksin.
Menurutnya, informasi tersebut tidak ia dapatkan saat berada di puskesmas dan terkadang ketika informasi tidak diberikan dengan jelas dan lengkap, maka dari sanalah akan muncul kecurigaan.
Baca juga: Capaian Vaksinasi Kota Juang Bireuen Masih Rendah, Peusangan Selatan Tertinggi
Ia tambahkan, alasan kelompok disabilitas enggan divaksinasi karena pada awalnya mereka mendapat info bahwa vaksin tidak halal dan mengandung enzim babi.
Untuk masyarakat Aceh yang kental dengan syariat Islam, ketika mendengar kata “babi” itu merupakan hal yang sangat sensitif dan tak dapat ditoleransi.
Kedua, saat ini sudah banyak pilihan vaksin yang bagus dengan efikasi vaksin yang tinggi dibandingkan pada jenis vaksin yang baru tersedia tahun lalu.
Namun, karena kurangnya informasi terkini yang mereka dapatkan, hal tersebutlah yang membuat mereka tak bersedia divaksin.
Lantas, tanggung jawab siapa menyosialisasikan informasi akurat seputar pandemi dan vaksinasi Covid-19 ini? Dalam konteks Covid, WHO menjelaskan, layanan kesehatan primer punya peran penting, salah satunya dengan menguatkan komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat agar mampu menyusun strategi untuk tindakan preventif dan promotif.
Namun sayangnya, respons pandemi cenderung menjadi “pemadam kebakaran”.
Manajemen kedaruratan kesehatan masyarakat umumnya berfokus pada penerapan standar organisasi dan program serta sistem untuk manajemen insiden akut.
Nyatanya, pandemi seperti Covid-19 bukanlah peristiwa akut.
Bagi Indonesia, pandemi dapat berakibat runtuhnya sistem kesehatan atau sebaliknya dapat menjadi momentum reformasi layanan kesehatan primer.
Di sisi lain, jika penanganan Covid-19 dan vaksinasi hanya terpusat pada pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota saja, maka dampak pemulihan ini akan menjadi ‘PR’ jangka panjang.
Masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti disabilitas, tentu sangat membutuhkan uluran tangan langsung agar informasi yang mereka butuhkan didapatkan dari sumber terpercaya.
Dalam hal ini, puskesmaslah yang dapat menjadi garda terdepannya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, bukan semata hanya memberi ruang agar fungsi puskesmas saat ini dapat berjalan, melainkan turut memastikan bahwa kapasitas layanan kesehatan primer setelah pandemi mampu memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus berkembang.
Baca juga: Pengungsi Rohingya Mulai Divaksin, Kecamatan Peudada Bireuen Realisasi Masih Rendah
Baca juga: Zikir dan Doa di BPSDM Aceh, Sekda Ungkap Enam Daerah Masih Rendah Vaksin Covid-19