Jurnalisme Warga

10 Tahun Berkelana Mencari ‘Forum Lingkar Pena’

PERTAMA kali saya mengenal Forum Lingkar Pena (FLP) saat duduk di bangku SMA kelas XII, tepatnya tahun 2011 lewat novel Ayat-Ayat Cinta yang ditulis

Editor: bakri
zoom-inlihat foto 10 Tahun Berkelana Mencari ‘Forum Lingkar Pena’
FOR SERAMBINEWS.COM
KHAIRUL IHSAN, Anggota FLP Banda Aceh, bekerja di Kantor Kemenag Aceh Tamiang, melaporkan dari Kualasimpang

OLEH KHAIRUL IHSAN, Anggota FLP Banda Aceh, bekerja di Kantor Kemenag Aceh Tamiang, melaporkan dari Kualasimpang

PERTAMA kali saya mengenal Forum Lingkar Pena (FLP) saat duduk di bangku SMA kelas XII, tepatnya tahun 2011 lewat novel Ayat-Ayat Cinta yang ditulis Habiburrahman El-Shirazy atau Kang Abik.

Dulu, pandangan saya tentang fiksi biasa saja, bahkan cenderung menyepelekan, hanya tulisan berdasarkan khayalan manusia yang dipadu dengan alunan diksi-diksi sebagai pemikat; berbeda dengan karya tulis ilmiah yang berbasis fakta dan dilengkapi dengan data yang keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan.

Dulu, membaca fiksi, menurut saya, hanya menghabiskan waktu saja.

Para seniman Tamiang siap ambil bagian dalam pembangunan bidang pariwisata Tamiang.
Para seniman Tamiang siap ambil bagian dalam pembangunan bidang pariwisata Tamiang. (For Serambinews.com)

Namun, ketika film Ayat-Ayat Cinta dirilis dan ‘booming’, sudah lumrah timbul rasa penasaran, begitu juga yang terjadi pada saya.

Akhirnya, saya mencari tahu.

Ternyata film tersebut diangkat dari novel yang berjudul sama.

Saya pun mencari novel tersebut dan membacanya hingga tuntas tanpa melewati satu bagian pun.

Paradigma saya tentang karya fiksi berubah 180 derajat.

Ternyata lewat fiksi, bisa juga menyampaikan amanat positif kepada pembaca tentang ilmu agama, iman, Islam, ihsan, dan sebagainya.

Akhirnya, saya mulai jatuh cinta pada karya fiksi.

Baca juga: Menyucikan Jiwa

Baca juga: ASN Dilarang Gelar Buka Puasa Bersama

Tak berhenti di situ, saya juga berusaha mencari tahu siapa Habiburrahman El-Shirazy.

Mengapa dia bisa menulis sedemikian hebat hingga mampu menghipnotis para pembaca yang tidak menyukai fiksi menjadi jatuh cinta pada fiksi.

Penulis hadir dengan kekuatan pena mengubah sebuah perspektif yang selama ini ternyata salah.

Sebagaimana dulu Umar bin Khattab adalah sosok pembenci Rasulullah yang kemudian berbelok menjadi pencinta karena hidayah Allah, begitu pula yang saya rasakan saat membaca karya-karya Kang Abik.

Terus terang, Kang Abik adalah penyebab saya mulai melirik tulisan fiksi lainnya.

Saya dapati ternyata Kang Abik adalah salah seorang yang berkecimpung di organisasi kepenulisan bergengsi dunia: Forum Lingkar Pena.

Saya jadi tertarik pula untuk bergabung di FLP dengan tujuan agar bisa menjadi penulis hebat seperti Kang Abik dengan karya-karya fiksinya yang memadukan antara narasi dengan dalil-dalil agama dan mampu berdakwah lewat tulisan, menanamkan nilai- nilai agama untuk setiap pembaca di semua kalangan.

Dari sanalah petualangan pencarian dimulai.

Baca juga: Hilal di Bawah 3 Derajat, Pemerintah Tetapkan Awal Ramadhan 3 April

Saya mencari dari berbagai sumber mengenai di mana ada FLP terdekat; dari Google dan media sosial.

Hari demi hari saya lalui, minggu demi minggu juga terlampaui sambil terus mencari informasi, hingga pada 2014, tepat saat saya duduk di semester VI sebagai mahasiswa, tidak juga saya temui tanda-tanda adanya FLP di daerah tempat tinggal saya di Aceh Tamiang.

Saya sampai memberanikan diri bertanya kepada seorang dosen pertanyaan yang mugkin tidak relevan dengan topik perkuliahan, tetapi ternyata beliau tahu jawabannya.

“Setahu ibu, FLP di Aceh hanya ada di Banda Aceh, San.

” Wah, jauh juga, batinku kecewa.

Bukan tidak mau mengejar mimpi menjadi seorang penulis, tapi sebagai mahasiswa yang terlahir dari keluarga biasa-biasa saja tentu saya paham bagaimana susahnya mengakses jarak kalau biaya terbatas.

Perlahan saya pesimis untuk bergabung di FLP, tetapi tidak mengubah perasaan saya terhadap fiksi, saya tetap mencintai karya fiksi dengan tetap membaca.

Belum terpikir bagaimana benar-benar bisa menulis dengan baik.

Sekitar setahun silam, ada ajakan dari seorang teman untuk ikut sayembara menulis fiksi genre cerpen yang diadakan oleh salah satu penerbit.

Wah, kesempatan bagus ini, pikirku.

Saya ikut dengan semangat dan optimistis.

Ya, harus menjadi optimis.

Bagaimana tidak? Sudah lama saya menyukai dan membaca tulisan fiksi, meski tidak ada tempat berguru secara langsung, setidaknya sedikitsedikit saya mulai tahu.

Lagi pula saya berpikir itulah saatnya saya coba memanfaatkan momen sebagai awal berkarya di dunia fiksi.

Beberapa kali mengikuti event menulis dan akhirnya ada salah satu event yang tidak terlalu selektif dalam meloloskan karya menjadi buku, di saat itu akhirnya saya bisa menulis buku antologi.

Untuk penulis pemula dengan berlatih sendiri tanpa mentor, tentu hal tersebut perlu diapresiasi.

Namun, saya jadi teringat dengan kalam ulama: Barang siapa belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan.

Tidak tahu mana yang benar dan yang salah karena menilainya bukan dengan ilmu, tetapi dengan akal dan nafsu.

Sudah pasti banyak salahnya daripada benarnya.

Begitu pula halnya dengan menulis tanpa guru, meski tidak diganjari dosa atas kesalahan yang dilakukan, setidaknya akan banyak salahnya daripada benarnya.

Itu adalah dosa bagi para penulis pemula yang karyanya ingin dikenal dan diakui penulis lain.

Benar sekali yang dikatakan oleh salah seorang ulama fikih abad ke-8 Hijriah, Imam Ibn Ruslan dalam kitab matan Zubad, halaman 2, "Barang siapa beramal dengan ketiadaan ilmu, maka amalannya akan ditolak, tidak diterima Allah.

" Menurut saya, begitu pula halnya dengan karya tulis, siapa yang menulis tanpa ilmu tentang kepenulisan maka tulisannya tidak akan sulit diakui orang lain.

Oleh sebab itu, saya kembali membulatkan tekad mencari FLP terdekat dari tempat tinggalku.

Mungkin sudah ada cabang FLP terdekat yang bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua, itu selalu yang saya pikirkan dengan hati penuh harap.

Namun, sama saja, memang tidak ada.

Namun, di era serbadigital seperti sekarang, ada salah satu kemudahan akses informasi, saya berinisiatif ikut bergabung di grup Fecebook dan mengikuti Instagram-nya.

Meski belum bisa bergabung di dunia nyata, setidaknya bisa bergabung di dunia maya dan belajar di sana.

Saya kemudian mengenal Kak Syarifah Aini sebagai Ketua Umum FLP Aceh, lewat tulisannya yang dimuat di Rubrik Jurnalisme Warga Serambi Indonesia.

Tulisan itu berjudul Menikmati Kemolekan Kuala Korek Aceh Singkil pada tanggal 20 Mei 2021.

Tulisannya menarik, saya sangat menikmati membacanya.

Seperti takdir hari itu kian mendekat.

Sebulan berlalu, tepat 20 Juni 2021 saya membaca pengumuman di akun Instagram @flpbandaaceh tentang perekrutan anggota FLP baru yang diadakan secara daring.

Saya putuskan untuk mendaftar dan melengkapi semua syarat.

Ada sesi wawancara dan saya jawab ujian tulisan dan lisan dengan sungguh-sungguh.

Juga saya ikuti dengan serius semua materi inaugurasi via Zoom Meeting siang-malam on time berdasarkan skedulnya selama 5 hari 4 malam termasuk sesi penutupan.

Di sana saya semakin kenal dan jatuh cinta pada FLP, yang saya kira hanya organisasi kepenulisan, ternyata tidak.

FLP memiliki tiga pilar yang mencakup keseluruhan, yaitu: keorganisasian, keislaman, dan kepenulisan.

Dengan tiga pilar ini mampu membentuk kepribadian yang tidak hanya berkiprah di bidang kepenulisan, tetapi juga aktif di bidang sosial dan keagamaan.

Di tahap pengumuman akhir, lisan saya menggumamkan hamdalah sembari mata berkaca-kaca membaca pengumuman kelulusan di story Instagram @flpbandaaceh, nama saya tertera di sana.

Ternyata begitulah air mata, tidak hanya berurai karena kesedihan, tetapi juga karena besarnya kebahagiaan.

Baca juga: Arab Saudi Gelar Festival Malam Ramadhan, Pukul 10 Malam Sampai 2 Pagi, 1 Ramadhan 2 April 2022

Baca juga: Arab Saudi Tutup Kembali Umrah Mulai 4 April 2022, Warga Jeddah Sambut Gembira Ramadhan

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved