Masjid Bersejarah
Kisah Masjid Quba Bebesen yang Dibangun Habib Syarif dari Arab hingga Dibakar PKI
Mereka ini kemudian meneruskan perjalanan sampai ke Peudada, lalu mengikuti aliran sungai Peudada, sampai ke Pantan Lah, sekarang kawasan Aceh Tengah
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Ansari Hasyim
Yusradi Usman al-Gayoni menjelaskan, pada 2007 dirinya meneliti sejarah Masjid Quba, dengan mewawancarai tokoh-tokoh yang sudah cukup berumur waktu itu, 90-an tahun. Yang lebih muda, termasuk alm. Gecik Tue Mongal, dan alm Tgk M. Isa Umar.
Yusradi, menyimpulkan, Masjid Bebesen dibangun sebelum Belanda masuk ke Gayo (1903) dan terdapat relasi dengan Ketol. Sebagian bahan pembangunan masjid yang berbahan papan, berbentuk panggung, dan beratap hijuk saat itu dibawa dari Ketol.
Yusradi memperkirakan, Masjid Bebesen dibangun akhir tahun 1700 atau awal 1800. Bangunannya, sambung Yusradi, seperti masjid di Isaq, Masjid Asal di Penampaan Gayo Lues, Masjid Kebayakan, masjid-masjid tua di pesisir Aceh, juga Masjid Demak.
Mengingat penambahan jamaah, yang tidak hanya berasal dari Bebesen, tetapi juga dari luar Bebesen, tambah Yusradi, kemudian dilakukan pengembangan masjid.
Masjid pengembangan ini, lanjut Yusradi dibakar oknum anggota PKI, tanggal 21 Juli 1965. Bangunan masjid yang dibakar ini seperti yang dilukis seorang pelukis Gayo, Pak Hasan Keding Karang. Masih bangunan papan, berbentuk panggung, berpondasi batu, bangunannya lebih besar, ada tiga menara kecil di atasnya. Bagian depannya seperti rumah "bubung lime."
"Setelah dibakar oknum PKI, dipakai Mersah Uken untuk masjid darurat sebagai tempat beribadah sementara. Lalu, dibentuk panitia pembangunan masjid yang masa kepengurusannya tiga tahun, sampai sekarang. Nama Masjid Quba diusulkan Tgk Abdurrahman, salah satu ulama kharismatik Aceh Tengah saat itu, asal Kampung Bebesen. Nama Quba filosofinya berangkat dari hijrah Nabi Muhammad SAW, dari Mekkah ke Madinah,” sebut Yusradi.
Webinar Pusat Kajian Kebudayaan Gayo “Menguak Sejarah Masjid Quba Bebesen” diikuti dua puluhan peserta, terdiri dari peneliti, sejarawan, akademisi, dan tokoh masyarakat, termasuk Reje (Kepala Desa) Bebesen Riduansyah, Kepala Dinas Pariwisata Bener Meriah Irmansyah, Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Aceh Tengah, dan Direktur Universitas Terbuka Medan Dra. Yusrafiddin, M.Pd.(*)