Jurnalisme Warga

Tantangan Literasi Kesehatan pada Kelompok Rentan

Jumat, 25 Maret 2022, seperti biasa merupakan jadwal kuliah saya di Prodi Manajemen Ilmu Kebencanaan Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK)

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Tantangan Literasi Kesehatan pada Kelompok Rentan
FOR SERAMBINEWS.COM
ZAKIYAH DRAZAT, Anggota Komunitas Jurnalisme Warga Kota Banda Aceh dan Mahasiswa S2 Ilmu Kebencanaan USK, melaporkan dari Banda Aceh

Kekhawatirannya muncul setelah anaknya yang ikut vaksinasi Covid-19 mengalami kejadian ikutan pascaimunisasi atau KIPI.

Akibatnya sang anak tak bisa ikut ujian.

Hal inilah yang memicu kekhawatiran Muhyin sehingga enggan vaksinasi.

Bagaimana jika terjadi hal buruk pada dirinya? Ia khawatir tidak bisa mencari nafkah dan pemasukan keluarganya tersendat.

Hanya dialah satu-satunya tulang punggung keluarga.

Setelah mendengar sekilas cerita Muhyin, saya sadari bahwa yang menjadi tantangan pada kelompok rentan tidak hanya mengenai cakupan vaksinasi, tetapi juga belum sampainya literasi kesehatan yang memadai pada mereka.

Baca juga: Dorong Gampong Nusa Jadi Desa Wisata Edukasi Kebencanaan

Pada Pasal 48 huruf e Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan “perlindungan untuk kelompok rentan” dalam keadaan darurat bencana, kemudian pada Pasal 55 ayat (2) disebutkan siapa saja kelompok rentan tersebut, yaitu: a) bayi, balita, dan anak-anak; b) ibu yang sedang mengandung atau menyusui; c) penyandang cacat; dan d) orang lanjut usia.

Hal ini sejalan dengan indikator kerentanan subpopulasi kelompok rentan akan Covid-19 yang disampaikan dr Hady Maulanza dalam Workshop Jurnalisme Warga bertema Literasi Kesehatan yang saya ikuti Februari lalu, yaitu: a) individu tanpa akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai dan mumpuni, termasuk asuransi kesehatan; b) individu dengan status sosial-ekonomi rendah: penghasilan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan (harian, lepas, atau informal); c) individu dengan penyakit penyerta, d) kelompok demografi dengan relasi kuasa rendah seperti lansia, anak, dan perempuan; f) individu yang mengalami ketersisihan sosial berdasarkan agama/kepercayaan, disabilitas, etnis/suku, gender/seksualitas, status HIV-AIDS, serta status kewarganegaraan; g) individu di wilayah 3T (tertinggal, terpencil, terluar); h) individu yang tak mampu melakoni praktik 5M, termasuk tanpa akses ke air bersih dan sanitasi yang memadai.

Dalam Ilmu Komunikasi Risiko Bencana disebutkan bahwa faktor lain yang mampu memberikan pemahaman tentang sebuah risiko bencana, dalam hal ini pandemi Covid-19, ialah efektivitas komunikasi risiko bencana itu sendiri.

Hal ini penting untuk memastikan bahwa semua informasi dan pendapat penting untuk penilaian risiko yang efektif, untuk manajemen risiko antara pihak-pihak yang berkepentingan dan dimasukkan ke dalam proses pengambilan keputusan.

Adapun tujuan dari komunikasi risiko adalah untuk memahami sifat risiko dan persepsi publik serta kemampuan untuk beradaptasi dari risiko, membangun keterampilan dan strategi komunikasi risiko, serta memberikan informasi kepada publik untuk buat keputusan terbaik dalam batasan waktu yang sangat terbatas.

Sebagai perbandingan, kita bisa lihat pada rendahnya cakupan vaksin kedua pada lansia, padahal mereka merupakan kelompok rentan ditambah lagi ada yang memiliki penyakit komorbid.

Hal ini terjadi karena minimnya informasi (literasi kesehatan) yang mereka dapatkan tentang faktor risiko seperti yang dialami oleh Muhyin, ditambah lagi minimnya informasi tentang KIPI yang dialami anaknya sehingga membuat ia takut untuk vaksinasi.

Pentingnya informasi melalui komunikasi efektif juga dirasakan oleh kelompok disabilitas sebagaimana ditulis Mardhatillah tentang Erlina (Serambi Indonesia, 26 Maret).

Erlina yang disabilitas fisik butuh perjuangan ekstra untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved