Ramadhan Mubarak
Ramadhan dan Pelatihan Amanah
SEBELUM ini telah dijelaskan tentang pendidikan dan pembiasaan pengawasan yang sebaiknya diajarkan keluarga kepada anak sejak usia dini
Oleh: Prof Dr Al Yasa’ Abubakar MA, Guru Besar UIN Ar-Raniry
SEBELUM ini telah dijelaskan tentang pendidikan dan pembiasaan pengawasan yang sebaiknya diajarkan keluarga kepada anak sejak usia dini.
Agar anak dapat mengetahui dan menyadari bahwa tugas yang diberikan kepadanya mesti dikerjakan sesuai permintaan dan mesti dipertanggungjawabkan.
Dia diawasi ketika mengerjakannya dan akan dimintai laporan dan tanggung jawab setelah itu.
Dia tidak boleh berkeyakinan bahwa sebuah tugas akan dianggap selesai secara begitu saja, tanpa laporan dan tanpa pertanggungjawaban.
Sekiranya ditarik lebih jauh, sikap dan kesadaran merasa sedang dan selalu diawasi di satu pihak dan adanya kewajiban untuk menyampaikan laporan dan bahkan pertanggungjawaban atas tugas yang diberikan pada pihak yang lain, adalah cikal bakal dari sikap dan nilai yang dijunjung tinggi dalam Islam, yaitu amanah.
Penulis akan memberikan beberapa contoh pendidikan dan pembiasaan mengenai amanah.
Contoh ini hanya sekedar menunjukkan bahwa pendidikan dan pembiasaan untuk menanamkan dan menumbuhkan amanah sebagai nilai dan perilaku, boleh dikatakan belum dilakukan secara sungguh-sungguh dan masih belum optimal.
Bahkan mungkin keadaan sebaliknya yang terjadi, bahwa kita atau lebih tepat sebagian dari kita, sedang menempuh arah yang salah.
Karena tanpa disadari sedang mengajari anak-anak untuk membentuk sifat dan kebiasaan buruk, tidak amanah dan tidak bertanggung jawab.
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (2)
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (3)
Dalam beberapa kegiatan gotong royong gampong, penulis pernah menemukan tokoh yang atas inisiatif sendiri memanggil seorang remaja, memberikan sejumlah uang dan menyuruhnya membeli minuman serta jajanan.
Sebagian remaja meletakkan kopi dan kue jajanan yang dia beli secara begitu saja di arena gotong-royong dan orang-orang langsung minum dan menikmatinya.
Dia menganggap tugasnya sudah selesai dengan cara seperti itu, tanpa perlu melapor kepada tokoh yang menyuruh ataupun pihak lain yang dianggap bertanggung jawab.
Sebagian remaja menyerahkan barang yang dia beli kepada orang yang dianggap bertanggung jawab, yang akan mengatur pembagiannya kepada khalayak.
Kadang-kadang ada juga remaja yang datang melapor kepada tokoh yang menugaskannya tadi dan menyerahkan uang kembalian sekiranya ada.
Ketika ada remaja yang melapor dan menyerahkan uang kembalian, sering ada saja peserta yang usil dan nyeletuk menganggap remaja yang melapor dan mengembalikan uang itu ‘bodoh’.
Bahkan sering ditambahi ucapan sambil bercanda: “Bapak itu sengaja memberikan uang lebih, sebagai upah untuk kamu.
Sekarang kamu kembalikan, maka kamu tidak jadi mendapat upah”.
Contoh lain, penulis pernah didatangi pelajar-pelajar meminta sumbangan untuk kegiatan syiar keagamaan.
Mereka biasanya melampirkan anggaran keuangan yang diketahui oleh guru pembina atau senior yang lain.
Proposal ini dalam pengamatan penulis, sering dibuat ‘asal jadi’ dalam arti berisi keperluan atau kegiatan yang penulis anggap tidak realistis dan tidak relevan.
Kalau penulis mempunyai waktu, biasanya akan bercengkerama sebentar dengan pelajar tersebut, mengenai kegiatan yang akan dilakukan dan proposal yang mereka tulis.
Kadang-kadang pelajar ini menjawab dengan lugu (disertai dengan nada mengeluh) bahwa item dan angka tersebut ditulis atas saran dari senior mereka.
Sedang naskah awal yang mereka rencanakan lebih sederhana dan lebih realistis, sehingga relatif kecil jumlah anggarannya.
Contoh lainnya ada oknum pada sebagian lembaga pendidikan yang mengeluarkan surat keterangan (pernyataan) resmi yang isinya tidak benar, yang sudah mereka ketahui sejak awal.
Ada juga oknum guru yang membiarkan (menyuruh) siswa ‘nyontek’ ketika ujian, tetapi secara lisan melarangnya.
Dari contoh di atas yang ingin penulis sampaikan, oknum-oknum tersebut sepertinya tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan, langsung atau tidak merupakan pembelajaran atau pembiasaan kepada remaja untuk tidak perlu menjadi orang yan amanah.
Dengan kalimat lain, mereka secara tidak langsung mengajari remaja yang masih dalam usia pendidikan tersebut, bahwa perbuatan tidak jujur, berbohong, memanipulasi, atau melanggar peraturan (yang mungkin sekali akan berujung pada tidak dapat mempertanggungjawabkan tugas) tidak masalah kalau tidak dipatuhi, bahkan dalam keadaan tertentu dianggap baik (perlu) untuk dilanggar.
Menurut penulis, pendidikan dan pembiasaan seperti dicontohkan di atas menjadikan anak tidak tahu tentang adanya keharusan bersikap amanah, jujur, dan taat pada peraturan pada setiap langkah kehidupan.
Mungkin saja karena pembiasaan ini mereka akan bersikap pragmatis, bahwa tidak amanah (misalnya menipu, memalsukan, berbohong) boleh dilakukan kalau dianggap bermanfaat.
Hukum dan peraturan boleh dilanggar kalau dianggap bermanfaat dan tidak ketahuan.
Kalau kesimpulan di atas tidak keliru, maka puasa sebagai sarana pelatihan ulang untuk menanamkan adanya pengawsan agung dari Allah akan sukar terwujud, karena kesadaran tentang perlunya amanah sebagai salah satu nilai tertinggi tidak diyakini atau tidak dihayati oleh anggota masyarakat, karena mereka dibesarkan dalam budaya yang tidak menerapkan nilai dan perilaku amanah dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahu a`lam bish-shawab.
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (4)
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (5)