Opini
Menyingkap Makna Idul Fitri
Fenomena akan tiba hari raya ini dapat diamati dari geliat aktifitas masyarakat, ketika jamaah tarawih makin berkurang dan jamaah tempat pembelajaan

Oleh Dr Lukman Hakim A Wahab MAg, Dosen Teologi Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh
SAAT ini kita sudah berada di hari-hari akhir ibadah puasa pertanda Idul Fitri pun akan tiba.
Fenomena akan tiba hari raya ini dapat diamati dari geliat aktifitas masyarakat, ketika jamaah tarawih makin berkurang dan jamaah tempat pembelajaan makin bertambah.
Kondisi ini tentunya sebuah ironi semestinya umat muslim semakin mengoptimalkan amalan puncak bulan Ramadhan, mendapatkan keistimewaan lailatul qadar bukan justru teralihkan oleh persiapan kue dan baju baru untuk menyambut Idul Fitri.
Memang konteks keacehan, Idul Fitri sering diorientasikan sebagai kegembiraan dan keriangan.
Seperti dalam pantun “Geudham geudhum tamboe dipeh.
Tanda jadeh uroe raya.
Uroe raya soek bajee baroe.
Lagee linto jakwo gampong ma”, terjemahan bebasnya "Suara tabuh bertalu-talu.
Penanda hari raya tiba.
Baca juga: Shalat Idul Fitri 2022, Bolehkan Pakai Mukena Warna Warni saat Shalat? Begini Penjelasan Buya Yahya
Baca juga: Ini 14 Rekomendasi Makanan Khas Aceh untuk Open House Idul Fitri 2022
Hari raya berpakaian baru.
Seperti mempelai berkunjung kepada orang tuanya”.
Benar diekspresikan sebagai hari bersuka cita atau kemenangan.
Di sisi lain, dalam sebuah kata mutiara Arab disebutkan “ Laisal ‘Idu liman kana libasuhu Jadid, Walakinna ‘Idu liman kana imanuhu yazid” yang secara bebas dapat diterjemahkan “Bukanlah hari raya orang yang berpakaian baru, tetapi hari raya adalah bagi siapa yang keimanannya bertambah.
Hal ini mengkonfirmasi bahwa dalam Islam hari raya diasosiasikan kepada capaian spiritual seperti capaian ketaqwaan, capaian keberuntungan.