Kisah Sukses Perantau Aceh
Kisah Diaspora Aceh – Sabrul Jamil, Pemilik Mie Aceh Pandrah yang Berkembang di Masa Pandemi
Inspirasi lain yang bisa diambil dari kisah sukses Sabrul Jamil ini adalah, saat ini dia menampung 35 tenaga kerja di kelima cabang Mie Aceh Pandrah
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
“Kalau total di seluruh cabang berapa pekerja?” tanya Serambinews.com.
“Sekitar 45 orang,” ujarnya.
“Omaa…,” celutuk Safaruddin yang merasa kagum kepada Sabrul karena telah menampung banyak tenaga kerja di usianya yang masih sangat muda.
“Tapi sekarang tidak sampai 45 orang lagi, mungkin hanya tersisa sekitar 35 orang, sebagiannya harus berhenti kerja seiring menurunnya penjualan pada masa pandemi,” lanjut Sabrul.
Sebagian pekerja itu datang sendiri ke tempat Sabrul untuk meminta kerja, dan sebagian lain karena rekomendasi dari kawan-kawan.
Lalu bagaimana Sabrul mengontrol ke lima cabang Mie Aceh Pandrah itu?
“Ada leader di setiap cabang,” kata Sabrul seraya menambahkan bahwa para leader itu adalah orang kepercayaannya yang telah bekerja lama bersama dirinya.
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Bang Jol Sahara Sang Legenda
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Teuku Makmur, Toke Beras Pemberantas Pengangguran di Kampung Halaman
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh - M Raji Pengusaha Muda Owner Koetaradja, Dari Importir Hingga Konsep ATM
Jatuh Bangun di Masa Awal
Seperti halnya kebanyakan perantau, kesuksesan yang kini diraih oleh Sabrul Jamil juga tidak terlepas dari berbagai cerita duka, perjuangan yang disertai kepahitan.
Bermula, setelah menamatkan SMA di Bireuen, pada tahun 2008, Sabrul mulai merantau ke Batam, Kepulauan Riau.
Saat itu usianya masih sangat belia, yaitu 18 tahun.
Ia ingin mengubah nasib, serta tidak mau membebankan orang tuanya yang akan kesulitan jika dia menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Namun, dia gagal di percobaan pertamanya di perantauan.
Hanya setahun berada di Batam, Sabrul memutuskan pulang kampung, karena tidak ada kerja yang cocok.
Sepulang dari perantauan, Sabrul sempat menempuh kuliah, tapi karena kekurangan dana, ia terpaksa meninggalkan bangku kuliah.
Sabrul pun kembali memutuskan untuk merantau.
Kali ini dia memilih Jakarta sebagai tempat tujuan.
Saat itu, pada tahun 2011, dia sudah berusia 22 tahun.
Pertama ke Jakarta, karena tidak ada modal, Sabrul bekerja pada kenalannya sebagai penjual parfum di kaki lima dan pasar malam.
Kurang lebih setahun dia menjalani pekerjaan itu, hingga kemudian beralih menjadi penjual pakaian, sepatu, dan barang pecah belah di pasar malam.
Sabrul berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya yang menggelar pasar malam, hingga ke Depok.
Baca juga: Bandara SIM, Pintu Penggerak Ekonomi dan Menjaga Marwah Aceh
Ia dengan cermat mengumpulkan hasil usahanya hingga punya modal untuk membuka usaha sendiri.
Ide itu muncul setelah dia bertemu seorang teman yang pandai memasak mie aceh.
Mulanya, Sabrul bersama temannya membuka usaha mie aceh di bawah tenda di kaki lima di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Hanya beberapa bulan di sana, Sabrul kemudian memutuskan pindah ke Cengkareng, tepatnya di kawasan Taman Palem.
“Di sini (Taman Palem Cengkareng) lumayan lama, hampir dua tahun,” ujarnya.
Hingga pada tahun 2016, setelah punya cukup modal, Sabrul memberanikan diri menyewa rumah took di Jalan Sukarjo Wiryopranoto No.4C, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
Saat ini, satu ruko di lokasi itu disewakan dengan nilai di atas Rp 100 juta.
Dari sini, usaha Mie Aceh Pandrah terus berkembang, hingga dua tahun kemudian dia mulai memberanikan diri untuk melakukan ekspansi.
Pertama sekali dia membuka cabang Mie Aceh Pandrah di Jalan Kramat Raya Senen, disusul di Kemanggisan Slipi, hingga pada masa pandemi membuka dua cabang lagi yang khusus melayani pembelian bawa pulang (take away) di Mampang Prapatan dan terminal Kampung Melayu.
Seiring dengan usahanya yang terus berkembang, Sabrul saat ini telah memiliki rumah sendiri di Pejaten Barat.
Pada akhir tahun 2021, dia pulang kampung dan menikahi gadis Kruenggeukueh Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
“Dikenalkan oleh kakak,” kata Sabrul ketika ditanya awal mula berkenalan dengan istrinya.
Meski punya rumah sendiri di Pejaten Barat, Sabrul dan istrinya tinggal di apartemen di kawasan Jakarta Pusat.
“Rumah di Pejaten saya sewakan kepada orang lain. Karena saat itu saya masih lajang, jadi bisa tinggal di apartemen agar lebih dekat dengan tempat usaha,” ujarnya.
Saat kami bertandang, istrinya sedang berada di kampung halaman, belum kembali ke Jakarta setelah pulang menjelang Lebaran Idul Fitri 1443 lalu.
Selain kreatif, apa kiat Sabrul agar sukses di perantauan?
“Kiban taneuk peugah roe, paleng taikuti model berdagang disesuaikan dengan perkembangan zaman, kalau sudah online, ya harus menyesuaikan,” katanya.
Selain itu, lanjut Sabrul, pasang target yang ingin dicapai dan jangan menunda pekerjaan agar target itu bisa segera dicapai.
“Apalagi kita berangkat di kampung dengan uang pas-pasan, tidak ada modal untuk memulai usaha. Jadi ya harus bekerja apa saja untuk mencari pengalaman. Setelah cukup pengalaman dan modal, baru membuka usaha sendiri,” ujarnya.
Kiat lainnya adalah kesabaran dalam menjalani kehidupan.
“Masa-masa awal yang paling berat adalah tidak pulang kampung karena tidak punya uang untuk ongkos pulang. Kalau sekarang sudah sering pulang,” ujar Sabrol sambil tertawa kecil.(*)
Simak wanwancara lengkapnya dalam video siaran langsung di bawah ini.