Internasional
Bentrokan Antar Suku Arab dan Afrika di Darfur Menewaskan 125 Orang, Gara-Gara Perebutan Hak Tanah
Bentrokan antarsuku selama seminggu terakhir di wilayah Darfur, Sudan, telah menewaskan 125 orang.
SERAMBINEWS.COM, KAIRO - Bentrokan antarsuku selama seminggu terakhir di wilayah Darfur, Sudan, telah menewaskan 125 orang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Selasa (14/6/2022) menyatakan kekerasan terbaru di wilayah yang dilanda perang, meletus menyusul perselisihan tanah antara suku Arab dan suku Afrika.
Khususnya di Kota Kulbus, Provinsi Darfur Barat, dengan milisi Arab lokal yang menyerang beberapa desa di daerah itu.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan korban tewas, terdiri dari 100 orang dari suku Gimir Afrika dan 25 orang Arab.
Dilansir AFP, Selasa (14/6/2022), bentrokan itu juga melukai lebih dari 130 orang lainnya, kebanyakan orang Afrika.
OCHA mengatakan sedikitnya 25 desa di daerah Kulbus diserang, dijarah, dan dibakar.
Baca juga: Sudan Selatan Diguncang Pembantaian Warga Sipil, Puluhan Orang Tewas
Diperkirakan, sekitar 50.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di Darfur Barat dan provinsi tetangga Darfur Utara, tempat bentrokan menyebar.
Pertempuran itu menjadi yang terakhir dari kekerasan suku di Darfur.
Itu terjadi ketika Sudan tetap terperosok dalam krisis yang lebih luas setelah kudeta militer Oktober 2021, menjungkirbalikkan transisi Sudan ke demokrasi.
Setelah pemberontakan rakyat memaksa penggulingan otokrat lama Omar Al-Bashir pada April 2019.
Konflik Darfur dimulai pada tahun 2003 ketika etnis Afrika memberontak, menuduh pemerintah yang didominasi Arab di ibu kota Khartoum melakukan diskriminasi.
Pemerintah Al-Bashir dituduh melakukan pembalasan dengan mempersenjatai suku-suku Arab nomaden lokal.
Baca juga: Pemberontak Tigrayan Sudan Bunuh Warga Sipil Ethiopia, Ratusan Ribu Orang Melarikan Diri
Termasuk melepaskan milisi yang dikenal sebagai janjaweed ke warga sipil di sana, tuduhan yang dibantahnya.
Al-Bashir, yang telah dipenjara di Khartoum sejak digulingkan dari kekuasaan pada 2019, didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Darfur.(*)
