Breaking News

Kupi Beungoh

Krueng Keumala Riwayatmu Kini, Kami Sudah Mati Sebenarnya, Semua Sudah Terkuras Habis

Keumala memang berada jauh dari kebisingan kota, tapi nasibnya tidak lebih baik dari riwayat Bengawan (sungai) Solo di Jawa Tengah yang padat.

Editor: Zaenal
Kolase Serambinews.com/handover
Kondisi salah satu anak sungai di Keumala dan warga Keumala yang kini harus menampung air dari meunasah desa untuk kebutuhan sehari-hari. 

Oleh: Muhammad Nur*)

MELALUI artikel ini saya akan berbagi kisah tentang nasib Krueng Keumala yang menjadi sumber air bagi masyarakat di sebagian Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.

Keumala memang berada jauh dari kebisingan kota, tapi nasibnya tidak lebih baik dari riwayat Bengawan (sungai) Solo di Jawa Tengah yang padat penduduk.

Bengawan Solo

Riwayatmu kini

Sedari dulu jadi perhatian insani

Musim kemarau tak seberapa airmu

Di musim hujan air meluap sampai jauh

Syair yang diciptakan oleh Gesang, seniman keroncong ini memang sangat fenomenal.

Kondisi Bengawan Solo ketika lagu ini diciptakan oleh Gesang pada tahun 1940 memang belum separah keadaan sekarang.

Tapi, Gesang yang kala itu masih berusia 23 tahun, mulai merasa gundah dalam melihat realitas dan aktivitas orang-orang serakah yang mengekploitasi sungai Solo untuk kepentingan diri dan keluarganya.

Kegundahan Gesang terbukti, Bengawan Solo kini telah menjadi hantu yang menakutkan bagi penduduk desa yang dilaluinya.

Banjir yang meluap membawa bencana dan nestapa bagi masyarakat.

Sampah yang berserakan di riak aliran sungai serta pekatnya air sungai menambah suram citra Bengawan Solo.

Bengawan Solo hanya indah saat kita mendengarkannya dari alunan lagunya.

Sebatas itu, orang-orang tidak lagi menginginkan Bengawan Solo kembali menjadi mata air bagi para petani. (Bengawan Solo Kini Tak Seindah Syairnya, Sigit Indra Prianto, Mei 2010).

Baca juga: Warga Keumala Kesulitan Air Bersih

Baca juga: Irigasi Tueng Peudeng,Titeu - Keumala, Pidie Hancur, Petani di 9 Gampong Terancam

Kondisi Krueng Keumala di Desa Kumbang pada tahun 2019.
Kondisi Krueng Keumala di Desa Kumbang pada tahun 2019. (SERAMBINEWS.COM/HANDOVER)

Riwayat Krueng Keumala

Kisah Bengawan Solo yang syairnya telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa, termasuk bahasa Inggris, bahasa Rusia, bahasa Tionghoa, dan bahasa Jepang, kini juga dialami oleh Krueng Keumala, di Kabupaten Pidie, Aceh.

Aktifitas-aktifitas usaha tambang pasir dan batu (sirtu) di sejumlah titik di Keumala, telah membuat anugerah Allah ini rusak parah.

Krueng Keumala yang dulu memberi manfaat kepada penduduk di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Baro, kini berbalik menjadi ancaman.

Keserakahan orang-orang mengumpulkan harta dengan cara merusak alam, kerap membuat Krueng Keumala murka.

Persis seperti syair dalam lagu Bengawan Solo

“Di Musim kemarau tak seberapa airmu.. Di musim hujan air meluap sampai jauh.”

Saat musim kemarau warga belasan desa di Keumala yang dulu melimpah airnya, kini mulai merasa kesulitan, bahkan hanya untuk sekedar berwudhu untuk menghadap Sang Pencipta.

Kondisi salah satu anak sungai di Keumala dan warga keumala yang kini harus menampung air dari meunasah desa untuk kebutuhan sehari-hari.
Kondisi salah satu anak sungai di Keumala dan warga keumala yang kini harus menampung air dari meunasah desa untuk kebutuhan sehari-hari. (Kolase Serambinews.com/handover)

Tidak hanya sebatas manusia yang merasa dampaknya, binatang pun ikut kesulitan melangsungkan kehidupannya.

Dengan kata lain, aktifitas-aktifitas usaha tambang pasir dan batu (sirtu) tidak hanya menghancurkan kehidupan manusia, tapi juga binatang yang selama ini menggantungkan hidup di sana.

Untuk diketahui, Krueng Keumala yang merupakan bagian dari Krueng Baro, mengalirkan air dari beberapa anak sungai di pegunungan Bukit Barisan.

Di antara anak sungai yang bermuara ke Krueng Baro ini adalah adalah Krueng Meukik Keumala Dalam, dan beberapa anak sungai lainnya di Kecamatan Beungga-Tangse.

Semua sungai-sungai itu terhubung langsung dengan kaki Bukit Gunung Barisan.

Krueng Meukik sendiri adalah salah satu anakan sungai yang paling ektrem dalam pandangan masyarakat Keumala, karena bebatuannya yang besar dan cadas.

Aliran airnya juga sangat deras, terutama saat musim penghujan tiba, sehingga menimbulkan luapan di sepanjang aliran sungai Krueng Baro.

Dampak banjir yang terjadi rutin terjadi pada bulan Januari setiap tahunnya, merusakan rumah warga dan fasilitas umum di ratusan desa dalam Kecamatan Sakti, Mila, Delima, Pidie, hingga Kecamatan Kota Sigli.

Sebaliknya, saat musim kemarau tiba, desa-desa di sepanjang aliran sungai ini mengalami kekeringan.

Karena air di dalam tanah yang lebih tinggi, tersedot ke aliran sungai.

Dampak kekeringan yang paling parah dirasakan oleh masyarakat di belasan desa di Kecamatan Keumala dan Titeu.

Dikutip sebuah media online lokal awal bulan ini, Camat Keumala, Nurjannah SE, mengatakan, saat ini setidaknya sembilan gampong (desa) di Kecamatan Keumala mengalami kekeringan parah.

Sembilan desa tersebut adalah Desa U Gadeng, Dayah Keumala, Kumbang, Sagoe, Rheng, Jijiem, Paloh Teugoh, Cot Nuran, dan Pulo Pante.

Hampir semua desa di Keumala mengalami sumur kering, dan sembilan gampong ini mengalami kekeringan menyeluruh, kata Nurjannah.

Baca juga: Warga 9 Desa di Keumala Pidie Kesulitan Air Bersih, Diduga Dampak Proyek Saluran Irigasi Baro Raya

Baca juga: Tanggulangi Krisis Air Bersih di Kecamatan Keumala, Dewan Minta Pemkab Pidie Pasang Pipa

Kondisi Krueng Keumala di Desa Kumbang pada tahun 2019.
Kondisi Krueng Keumala di Desa Kumbang pada tahun 2019. (SERAMBINEWS.COM/HANDOVER)

Sumur Kering Serentak

Ibu Camat benar, saya sebagai warga Keumala memang melihat sendiri kekeringan yang mulai dirasakan warga Keumala.

Selama dua bulan ini, sebanyak dua ribu lebih masyarakat Keumala tidak mendapatkan akses ke air bersih karena mengalami sumur kering secara serentak.

Kondisi ini terjadi akibat mengurangnya debit air sungai Krueng Baroe setiap memasuki musim kemarau.

Menyusutnya debit air sungai Krueng Baro Keumala bukan tanpa sebab.

Desas desus yang berkembang dalam masyarakat di sana adalah dikarenakan oleh faktor aktifitas galian C di sepanjang sungai tersebut sejak beberapa tahun belakangan.

Semenjak aktifitas galian C itu beroperasi, mungkin sekira 10 tahun lalu, tebing sungai di daerah tersebut telah rusak parah akibat pengerukan pasir secara besar-besaran

Contohnya bisa dilihat di Desa Kumbang.

Pengerukan pasir di Desa Kumbang telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, dan masih terjadi hingga saya menulis artikel ini, Selasa 14 Juni 2022.

Eksploitasi Krueng Keumala yang tidak ada hentinya ini, telah merusak ekosistem sungai.

Menurut pengakuan masyarakat setempat, aktifitas galian C itu dulunya bekerja hingga larut malam, saat masyarakat sedang tidur.

Karena itu, dampaknya lama kelamaan sumur warga akan semakin dangkal jika dibandingkan dengan aliran sungai.

Kondisi ini tentu saja dapat berpengaruh terhadap persediaan air sumur, karena sungainya lebih dalam daripada sumur warga.

Menurut cerita masyarakat di sana, air sumur warga disepanjang sungai tersebut mengikuti mata air sungai, jika sungainya mengering, maka air sumur akan ikut berkurang secara drastis.

Di tengah keluhan aktifitas galian C tersebut, pabrik-pabrik sirtu justru semakin gencar melakukan aktifitas penggilingan batu.

Bahkan di beberapa desa telah dibangun beberapa pabrik batu baru lainnya yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Aktifitas penggilingan batu tersebut secara perlahan lahan telah meminggirkan masyarakat tempatan dari ketergantungan hidupnya dengan sungai.

Baca juga: Aktivitas Galian C Kikis Jembatan Rangka Baja di Keumala, Pidie

Dari kejauhan, alat berat mengeruk pasir dan batu di Krueng Keumala.
Dari kejauhan, alat berat mengeruk pasir dan batu di Krueng Keumala. (SERAMBINEWS.COM/HANDOVER)

Ironisnya, kehadiran pabrik-pabrik sirtu itu juga tidak membuka lapangan kerja bagi warga Keumala, kecuali hanya untuk beberapa orang sahaja.

Karena para pengusaha/pemilik pabrik itu menggunakan alat berat untuk mengeruk batu-batu di sungai Keumala yang dulu pernah menjadi tempat tujuan wisata bagi masyarakat Pidie.

Kehadiran tangan-tangan besi beko itu telah merenggut pekerjaan manual warga setempat sebagai tukang batu.

Maka itu, istilah “buya krueng teudong-dong, buya tameung meuraseki” cukup menggema waktu itu.

Karena masalahnya adalah mereka telah kehilangan pekerjaan sehari- hari yang dapat “mengasapi” dapur rumah tangganya.

Dengan demikian, gesekan sosial selama sepuluh tahun terakhir ini terasa sangat kental di Keumala sebagai daerah yang “dimiskinkan” oleh sistem.

Baca juga: Aktivitas Galian C Krueng Baro Pidie Kikis Tiang Jembatan Rangka Baja

Dicor Hingga ke Dasar

Kondisi kekeringan akibat eksploitasi sungai Keumala semakin diperparah dengan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi Lueng Bintang yang dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR) melalui rekanan CV FD dengan nilai kontrak Rp 7,9 miliar.

Rehabilitasi tersebut dilakukan dengan mengecor lantai (dasar saluran) dan tebing sungai kiri kanan, sehingga pintu air ditutup selama beberapa bulan ini.

Penutupan dan pengecoran lantai (dasar saluran) ini diduga menjadi penyebab lain dari mengeringnya air sumur warga.

Karena tanah di sepanjang saluran itu tidak punya kesempatan lagi untuk menyerap air karena sudah terhalang beton coran.

Pengecoran lantai (dasar saluran) Lueng Bintang membuat air tidak lagi meresap ke tanah yang dilewati saluran tersebut.
Pengecoran lantai (dasar saluran) Lueng Bintang membuat air tidak lagi meresap ke tanah yang dilewati saluran tersebut. (SERAMBINEWS.COM/HANDOVER)

Sehingga orang Keumala dapat diibaratkan seperti “tikus yang akan mati di lumbung padi”.

Anekdot “tikus mati di lumbung padi” sebenarnya sudah menggema sejak kehadiran perusahan pelat merah milik pemerintah, yakni PDAM Tirta Mon Krueng Baro di Desa Pako, Keumala Dalam sejak tahun 1972.

Pipa-pipa yang dipasang di sepanjang kiri kanan ruas badan jalan nasional itu, membawa air yang cukup banyak untuk disalurkan kepada masyarakat di Kabupaten Pidie.

Sampai kini, PDAM itu masih terus beroperasi, mengantar air ke rumah-rumah warga di Kabupaten Pidie.

Tapi entah 10 tahun ke depan, ketika sungai Keumala sudah bernasib seperti Bengawan Solo, bahkan lebih parah jika tidak ditangani sedari kini.

Baca juga: Pipa Bocor, Suplai Air PDAM Tirta Mon Krueng Baro Macet Hingga Dua Hari

Kami masyarakat sudah pasrah, hanya bisa berdoa agar orang-orang yang telah merusak alam itu segera kembali ke jalan yang benar, sebelum Allah menurunkan azabnya.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Al Quran Surat Ar-Rum ayat 41)

Siapa saja yang telah mengambil nikmat air dengan merusak sungai di Keumala sehingga membuat mudharat orang lain dalam beribadah, sulit mendapatkan air dalam kesehariannya, segeralah sadar sebelum mendapat azab dari Allah SWT.

Segeralah sadar, sebelum masyarakat yang teraniaya berdoa, “ya Allah jika nanti orang yang merusak sumber air ini meninggal, maka jadikan air mandi mayit dia sebagai air panas, atau keringkan air di tubuhnya agar merasakan perihnya azabmu.”

Secara lisan hana dipateh, tatap muka pih hana dipateh, maka kami orang-orang teraniaya ini hanya bisa berdoa.

Kami sudah mati sebenarnya, semuanya sudah terkuras habis.

M Nur, warga Keumala penulis artikel
M Nur, warga Keumala penulis artikel "Krueng Keumala Riwayatmu Kini, Kami Sudah Mati Sebenarnya". (SERAMBINEWS.COM/HANDOVER)

*) PENULIS adalah warga Keumala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved