Opini
Polarisasi Politik Pemilu 2024
PERHELATAN politik serentak secara nasional yang berhubungan dengan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 atau sekitar dua tahun yang akan datang

OLEH TAUFIQ ABDUL RAHIM, Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/ PEARC-Aceh
PERHELATAN politik serentak secara nasional yang berhubungan dengan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 atau sekitar dua tahun yang akan datang terhadap pemilihan eksekutif dan legislatif semakin terdengar nyaring gaungnya pada saat ini.
Dengan melihat gencarnya para tokoh partai politik dan aksiaksi serta promosi calon dari eksekutif, terutama untuk calon presiden semakin gencar dilakukan, ini dilakukan dengan menggunakan istilah silaturrahmi politik, audiensi, saling kunjung-mengunjungi serta terus mencari bentuk kolaborasi, baik untuk kepentingan atas nama partai maupun individu yang akan diusung.
Dikarenakan secara nasional prasyarat untuk pencalonan calon presiden (Capres) mesti memiliki “electoral treshold” 20 persen, maka diusahakan adanya kerja sama, kolaborasi, aliansi serta konsensus antar partai semakin gencar melakukan manuver politik serta membentuk koalisi antar calon serta partai politik yang mesti mematuhi persyaratan minimal terhadap calon dan partai yang ingin mengikuti kontestasi pencalonan tokoh politik yang ingin diusung sebagai calon presiden.
Suasana politik, warna dan fenomena demikian gencar saat ini didengungkan oleh para pendukung, mesin partai, terutama tim sukses yang ingin menjagokan tokoh yang digadang-gadang untuk menduduki kursi politik kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk gencarnya mempromosikan calon melalui berbagai media serta pemberitaan.
Namun demikian, sejak awal kondisi politik yang semakin gencar merangkul antara satu dengan lainnya, ini akan segera membentuk polarisasi politik antar partai politik serta rakyat yang mulai konsen dengan isu politik yang demikian gencar diketengahkan akhir-akhir ini.
Berbagai lembaga survei ikut meramaikan aktivitas riset serta observasinya terhadap calon, hasilnya kemudian diumumkan melalui berbagai media, sehingga diharapkan akan mempengaruhi opini publik dari hasil survei yang kemudian dimanfaatkan oleh para calon pemimpin politik untuk ikut mempromosikannya.
Ini juga agar terbuka peluang untuk menjadi pemimpin serta gencar ikut mempromosikan diri dengan berbekal hasil survei serta melakukan gerakan-gerakan masif mendekati antar calon agar dapat dipasangkan serta digandengkan antara satu dengan lainnya.
Baca juga: Pengurus dan Kader PKB Bireuen Ikut Sosialisasi Tahapan Pemilu
Baca juga: Hingga Juni 2022, Daftar Pemilih Pemilu 2024 di Banda Aceh Capai 156.661 Jiwa
Dalam perkembangan dunia politik modern, ini semakin memberikan khazanah keilmuan yang menarik untuk dianalisis, semua ini tidak terlepas dari berbagai peran penting keterlibatan partai serta mesin politik yang ikut meramaikan suasana isuisu politik yang dianggap seksi untuk diketengahkan.
Kemudian yang sangat prinsipiil hal ini semua nantinya akan memerlukan kapitalisasi politik, hal ini yang merupakan dampak dari liberalisasi politik dan ekonomi yang semakin meluas serta mengglobal, sebagai usaha terhadap usaha menciptakan demokrasi politik sebagai konsep dianggap paling modern mendorong perubahan kehidupan manusia atau masyarakat dunia.
Terutama yang menjadi sasaran demokrasi politik dan ekonomi terhadap negara berkembang yang sangat gencar memainkannya, dan atau mengasumsikan bahwa dengan demokrasi akan melahirkan perubahan dalam kehidupan, perbaikan ekonomi dan pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Meskipun imajinasi, ilustrasi ini dikumandangkan dengan menggunakan caracara yang memerlukan modal serta dukungan finansial agar tujuan kepentingan politiknya tercapai, namun tidak semudah memainkan serta mempromosikan terhadap masyarakat politik awam yang masih berpikiran tradisional, karena saat ini masyarakat atau rakyat yang konsen terhadap isu-isu politik semakin pintar serta cerdas meresponsnya.
Namun demikian juga ada masyarakat politik yang memanfaatkan isu politik yang berkembang untuk perubahan kehidupan pribadi serta kelompoknya, ini dikarenakan tuntutan kehidupan yang semakin kompleks, sulit, rumit serta sangat kompetitif diantara satu dengan lainnya untuk saling berebut, dekat dengan kekuasaan.
Kondisi yang berkembang dalam praktik politik tidak sesederhana yang dibayangkan, praktik serta aktivitas yang dilakukan oleh calon pemimpin dan partai politik memerlukan biaya, dana serta anggaran yang tidak sedikit bahkan milyaran rupiah, sehingga kapitalisasi politik inilah yang kemudian akan mendukung liberalisasi ekonomi dan politik sebagai bentuk penjajahan liberalisasi terhadap fenomena baru kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini yang sangat strategis adalah, peran para oligarki politik dan ekonomi yang telah mengincar berbagai calon pemimpin untuk ikut serta digadang- gadang, semua ini dilakukan dengan pamrih yang tertulis maupun tidak tertulis untuk berperan memenangkan calonnya.
Dukungan calon tidak hanya satu bahkan lebih, ini merupakan spekulasi agar modal ataupun dana yang dikeluarkan tidak sia-sia “ibarat memancing lebih dari satu gagang dan mata pancing, dengan joran yang dihargai sangat mahal agar hasil pancingan dapat maksimal”.
Dalam hal praktik saling mendukung secara modal atau finansial inilah menjadikan masyarakat terfragmentasi dalam berbagai kelompok, kemudian polarisasi juga akan menciptakan “bipolarisasi”, karena targettarget serta kepentingan politik tidak saja milik para aktor politik yang ikut berkontestasi, namun demikian para oligarki yang ingin mendapatkan keuntungan politik nantinya pada saat para aktor politik menduduki kursi kekuasaan.
Karena itu, peran para oligarki politik dan ekonomi, serta juga peran partai politik, aktor politik, mesin politik dan para tim sukses yang besar dalam menciptakan polarisasi dan bipolarisasi politik yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Ini semua dengan mengatasnamakan demokrasi politik yang semakin terstruktur dan masif bekerja saat-saat menjelang pemilu, meskipun dua tahun lagi, namun seolaholah dapat diframing akan berlangsung pada bulan depan, juga berlaku dengan semakin gencarnya memainkan isu serta dukungan promosi politik yang dikemas demikian apik dan rapi.
Dalam kehidupan masyarakat yang memiliki keinginan untuk merubah serta memperbaiki kehidupannya, seakan- akan pemilu serta pesta demokrasi akan menciptakan kondisi perubahan serta perbaikan kehidupan melalui media politik.
Namun demikian, sebahagian masyarakat ada yang berasumsi ini sering kali hanya bersifat utopia, karena berbagai bukti serta pengulangan terhadap kontestasi demokrasi politik melalui pesta demokrasi yang banyak memberikan harapan-harapan atau janji-janji politik, pada realitas serta realisasinya selalu saja jauh dari harapan.
Kecuali hanya memberikan perubahan serta perbaikan kehidupan dan kekayaan yang diperoleh dengan berbagai cara bahkan “kerakusan” yang diperlihatkan karena memiliki kekuasaan dan jabatan politik yang dapat diaturnya, dengan menggunakan jargon-jargon kebijakan politik.
Namun demikian, sistem serta ketentuan politik yang diatur selama ini, selalu saja tidak berpihak kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan serta kekuasaan politik, hanya saja ini menjadi daya tarik yang dimanfaatkan secara politik menjelang perhelatan atau pesta politik, karena rakyat sebagai peserta pemilu yang akan menentukan seseorang, individu, aktor ataupun partai politik untuk memenangkan pesta demokrasi politik tersebut.
Kemudiannya kekuasaan politik partai dan aktor politik berhadapan dengan oligarki, “ibarat tuan dan cuan” yang mesti patuh atas perintahnya.
Sesungguhnya setelah kekuasaan politik dipegang atau dikuasai oleh individu, partai politik tertentu, maka pemimpin atau aktor politik kemudian kembali menjadi milik partai politik, yang terikat dan memiliki ikatan maupun janji dengan para oligarki.
Sehingga keuntungan pasca pesta demokrasi politik, pemimpin kekuasaan politik, setiap kebijakan ekonomi dan politik akan menjadi milik para oligarki dan partai politik.
Dalam kehidupan modern saat ini, didukung oleh liberalisasi ekonomi dan politik, ini sangat ditentukan oleh para oligarki politik dan ekonomi.
Hal ini juga dalam usaha menentukan berbagai aturan serta perundang-undangan kehidupan masyarakat luas, maka jika pemimpin kekuasaan politik ingin tetap aman dan “survival”, mesti tunduk serta patuh terhadap keinginan serta permainan para oligarki politik dan ekonomi.
Dengan demikian, polarisasi bahkan bipolarisasi politik tercipta dalam kehidupan masyarakat, ini ada peran serta para oligarki.
Penguasa politik tidak mampu melakukan perubahan serta perbaikan kehidupan, ekonomi serta kesejahteraan, sering kali dihadapkan dengan partai politik dan juga para oligarki yang menentukan berbagai keputusan serta kebijakan politik yang menguntungkan mereka.
Karena itu, polarisasi politik tidak terjadi begitu saja secara kebetulan, setelah itu selalu tidak mampu merubah kehidupannya rakyat, kecuali hanya sebagai korban kekuasaan yang menciptakan kekecewaan yang berulang-ulang.
Baca juga: Panwaslih Gayo Lues Kumpulkan ASN, Tegaskan Netralitas Dalam Pemilu 2024
Baca juga: Kembali Pulang ke Aceh, Surya Paloh Tanyakan Soal Penyelenggaraan Pemilu: Lebih Baik Tak Ada Kalau