Opini
Ujung Kasus Brigadir J dan Bharada E
DARI sekian banyak kasus (pidana) maka kasus penembakan polisi oleh polisi pada 8 Juli lalu di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo

OLEH SAIFUDDIN BANTASYAM, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh
DARI sekian banyak kasus (pidana) maka kasus penembakan polisi oleh polisi pada 8 Juli lalu di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, mendapat perhatian yang sangat luas.
Kapolri membentuk satu tim khusus.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM juga turun melakukan pemeriksaan.
Panglima TNI menyatakan siap membantu otopsi ulang (ekshumasi) jenazah Brigadir Yosua (sering disingkat dengan nama Brigadir J).
Bahkan Presiden Jokowi sampai merasa perlu membuat dua kali pernyataan kepada publik mengenai kasus tersebut.
Inti pernyataannya adalah bahwa kasus itu harus diselesaikan dengan tuntas, transparan, tidak yang ditutup-tutupi.
Ini pernyataan yang jarang dilakukan Jokowi terhadap kasus yang kemudian disebut sebagai pembunuhan berencana oleh media massa (mengutip klaim keluarga Brigadir J).
Perintah presiden pastilah memberi beban tanggung jawab yang sangat besar di pundak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Kapolri terlihat sangat responsif atas perintah presiden.
Keadaan di lapangan (proses pemeriksaan atau penyelidikan)---seperti diberitakan oleh media cetak dan elektronik---berubah sangat signifikan.
Baca juga: Terungkap! Brigadir J Sempat VC dengan Pacar Ungkap Bakal Dibunuh, Minta Kekasih Cari Pria Lain
Baca juga: Kuburan Dibongkar, Wajah Brigadir Yosua Tampak Masih Utuh
CCTV yang awalnya dinyatakan rusak sudah dua minggu sebelum peristiwa tersebut, dinyatakan sudah “diketemukan.
Kapolri juga menyetujui otopsi ulang.
Irjen Ferdy Sambo dan Kapolres Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susiaton dinonaktifkan dari jabatannya.
Di sisi lain, Kompolnas dan Komnas HAM juga sudah dan terus melakukan pemeriksaan saksi-saksi di Jakarta dan di Jambi (keluarga Brigadir J) termasuk menanyakan kepada dokter yang pertama sekali melakukan otopsi.
Semua hal ini hanya bermuara kepada satu tujuan: penyelesaian tuntas dan transparan.
Dua lembaga eksternal di luar Polri itu siap membantu.
Dari segi tahapan penanganan perkara, juga sudah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti.
Dinyatakan bahwa masa penyelidikan (yang mengarah pada pencarian dan penemuan peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana).
Kini tahapannya beralih ke proses penyidikan (mengarah pada pencarian serta penemuan bukti, agar bisa menangkap tersangka).
Jika mengacu kepada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan bukti unsur tindak pidana guna menemukan tersangka.
Dengan kata lain, penyidikan ditekankan pada proses pencarian serta pengumpulan bukti tindakan pidananya sehingga bisa diketahui siapa tersangka atau pelaku tindak pidana.
Hasil akhir dari penyidikan ini tentulah sangat ditunggu- tunggu oleh seluruh elemen bangsa ini mulai dari Presiden Jokowi sampai kepada rakyat lapisan bawah yang mengikuti perkembangan pemeriksaan kasus tersebut melalui media cetak dan elektronik serta media sosial.
Lalu, terutama karena adanya perintah presiden, Kapolri pun tidak akan main-main, tidak akan menutupi orang yang bertanggung jawab dalam kasus ini.
Hanya soal waktu saja bagi penentuan siapa yang menjadi tersangka dalam kasus kematian Brigadir J tersebut.
Memang ada kasus lain, yang dijelaskan oleh pihak kepolisian saat kasus ini pertama sekali disampaikan kepada publik (11/7), yaitu dugaan pelecehan seksual dengan kekerasan (menodongkan pistol) yang dilakukan Brigadir J kepada Putri (istri Brigjen Ferdy).
Putri yang adalah korban sudah membuat laporan kepada polisi dan meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Komnas Perempuan juga sudah turun menangani kasus ini dari sisi tugas dan fungsi Komnas tersebut.
Awalnya, muncul kritik kepada Polri karena terlihat lebih fokus kepada penyelidikan pelecehan seksual dibanding kematian Brigadir J.
Namun, Polri kemudian memperlihatkan kepada publik bahwa mereka juga tidak setengah-setengah dalam memeroses kasus kematian ajudan Brigjen Ferdy tersebut.
Jawaban pertanyaan Sekilas kasus ini sangatlah terang: tempat kejadian perkara (TKP)-nya jelas, nama dan profesi korban juga jelas, pelaku penembakan pun jelas (Bharada E), dan pistol yang digunakan Bharada E dan Brigadir J juga terang benderang jenis dan kualitasnya (walaupun tak pernah diperlihatkan ke publik, seperti yang sering dilakukan polisi dalam kasus-kasus kejahatan dengan senjata api lainnya).
Demikian juga dugaan pelecehan seksual yang dituduh dilakukan oleh Brigadir J.
Hanya saja, jika kasus ini benar---tetapi pembuktiannya mungkin sulit (hanya ada saksi korban), tak ada CCTV, dan belum ada berita apakah pelecehan itu meninggalkan bukti-bukti fisik---maka kasus ini akan ditutup karena Brigadir J sudah meninggal.
Lalu, jika sudah terang, apa yang kemudian yang harus dan yang sedang dilakukan oleh polisi? Karena penembakan yang menewaskan orang lain dilakukan oleh polisi, maka penyidik akan, antara lain, menyelidiki apakah senjata yang memang sah atau tidak untuk digunakan oleh Bharada E dan Brigadir J.
Artinya, aspek legal keberadaan dua jenis senjata di tangan mereka berdua, harus diketahui dengan jelas.
Jika tidak legal, dari mana senjata itu diperoleh termasuk peluru-pelurunya? Lalu, yang berikutnya, apakah penembakan oleh Bharada E itu sudah sesuai dengan prosedur tetap bagi anggota polisi atau tidak.
Untuk memperoleh jawaban ini mungkin rumit tetapi mungkin saja mudah (mendapatkan jawabannya).
Kemudian, mengapa tembakan yang dilepaskan sampai mematikan, bukan melumpuhkan? Perlukah penembakan tersebut dilakukan sampai nyawa Brigadir J hilang? Apa keadaan yang terjadi (yang memaksa) sehingga Bharada E harus mengarahkan tembakan pada tempat-tempat yang mematikan, sementara di pihak lain tak ada satu pun tembakan yang mengenai Bharada E? Dengan lain kata, aspek kebutuhan (necessity) harus juga terbukti di sini.
Jika jawaban atas hal-hal tersebut---legalitas, profesionalitas dan proporsionalitas, serta necessitas adalah YA, maka dapat dikatakan tak ada pelanggaran hukum atau HAM dalam kasus tersebut.
Namun, hasil akhir kasus ini bisa juga di luar dari sangkaan publik.
Misalnya, awalnya bukan pembunuhan, dinyatakan sebagai kasus pembunuhan (berencana).
Awalnya TKP di rumah, tetapi dinyatakan juga ada TKP di luar rumah.
Lalu, disebut penembakan dilakukan oleh Bharada E, namun juga dilakukan atau melibatkan orang lain (sebagai pelaku, membantu menyuruh, dan lainlain).
Belum lagi jika rekaman CCTV dibuka ke publik, mungkin akan muncul hal-hal yang mengagetkan.
Artinya, semua kemungkinan bisa terjadi.
Di pengadilan-lah nantinya semua akan terkuak atau terbuka, siapa yang bersalah dan tidak bersalah.
Keilmiahan penyidikan Siapa pun yang menonton (ratusan seri) film Crime Scientific Investigation (CSI) di televisi, akan sangat terkagum- kagum dengan cara para detektif CSI di Amerika Serikat (New York, Miami, Los Angeles) menangani dan menyelesaikan penyelidikan dan penyidikan berbagai kasus pembunuhan.
Penulis skenario menulis sangat hebat, sutradara bekerja luar biasa, setting laboratorium sangat modern dengan alat-alatnya yang sangat canggih, ditambah akting para pemainnya yang sangat nyata.
Di tangan mereka, kasus yang paling rumit dapat diselesaikan, bahkan jika pun bukti awal hanya bulu hidung pelaku.
Bagi para detektif itu, tak ada kejahatan yang sempurna.
Menurut mereka, fakta yang hebat adalah fakta yang hilang.
Cerita di film CSI selalu berakhir dengan keberhasilan polisi di kota-kota tersebut dalam menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan yang terjadi dan membuat warga merasa nyaman menjalani kehidupannya.
Dalam rangkaian kebijakan penanggulangan kejahatan (penal policy) keadilan harus ditegakkan, potensi kejahatan harus diminimalisir, dan pelakunya harus dihukum,.
Terkait dengan kasus Brigadir J, Polri adalah institusi yang berada di depan.
Kapolri sudah mengucapkan janjinya bahwa para penyidik akan memakai pendekatan ilmiah dalam bekerja (Crime Scientific Investigation---CSI).
Ini sudah dibuktikan antara lain dengan meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan sesuai dengan hasil yang diperoleh di lapangan.
Komitmen untuk menerapkan CSI sangat melegakan karena dapat menghilangkan subjektivitas dalam menegakkan keadilan.
Keadilan yang tidak ditegakkan adalah ketidakadilan itu sendiri.
Selamat bekerja tuntas untuk Pak Jenderal!
Baca juga: Penggali Makam Ungkap Kondisi Jenazah Brigadir J, Masih Utuh Sama Seperti saat Dimakamkan
Baca juga: Komnas HAM Tagih HP Milik Brigadir J dan Ferdy Sambo, Mau Periksa Komunikasi Penting