Opini
Nilai Tawar Aceh di Mata Jakarta
Sudah banyak ‘harga diri’ Aceh tidak dianggap, terutama pada masa Presiden Joko Widodo yang notabene pernah tinggal dan bertugas di Aceh Tengah

Namun, sejak tahun 2022, Jokowi mulai tidak mempercayai putra Aceh dalam kabinet menterinya.
Hal ini membuktikan semakin hilangnya nilai tawar Aceh di mata Pemerintah Pusat atau semakin tidak dipandangnya Aceh sebagai sebuah provinsi yang berdaulat.
Sebelum hilangnya putra Aceh dari posisi menteri kabinet Jokowi, Pemerintah Pusat juga menutup penerbangan internasional dari dan ke Bandara SIM.
Bandara kebanggaan masyarakat Aceh itu hanya tinggal label sebagai Bandara Internasional.
Penerbangan dengan rute internasional justru ditutup.
Tidak sampai di situ, harga tiket dari dan ke Aceh untuk penerbangan domestik juga naik lebih 200 persen dari harga sebelumnya.
Cara Jakarta membuat Aceh seperti ini sama saja menganggap Aceh sebagai daerah terisolasi, tidak boleh didatangi, harus dijauhi.
Siapa pula yang mau datang ke Aceh jika harga tiket naik drastis.
Lebih murah tiket bolak-balik Medan-Kualalumpur dibanding tiket dari Aceh ke Jakarta atau Aceh ke Medan.
Kita harus sadar bahwa jika suatu provinsi tidak memiliki rute penerbangan internasional, jangan harap ada wisatawan mancanegera datang ke provinsi ini.
Demikian sebaliknya, mana mungkin orang Aceh berani terbang ke luar negeri jika harus transit berkali-kali di provinsi lain, ditambah harga tiket yang sangat tinggi.
Pada akhirnya, perputaran uang di Aceh semakin sempit dan mengecil.
Objek wisata di Aceh bisa mati suri tanpa kunjungan turis nasional dan luar negeri.
Dengan demikian, imbas naiknya harga tiket dan ditutupnya rute penerbangan internasional berdampak luas bagi Aceh, menampar segaka sektor: ekonomi, pariwisata, perdagangan, dan lainnya.
Tidak berharganya Aceh di mata Jakarta juga terlihat saat Pemerintah Pusat membatalkan pembangunan kampus IPDN di Aceh.