Opini
Nilai Tawar Aceh di Mata Jakarta
Sudah banyak ‘harga diri’ Aceh tidak dianggap, terutama pada masa Presiden Joko Widodo yang notabene pernah tinggal dan bertugas di Aceh Tengah

Anehnya, Juru Bicara Pemerintah Aceh malah mengapresiasi keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang membatalkan IPDN Aceh.
Padahal, dengan hadirnya IPDN di Aceh, anak Aceh yang ingin melanjutkan studi ilmu pemerintahan secara khusus tidak mesti lagi harus ke luar Aceh, karena IPDN sudah ada di Aceh.
Generasi muda dari provinsi tetangga pun bisa memilih IPDN Aceh sebagai alternatif studi mereka.
Semua orang Aceh mesti sadar, bandar udara dan institusi pendidikan adalah vital bagi suatu daerah.
Dua hal ini akan membuka peluang perekonomian bagi Aceh.
Dua hal ini juga berpeluang membuka mata dunia terhadap Aceh.
Jika Bandara menjadi alasan kunjungan wisatawan, kampus akan menjadi alasan kunjungan pendidikan.
Harusnya Jubir Pemerintah Aceh paham itu, Gubernur Aceh dan anggota legeslatif juga harus mengerti hal tersebut.
Jangan malah sebaliknya, mengapresiasi keputusan pusat saat rute penerbangan internasional ditutup, harga tiket dinaikkan, dan kampus dibatalkan.
Pemerintah Pusat juga telah ‘menginjak’ harga diri Aceh sebagai sebuah provinsi yang istimewa dan memiliki undang undang pemerintah sendiri (UUPA).
Hal ini dapat dilihat dalam pembatalan Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh.
Padahal, bendera dan lambang Aceh adalah mandat MoU Helsinki yang diperkuat juga oleh UUPA.
Selain soal bendera dan lambang, dalam UUPA juga disebutkan tentang kewenangan Aceh dalam mengatur kuota haji.
Namun, semua itu hanya di atas kertas.
Kewenangan haji bagi Aceh tidak teraplikasi hingga sekarang.