Kupi Beungoh
Kuliner Aceh di Shangri-La
Aceh menggelar parade aneka makanan berat dan ringan yang dibungkus dalam tajuk “Aceh Culinary Festival” atau Festival Kuliner Aceh di Hotel Sangri-la
Oleh M. Nasir Djamil*)
Peunajoh Aceh beumacam bago
Peunanajoh jameun sampo inoehat
Ranum silaseh ngen lindung mawoe
Gapu ngen gambe lengkap ngen syarat
Itulah penggalan satu syair yang dinyanyikan penyanyi Aceh Rafli Kande di salah satu tembangnya berjudul “Ranup”.
Meskipun syairnya bercerita tentang memakan sirih, namun lagu itu juga menyampaikan pesan bahwa Aceh kaya dengan cita rasa makanan.
Senapas dengan bait lagu itu, di bulan Agustus ini, selain peringatan 17 tahun Mou Helsinki dan 77 tahun kemerdekaan Indonesia, Aceh juga menggelar parade aneka makanan berat dan ringan yang dibungkus dalam tajuk “Aceh Culinary Festival”.
Mengambil lokasi di hotel berbintang lima dan terletak di jantung ibukota negara (baca: Jakarta), berlangsung dari tanggal 5 hingga 7 Agustus mendatang.
Sepertinya, Aceh kali ini ingin “unjuk gigi” lagi dalam melakukan diplomasi “makan-makan” di panggung nasional.
Mengapa kuliner?
Pertanyaannya adalah, apa pesan yang ingin disampaikan dalam “pesta makanan” Aceh itu?
Istilah atau kata “kuliner” di Indonesia mulai popular sekitar tahun 2005 berkat slogan Wisata Kuliner yang ditayangkan oleh televisi yang meliput tempat-tempat makan unik atau memiliki reputasi yang baik.
Hingga kini masih ada sejumlah televisi yang memprogramkan tayangan makan-makan itu.
Karenanya tidak heran jika sampai sekarang kata kuliner sudah “merakyat” dan menjadi sesuatu yang identik dengan mencicipi berbagai jenis makanan dan minuman.