Kupi Beungoh
Kuliner Aceh di Shangri-La
Aceh menggelar parade aneka makanan berat dan ringan yang dibungkus dalam tajuk “Aceh Culinary Festival” atau Festival Kuliner Aceh di Hotel Sangri-la
Ahli strategi Perancis Charles-Murice de Talleyrand Perigord misalnya, pernah berkata kepada Napoleon Bonaparte, “Give me a good chef and I shall give you good treaties”.
Diplomasi dan budaya makanan ibarat dua sisi mata uang yang saling berhubungan.
Banyak keberhasilan eksekusi diplomasi dilakukan dengan produk budaya makanan.
Tidak heran diplomasi menempatkan budaya makanan sebagai bagian dari alam dalam aksi negosiasi, lobi, dan pengumpulan informasi maupun upacara diplomasi kenegaraan.
Makanan memiliki peran penting dalam membentuk sejarah dunia serta interaksi diplomatik.
“Food is the oldest form of diplomacy”, kata Hillary Clinton.
Begitu juga Lord Palmerston Perdana Menteri Inggris (1859-1865) itu bahkan pernah mengatakan bahwa: “Dining is the soul of diplomacy”.
Sebenarnya inti diplomasi itu adalah komunikasi yang berusaha memikat hati.
Artinya, asumsi dasar yang dibangun itu adalah. “The best way to win hearts and mind is through the stomach”.
Inilah sebabnya mengapa makanan sering dianggap sebagai dari kekayaan “soft-power” negara yang bisa dimanfaatkan dalam diplomasi di tingkat internasional, yang kemudian popular dikenal dengan “gastro diplomacy”.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Aceh dikenal kaya akan produk makanan.
Di sinilah urgensi festival kuliner Aceh di Shangri-La yang diharapkan dapat menjadi media menyambung semangat “politik dan diplomasi” sebagaimana yang diuraikan secara singkat di atas.
Kekuatan “prestige” melalui makanan tidak seperti perwujudan kekuasaan lainnya.
Baca juga: “Koetardja The Keude Kupi” Lengkapi Selera Kuliner Aceh di Jakarta
Konsep makanan yang digunakan dalam tindakan diplomasi adalah untuk menarik atau memaksa aktor dan elit politik mengubah tindakan mereka yang diperagakan dalam budaya simbolik dan politik-ekonomi dari makanan itu sendiri.
Kekuatan “prestige” menggunakan makanan sebagai media tempat interaksi politik dapat dikomunikasikan dan kekuasan pun bisa diperagakan.
Last but not least, sudah saatnya festival kuliner Aceh harus di “up-grade” dari seremonial menjadi diplomasional.
Memang ini bukan pekerjaan yang mudah.
Sebab sudah terlau lama kita hanya menjadi “tukang makan” ketimbang “menukangi makanan”.
Apalagi festival kuliner Aceh di Shangri-La itu menampilkan makanan dan minuman dari seluruh kabupaten dan kota yang di Aceh.
Bahkan lokasi festival kuliner itu dikenal sebagai hotel yang banyak diinap oleh turis asing yang bukan “back-packer”.
Perlu keseriusan pemegang kekuasaan dan pengusaha di Aceh agar kuliner Aceh bisa “naik kelas” dari “jago kandang” menjadi “go Indonesia” dan luar negeri.
Sedangkan untuk menjadikannya sebagai simbol kekuasaan budaya dan diplomasi tentu perlu kerja keras dan kerja cerdas.
Sebab makanan yang dihidangkan merupakan simbol kekuatan diplomasi, baik berskala negara ataupun daerah.
Karena itu, mari kita sadari bahwa potensi diplomasi makanan mampu menciptakan pemahaman lintas-budaya pada sebagian masyarakat kita.
*) PENULIS adalah Ketua Forbes DPR RI dan DPD RI asal Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI