Kupi Beungoh
Kuliner Aceh di Shangri-La
Aceh menggelar parade aneka makanan berat dan ringan yang dibungkus dalam tajuk “Aceh Culinary Festival” atau Festival Kuliner Aceh di Hotel Sangri-la
Di Indonesia, kita patut mengapresiasi suku Minang (baca: Padang).
Hampir tidak ada sudut di negeri ini yang tidak ada restoran atau rumah makan yang bertajuk Minang atau Padang.
Meskipun kadang ada nama restoran itu tidak merujuk kedua nama tersebut.
Bahkan di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura kita masih bisa mencicipi dan menikmati makanan Padang.
Restoran Padang atau Minang bisa berukuran kecil atau besar kerap kita temukan di hampir pelosok Nusantara.
Begitu juga dengan Thailand. Pengusaha makanan dari negara yang berdasarkan monarki konstitusional itu, selalu ekspansi ke luar negeri.
Itu sebabnya, setiap kita ke luar negeri kerap kita menemukan restoran negara gajah tersebut.
Konon, ekspansi itu didukung oleh pemerintah Thailand dengan cara memberikan “harga khusus” saat rempah dan bumbu dari Thailand diangkut oleh maskapai udara (Thailand Airways) ke luar negeri.
Meskipun berada di negeri seberang, restoran Thailand tetap mempertahankan cita rasanya seperti di negaranya sendiri.
Pertanyaannya, akankah festival kuliner Aceh di Shangri-La mampu bertransformasi menjadi kekuatan “diplomasi dan politik makanan?”
Di sinilah titik krusialnya.
Sebab selama ini, kita kerap terjebak dalam “menghabiskan anggaran” setiap menggelar event kuliner.
Setelah perhelatan selesai, hanya capek dan kepuasan sesaat yang menghinggapi.
Bahwa ada keuntungan secara finansial tentu tidak kita pungkiri.
Padahal makanan telah lama memainkan peran penting dalam politik dan diplomasi.