Kupi Beungoh

Pidie “Tersesat” di Paya Lumpat Aceh Barat

Paya Lumpat letaknya agak di pedalaman Samatiga, kira-kira 7 km dari jalan nasional Banda Aceh – Meulaboh.

Editor: Amirullah
ist
Suandi dan Hasan Basri M. Nur adalah alumni Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Oleh: Suandi dan Hasan Basri M. Nur

SERAMBINEWS.COM - Paya Lumpat adalah sebuah gampong di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. Dari arah Banda Aceh, letak Samatiga kira-kira 8 km sebelum masuk Kota Meulaboh.

Paya Lumpat letaknya agak di pedalaman Samatiga, kira-kira 7 km dari jalan nasional Banda Aceh – Meulaboh.

Gampong Paya Lumpat tergolong maju, baik dari ekonomi, tata ruang, kebersihan hingga pendidikan.

Kemajuan ekonomi terlihat dari kondisi perumahan warga yang rata-rata terbuat dari beton (rumoh batee) yang besar-besar.

Kemajuan tata ruang dan kebersihan dapat dilihat dari kondisi jalan-jalan desa yang lebar, beraspal mulus, saluran air yang dan lingkungan yang bersih, bahkan tidak terlihat ek leumo (kotoran lembu) di jalanan.

Sementara kemajuan pendidikan diketahui dari jumlah sarjana yang dilahirkan desa ini melebihi desa manapun di Aceh Barat.

“Paya Lumpat adalah desa teladan dalam bidang pendidikan di Kecamatan Samatiga dan Aceh Barat,” tutur tokoh setempat, Abdullah Adam (90), yang mengaku nektunya berasal dari Pidie.

Pada masa muda, Abdullah Adam pernah menjadi geusyik selama 32 tahun di Paya Lumpat. Dia adalah geusyik berprestasi dalam membangun desa hingga diundang oleh Presiden Soeharto ke istana negara di Jakarta.

Baca juga: Bloh Lam Apui, Tradisi Warisan Indatu Khas Samatiga Aceh Barat

Baca juga: Melihat Kegigihan Darmiati, Janda “Eksportir” Pisang Asal Laweung Pidie

Didirikan Perantau dari Pidie

Diriwayatkan, Desa Paya Lumpat didirikan pada tahun 1810 Masehi oleh "pengembara ulung" dari luar Aceh Barat. Sebagaimana daerah lain di Samatiga, tempat ini juga memiliki jejak sejarah yang fenomenal.

Menurut catatan dalam RPJM desa, penghuni Paya Lumpat berasal dari sejumlah rombongan keluarga dari Pidie. Kebetulan pada saat itu pimpinan dalam perjalanan dipercayakan kepada Tgk. Keumala Yasin yang diduga berasal dari Keumala.

Kala itu, perjalanan dari Pidie ke Paya Lumpat bukanlah merupakan perkara mudah. Diperlukan semangat juang dari rombongan musafir.

A.Munir Yusuf, tokoh Paya Lumpat, mampu menceritakan secara detil asal-usul penduduk Paya Lumpat.

“Penduduk Paya Lumpat berasal dari Pidie. Saya memiliki sangat banyak saudara di Pidie,” ujar Munir Yusuf yang pensiunan dosen STAIN Meulaboh.

“Dulu, petualang dari Pidie terpaksa berjalan sambil melompat-lompat karena banyaknya paya (rawa-rawa) saat dalam perjalanan. Itulah sebabnya gampong ini dinamakan Paya Lumpat,” papar Munir Yusuf dalam bincang-bincang di masjid setempat.

Jelas, mereka harus melintasi rawa-rawa, perbukitan hingga hutan yang dihuni binatang liar. Bermodal jalan setapak, jarak tempuh pun menghabiskan waktu berhari-hari hingga sampai ke tempat tujuan yang kala itu masih kosong.

Para musafir asal Pidie ini sepakat berdiam di satu titik yang kemudian terkenal dengan nama Paya Lumpat.

Barangkali karena faktor kesuburan tanah dan ketersediaan air yang bersih maka mereka memutuskan untuk memilih bermukim di Paya Lumpat sebagai pemukiman baru.

Namun, atas alasan apa mereka hijrah dari Pidie ke Aceh Barat, masih misteri. Agaknya dibutuhkan penelitian sejarah untuk menjawab soal ini.

Baca juga: Dari Jualan Buah di Takengon, Nuraini Antarkan 10 Anaknya Raih Kesuksesan

Baca juga: Berkat Kerja Sambil Kuliah, Kini Suryadi Jadi Toke di Banda Aceh

Peduli Pendidikan

Para petualang dari Pidie itu menjadikan Paya Lumpat sebagai kawasan pemukiman baru. Mereka bercocok tanam dan mengembangkan pendidikan di tempat baru ini.

Sebagaimana disebutkan dalam dokumen RPJM gampong, setelah komunitas muhajirin ini berkembang, mereka mulai memikirkan pendidikan untuk mencerdaskan generasi baru. Mereka memutuskan untuk mendatangkan tenaga pendidik, terutama pendidikan agama, dari Pidie.

Di antara guru generasi awal yang didatangkan itu tercatat nama Tgk. Bale Bambi Cempala. Selanjutnya pada tahun 1855, datang pula seorang ulama dari Tapaktuan, bernama H. Lamkruet. Beliau memprakarsai pendirian lembaga pendidikan Islam terkenal yaitu Pesantren H Lamkruet. Anak-anak dari luar Aceh Barat berdatangan untuk belajar ke tempat ini.

Selanjutnya, pada tahun 1928 terdapat sekitar 30 pemuda Paya Lumpat menuntut ilmu di Pesantren Tgk. Daud Bereu-eh di Blang Paseh, Pidie. Sebagian lagi belajar ilmu agama pada Pasantren di Kembang Tanjong Pidie.

Alumni dari Pidie ini saat pulang ke Paya Lumpat tidak henti-hentinya mengajak masyarakat untuk mendirikan sekolah agama di desanya.

Akhirnya warga mendirikan Diniyah Jamtul Ummahat dan juga membentuk organisasi Kepanduan Islam (KI). Pendidikan Diniyah ini berlangsung sampai tahun 1972.

Selanjutnya Tgk Hasan Hanafiah menginisiasi pendirian sebuah Pesantren Modern Terpadu di Kompleks Masjid Al-Ikhlas Paya Lumpat. Pesantren ini masih berjalan hingga saat ini dengan menganut kurikulum pesantren modern.

Baca juga: Potensi Wisata Melimpah, Aceh Butuh Sentuhan Pengusaha Visioner

Penduduk Gigeh

Sekilas terlihat penduduk Paya Lumpat tergolong rajin dan gigeh (gigih). Mereka sibuk dalam aktivitas masing-masing, di sawah, kebun atau berjualan.

Walau terletak agak di pedalaman, seorang perempuan setempat melihat adanya peluang membuka warung kopi dan mie.

Warung Mie Cek Bi termasuk terkenal di Paya Lumpat. Cita rasa makanan dan minumannya tak kalah dibanding hidangan mie dan kopi di café-cefe di kota.

“Saya berasal dari keturunan Pidie,” kata perempuan pedagang mie tersebut sambil tangannya mengaduk mie pesanan kami.

Bagi warga memiliki darah gigeh selalu ada celah dalam berusaha. Agaknya semangat gigih ini mereka wariskan dari nenek moyang dari Pidie. Orang Pidie dikenal gemar merantau dan berdagang.

Kelebihan khusus yang dimiliki warga Paya Lumpat adalah selain gigeh, mereka juga sangat peduli akan pendidikan.

Mereka rata-rata menyekolahkan anak-anak hingga ke jenjang Perguruan Tinggi. Mereka percaya, pendidikan adalah pemutus mata rantai kemiskinan dan kebodohan.

Bagi desa-desa di Aceh yang masih terdapat warga pesimis dan tidak gigeh, layak dilakukan kunjungan observasi ke Gampong Paya Lumpat Kecamatan Samatiga.

Selanjutnya, bagi Pemda Pidie layak mendirikan monumen persahabatan dua kabupaten di Gampong Paya Lumpat sehingga mereka tidak dianggap sebagai warga Pidie yang “tersesat” ke Aceh Barat. Semoga! *

 

PENULIS Suandi dan Hasan Basri M. Nur adalah alumni Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, email:
hasanbasrimnur@gmail.com dan wandidian01@gmail.com

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved