Opini
Lindungi Martabat Ekologi Aceh
Pantai yang dipilih adalah Ujong Blang, Lhokseumawe, salah satu destinasi wisata pantai paling diminati pengunjung, dari Lhokseumawe, Aceh Utara

Melukai lingkungan Kiranya model pengembangan wilayah kota-kota di Aceh sedang tren dengan melukai lingkungan.
Kasus penebangan pohon kota sedang masif terjadi di setiap sudut Nanggroe.
Beberapa pohon ikonik pelan-pelan menghilang dari pandangan.
Proyek pelebaran jalan dan pembangunan infrastruktur dengan mudah menebas pohon- pohon pelindung kota seperti angsana (Pterocarpus indicus), mahoni (Swietenia mahagoni), beringin (Ficus benjamina), dan asam jawa (Tamarindus indica).
Termasuk pohon “salah lokasi”, proyek masa SBY, yaitu trembesi (Samanea saman).
Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe termasuk menghabisi semua pohon trembesi yang mereka tanam belasan tahun lalu.
Lhokseumawe termasuk kota yang banyak kehilangan pohon kota.
Demikian pula beberapa “kota kecil” yang diklasifikan sebagai wilayah urban atau kota satelit seperti Trienggadeng, Beureunuen, Geurugok, Jantho, Montasik, dan Lampeunerut semakin gersang dan mengancam kesehatan warga karena kurangnya biosfer penyuplai oksigen.
Padahal menurut UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan syarat perencanaan ruang dan wilayah kota sehat harus menyediakan 30 persen ruang terbuka hijau (RTH), dan 20 persennya merupakan RTH publik.
Artinya jangkar tanggung jawab ada pada pemerintah kota/Muspika.
Jika tidak, mereka dianggap sebagai pelanggar lingkungan.
Sebanding dengan penataan RTH kota, perencanaan pengelolaan wilayah hutan di beberapa daerah di Aceh terlihat amburadul.
Tren balkanisasi lingkungan di Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Aceh Besar, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues semakin membuhul.
Menurut Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan (HAkA) Aceh, dalam kurun Juni 2020-Juli 2021 saja, Aceh telah kehilangan 19.443 hektar tutupan hutan dan 251 ribu hektar berada dalam keadaan rusak atau kritis.
Padahal kemampuan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Aceh merehabilitasi hanya 1.000 hektar per tahun.