Opini

Lindungi Martabat Ekologi Aceh

Pantai yang dipilih adalah Ujong Blang, Lhokseumawe, salah satu destinasi wisata pantai paling diminati pengunjung, dari Lhokseumawe, Aceh Utara

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Lindungi Martabat Ekologi Aceh
IST
TEUKU KEMAL FASYA,  Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh. Tahun lalu melakukan riset tentang krisis lingkungan dan dampak sawitisasi di Aceh

Secara matematis, perlu 250 tahun untuk memperbaiki kerusakan.

Tak heran, ketika banjir musiman datang, penyangga DAS-nya telah kandas sejak hulu.

Industri jahat Hal lain yang membuat lingkungan di Aceh semakin kritis adalah tata kelola lingkungan dan perhutanan yang tidak dilakukan secara bermartabat.

Etika dan legalproseduralnya hilang entah ke mana.

Beberapa izin pengelolaan lahan seperti izin Hak Guna Usaha (HGU), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Area Penggunaan Lain (APL) termasuk di dalamnya perkebunan sawit dijalankan dengan menubruk prinsip dan proseduralisme yang dipersyaratkan model perencanaan perkebunan berkelanjutan.

Salah satunya adalah perusahaan sawit di Aceh Utara, satu pun belum memiliki sertifikat ISPO/ Indonesia Sustainable Palm Oil (Serambinews.com, 2 Juli 2019).

Padahal ISPO adalah regulasi “akal-akalan” ketika Indonesia sulit mengikuti standar pengembangan sawit global, yaitu Rountable on Sustainable Palm Oil/ RSPO.

Tanaman sawit sendiri menjadi anomali.

Tumbuhan impor dari Afrika itu digadang-gadang menjadi lumbung kesejahteraan sosial dan pemasukan devisa negara paling penting.

Kenyataannya tidak demikian.

Hasil riset antropolog Tania Muray Li dan Pujo Semedi, Plantation Life: Corporate Occupation in Indonesia's Oil Palm Zone (2021) menunjukkan ruang kontradiktif dan burik dari industri sawit.

Ketika perkebunan sawit masuk ke daerah ke Nusantara, sejak awal telah tumbuh kartel, baik yang dikuasai oleh negara maupun swasta.

Klaimklaim kesejahteraan yang dikampanyekan tidak empirikal terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar.

Alih-alih sejahtera, yang terjadi malah “pendudukan korporasi” (corporate uccupation), mereplikasi gaya kolonial Belanda ketika membawa empat biji sawit (Elaeis guineensis) itu ke Kebun Raya Bogor pada 1848 itu.

Tanaman ini menjadi Giganotosaurus yang memorak- porandakan hutan Indonesia 130 tahun kemudian bak Isla Nublar.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved