Opini

Hardikda Momentum untuk Bangkit

Anggaran pendidikan yang mencapai Rp 3,5 triliun pada 2021 hasilnya tidak sebanding dengan capaian prestasi sekolah-sekolah Aceh

Editor: bakri
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
SYARBAINI OESMAN, Pemerhati pendidikan berdomisili di Banda Aceh 

OLEH SYARBAINI OESMAN, Pemerhati pendidikan berdomisili di Banda Aceh

MEROSOTNYA mutu pendidikan Aceh selama satu dekade terakhir -- rilis LTMPT salah satu indikatornya -- bukan hanya pukulan bagi Dinas Pendidikan semata.

Ini juga risiko yang akan ditanggung oleh peradaban Aceh ke depan.

Masyarakat akan merima imbasnya.

Karena itu, tidak perlu berlama-lama “menangisi” kesedihan itu.

Bahwa, SMAN Modal Bangsa yang selama ini kita banggakan kini kualitasnya menyedihkan, itu fakta.

Kemudian, anggaran pendidikan yang mencapai Rp 3,5 triliun pada 2021 hasilnya tidak sebanding dengan capaian prestasi sekolah-sekolah Aceh yang hanya 4 saja masuk daftar TOP 1000 versi LTMPT, itu benar juga.

Potret pendidikan Aceh yang buram ini biarlah menjadi catatan sejarah untuk kemudian kita bertekad bangkit bersama dari keterpurukan ini.

Mari kita memperbaiki apa-apa yang bisa diperbaiki.

Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata.

Ada peran dan tanggung jawab orang tua dan masyarakat yang tidak kalah penting di dalamnya.

Baca juga: Terkait Mutu Pendidikan Aceh, Pergunu Minta tak Menyalahkan Guru dari Perguruan Tinggi Akreditasi C

Baca juga: Perbaiki Mutu Pendidikan Aceh, Mantan Rektor USK: Jangan Terima Calon Guru Lulusan PT Akreditasi C

Karena itu, kerja kolaborasi antara berbagai elemen akan memudahkan pencapaian untuk membangkitkan kembali pendidikan, demi peradaban Aceh yang mulia.

Tapi, sebelum sampai ke sana, ada beberapa catatan kritis yang perlu kita sumbangkan untuk kemaslahatan pendidikan Aceh.

Khususnya untuk jajaran birokrasi.

Ada sejumlah titik krusial dalam manajemen pendidikan yang harus menjadi perhatian serius yang ke semuanya bermuara pada daya serap kurikulum.

Persoalan ini telah lama diabaikan atau bahkan tak tersentuh sama sekali.

Birokrasi pendidikan di berbagai level unit kerjanya tidak memiliki instrumen yang kredibel untuk mengukur daya serap.

Kalau hari ini kita bertanya, sampai dimana daya serapan kurikulum Aceh? Saya yakin tidak ada jawaban yang benar-benar akurat dan memuaskan.

Padahal daya serap menjadi urat nadi pendidikan.

Tidak perlu menghabiskan waktu berdebat soal rankingrankingan jika Aceh memiliki pola dalam mengukur daya serap kurikulum.

Makanya, Disdik jangan hanya fokus memikirkan daya serap anggaran saja.

Karena core tugas sebenarnya adalah daya serap kurikulum.

Baca juga: Melesat, Meleset (Konklusi Diskusi Pendidikan Aceh)

Jangan fokus proyek! Disdik perlu menyusun sebuah mekanisme bagaimana mengukur daya serap secara fair.

Instrumen itu harus mengikat semua stakeholder pembelajaran, mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, kepala cabang, hingga kepala dinas.

Instrumen ini akan menjadi tool bagi semua pemangku kepentingan, apakah guru, pengawas sekolah, bahkan kepala dinas.

Kita harus jujur, sampai hari ini persoalan pembelajaran di kelas belum terbenahi dengan baik.

Selain kurang concern-nya pejabat birokrasi yang terlanjur dimanjakan oleh proyek, SDM pendidik sendiri juga berselemak masalah.

Gaung “Merdeka Belajar” yang begitu hingar-bingar tidak berpengaruh apa-apa bagi sebagian pendidik dan sekolah.

Sampai hari ini isuisu sekitar copy paste bahan persiapan mengajar masih acap kita dengar.

Instrumen daya serap adalah jawaban dari semua persoalan tersebut.

Dengan alat yang dirancang sederhana, fair dan mudah, akan memandu semua level kebijakan melaksanakan tugas dengan baik.

Tidak ada yang merasa dicurangi dengan tool yang disepakati bersama.

Muaranya tentu akan memberi output yang bisa diterima semua kalangan.

Hari ini, kalau kita bertanya, sejauh mana penguasaan materi pelajaran Matematika SMA X, saya yakin tidak ada data yang memuaskan semua pihak.

Baca juga: 15 Tahun Pendidikan Aceh Terpuruk

Demikian pula data akumulasi untuk kabupaten dan seterusnya.

Yang acap terjadi adalah justifikasi sepihak dari pelaku pendidikan.

Ketika data jumlah frekuensi pertemuan seorang guru di kelas saja belum dimiliki, bagaimana lagi mau menuntut sesuatu yang lebih spesifik, misalnya seberapa banyak guru yang telah menerapkan metode inquiry dalam mengajar? Itu catatan pertama.

Persoalan kedua yang penting dibenahi adalah kualitas supervisi oleh pengawas dan kepala sekolah.

Harus diingat, pengawas sekolah memiliki fungsi sangat strategis jika benar-benar dioptimalkan perannya.

Bukan hanya lips service pejabat.

Pemerintah telah merancang pola rekrutmen pengawas sekolah secara lebih profesional dan modern.

“Rambu-rambu” itu dimaksudkan untuk menutup celah bagi oknum untuk menjadikan jabatan pengawas sekolah sebagai obyek memperpanjang usia pensiun bagi seorang guru atau pejabat struktural.

Untuk jadi pengawas sekolah harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat.

Dengan demikian, yang terjaring menjadi pengawas adalah mereka yang telah memiliki jam terbang yang cukup.

Misalnya, pernah punya masa kerja dalam jumlah tertentu, pernah jadi kepala sekolah, dan sebagainya.

Demikian pula rekrutmen kepala sekolah, sudah ada aturan bakunya.

Lebih-lebih sekarang ketika Pemerintah memberlakukan program Sekolah Penggerak, seharusnya tidak boleh ada lagi penggantian kepala sekolah yang dilakukan secara ugal-ugalan.

Pemerintah sudah sungguh- sungguh berupaya membenahi pendidikan.

Hanya saja masih ada oknum di lapangan yang bekerja dengan mental preman, menjadikan pendidikan sebagai lahan untuk mengambil keuntungan pribadi.

Misalnya mutasi jabatan kepala sekolah yang sarat kepentingan dan permainan.

Budaya kerja juga penting jadi catatan.

Birokrasi pendidikan selama ini disinyalir terjebak pada budaya kerja yang lebih bersifat prosedural dan rutinitas belaka.

Pelaksanaan pelatihan, misalnya.

Dari tahun ke tahun berlangsung begitu- begitu saja.

Hanya sekadar mengejar realisasi anggaran.

Akhirnya tidak salah jika ada anggapan yang menuding bahwa kegiatan tersebut tidak lebih sekadar mengejar fee hotel dan honor panitia.

Pelatihan harus dirancang berdasarkan need assesment.

Apa yang perlu dilatih dan siapa yang perlu dilatih? Jangan terkesan menghambur uang.

Tidak terlihat hasil yang signifikan dari apa saja yang sudah dilatih.

Mutu guru dan tenaga pendidik begitubegitu saja! Catatan ketiga terkait dengan kinerja kepala sekolah.

Elemen ini sangat berpengaruh besar terhadap mutu sebuah satuan pendidikan.

Jangan membebani mereka dengan tugas-tugas yang kurang substantif seperti gotong- royong atau menciptakan pressure lewat program BEREH yang sebenarnya sudah cukup terwadahi lewat program 10 K.

Terlepas dari plus-minus SDM kepsek kita, Disdik harus punya program yang jelas bagaimana memperkuat mereka.

Makanya dibutuhkan SDM yang hebat pula di level manajemen Disdik.

Mereka yang punya visi bagaimana membangun kualitas sekolah.

Orang-orang yang punya ide.

Maaf, bukan “avonturir” yang mengejar keuntungan finansial secara kurang terhormat.

Catatan berikutnya, kepemimpinan Disdik harus konsisten pada mutu dan tidak mudah latah.

Merujuk saja pada Renstra dan RPJM yang sudah disusun dengan susah payah oleh tim yang pastinya mereka itu hebat-hebat.

Aspek yang tidak kalah penting dan mendasar berikutnya adalah partisipasi publik, dalam hal ini orang tua dan masyarakat.

Ini aspek di luar ranah birokrasi.

Meski di luar kewenangan Disdik, tidak ada salahnya dicoba membangun komunikasi dengan masyarakat lewat jalur- jalur formal dan informal guna menyusun sebuah mekanisme peran serta masyarakat dalam mengawasi peserta didik.

Bagaimana meningkatkan peran sosial kontrol publik terhadap aksi bolos sekolah, tawuran, perundungan, game online, dan berbagai potensi merusak lainnya.

Ini yang perlu dimaksimalkan, sehingga upaya kolektif meningkatkan kualitas pendidikan bisa terwujud.

Selamat Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) Aceh ke-63.

Semoga! (ben.nirbaya@gmail.com)

Baca juga: Menyoal Rendahnya Mutu Pendidikan Aceh

Baca juga: Pendidikan Aceh: Bangkit Atau Terhimpit?

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved