Kisah Abudzar Ghifari, Resign dari Perusahaan Besar Karena Takut Riba, Kini Jadi Pedagang Mie Aceh
Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia.
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Amirullah
Untuk usaha ayam Sabana, Abudzar membuka outlet, lebih tepatnya disebut gerobak, pertamanya di Pasar Pedok Tebet, seberang Pancoran.
Beberapa bulan kemudian, dia membeli gerobak kedua dengan wilayah penempatan di kawasan Cipinang.
Taksi online dan kedua outlet ayam Sabana ini dia percayakan pengelolaannya kepada orang lain.
Pada saat resign dari perusahaan, kata Abudzar, pendapatannya dari hasil sewa mobil dan dagang ayam goreng, masih jauh dibandingan dengan gajinya sebagai karyawan.
“Bagaimana rasanya menjadi pedagang?,” tanya Asrizal.
“Bedanya sih, saat menjadi pedagang seperti sekarang, tidak punya utang dan hidup lebih tenang. Itu aja sih,” kata Abudzar.
“Emang waktu menjadi karyawan punya utang?” tanya Asrizal lagi.
“Banyak juga, karena kita menunggu dan berharap pada gaji di akhir bulan. Tapi Alhamdulillah, sekarang sudah tidak ada utang, tidak ada beban pekerjaan, karena waktu kita atur sendiri,” ujar Abudzar.
Minta Izin Ibu dan Berdiskusi dengan Istri
Saat keinginan resign dari perusahaan semakin kuat, Abudzar membicarakan ini dengan ibundanya dan istrinya.
Bagaimana tanggapan istri?
“Awalnya sih berat juga. Tapi saya memberi syarat, terserah mau kerja apa saja, yang penting jangan ada utang,” timpal Nuri, istri Abudzar yang sedari tadi menyimak pekerjaan kami.
Nuri yang duduk bersama dua anak mereka, Syakil dan Syanum, mengatakan, pada bulan-bulan pertama Abudzar keluar dari perusahaan, kehidupan mereka terasa berat, karena tidak lagi punya uang bulanan.
Nuri harus bisa mengatur uang hasil jualan secara cermat.
“Tapi itulah namanya perjuangan,” timpal Abudzar.
Selain masalah keuangan, hal terberat yang dirasakan Abudzar setelah resign adalah omongan orang.
Karena ketika dia resign, banyak perusahaan swasta memberhentikan karyawan, karena perekonomian sedang goyah akibat wabah Covid-19.
“Banyak yang menyangka saya dipecat atau dirumahkan karena pengurangan karyawan. Awalnya, ibu juga berpikir seperti itu. Tapi setelah saya beri pengertian, Alhamdulillah beliau mengerti dan mendukung keputusan saya,” ungkap Abudzar.
Dari pembicaraan kami, pekerjaan Abudzar di perusahaan itu tergolong sangat ringan.
Tugasnya setiap hari menyetor uang perusahaan ke bank, membuat penawaran dan kontrak kerja, serta mengurus kredit untuk klien perusahaan.
Dengan bidang kerjanya, Abudzar tidak setiap hari harus stanby di kantor.
Ia hanya pergi ke kantor untuk mengambil atau menyerahkan dokumen kontrak atau uang, lalu pergi ke bank untuk menyetor uang serta berbagai dokumen lainnya.
Namun, ternyata kemudahan pekerjaan itu tidak berjalan sebanding dengan beban rohani yang harus dijalaninya.
Uang besar yang dia bawa pulang ke kantor, memang membuat banyak orang senang dan mendatangkan pujian.
Tapi, jiwa Abudzar tidak pernah tenang, bayangan dosa riba terus menghantui hari-hari dan malam-malam yang dilaluinya.
“Sebab jumlah bunga bank yang saya negosiasikan itu menimal angkanya Rp 500 juta. Itu bunga yang sangat besar dan seluruhnya saya setor ke kantor,” katanya.
“Apalagi saya sebagai orang yang langsung menegosiasikan bunga itu. Nah, sepemahaman saya, dengar-dengar dalam pengajian, saya bisa disebut sebagai pelaku utama dari riba, karena bisa dikatakan saya sendirian dalam proses negosiasi bunga bank ini,” kata dia.
“Bahkan, orang di kantor yang menerima uang bunga bank itu menjadi pelaku kedua, ketiga, atau keempat. Pelaku utamanya saya, meski saya tidak ikut menikmati uang itu,” lanjutnya.
Nuri, istri Abudzar juga merasa risau dengan keadaan suaminya saat itu.
“Saya kasihan melihat Bang Abu, karena jiwanya seperti selalu gelisah. Bahkan, kerap mengigau dalam tidurnya. Dalam igauannya dia sering menyebut kata-kata riba, terkadang juga menangis,” ujar Nuri.
“Akhirnya saya merelakan, ya sudah. Kita putuskan mengambil jalan ini. Syarat saya jangan sampai ada utang.
Alhamdulillah, ternyata Allah membuka jalan. Usaha kecil-kecilan ini mulai berkembang, dan terasa lebih berkah,” ungkap Nuri.
Setelah mendapat restu dari ibundanya (kini sudah almarhumah), dan kerelaan dari sang istri, tepat pada tanggal 31 Desember 2020, Abudzar mengantarkan surat pengunduran dirinya ke perusahaan tempatnya bekerja.
Dia resign setelah menyelesaikan tugas terakhirnya atau setelah tutup buku pada akhir tahun.
Buka Usaha Mie Aceh
Dua tahun setelah keluar dari perusahaan, berbekal tabungannya dari hasil sewa mobil dan jualan ayam goreng Sabana, Abudzar mulai mengepakkan sayap bisnisnya.
Dua bulan lalu, Abudzar membuka usaha mie aceh dengan nama “Mie Aceh Ghifari’s Family” yang beralamat di Jalan Tegal Parang Selatan 1 Nomor 24, Mampang Jakarta Selatan.
Abudzar mengatakan, keputusannya membuka usaha mie aceh ini sebagai bagian dari pengabdiannya kepada almarhumah ibundanya.
“Dulu ibu meminta saya kalau bisa membuka bisnis yang ada hubungannya dengan Aceh. Memang tidak mesti mie aceh, tapi yang ada hubungannya dengan Aceh,” ungkap Abudzar.
Sayangnya, keinginan almarhum ibunya ini baru bisa dia wujudkan setelah hampir dua tahun sang ibu kembali kepada Sang Pencipta.
“Beliau kembali kepada Allah pada awal tahun 2021 atau setelah dua bulan saya resign dari perusahaan. Saat itu saya belum punya cukup modal untuk membuka usaha mie aceh,” kata dia.
“Alhamdulillah sekarang saya bisa mewujudkan amanah beliau agar saya membuka usaha yang ada hubungannya dengan Aceh, yakni mie aceh, sesuai dengan kemampuan saya,” ujarnya.
“Mungkin beliau ingin agar saya dan anak-anak tidak pernah lupa dengan asal usul kami sebagai orang Aceh,” ujar Abudzar yang beristrikan perempuan Betawi.
Adapun menu di warung Mie Aceh Ghifari’s Family ini sama seperti menu standar di kebanyakan warung mie aceh di Jakarta.
Selain menu utama mie aceh dengan berbagai varian rasa, juga tersedia kari kambing pada hari tertentu, canai dengan berbagai varian rasa, martabak telor, dan aneka minuman.
Kini, Abudzar pun mulai menjalani hidup dengan lebih tenang, jauh dari bayang-bayang dosa karena riba.
Dalam surat Albaqarah ayat 275 Allah berfirman:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kesurupan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah di perolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Serta Albaqarah ayat 275:
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.(*)