Jurnalisme Warga
Putroe Neng dan Kontroversial Hidupnya di Teluk Samawi
DATANG dari Jakarta akhir Agustus lalu, empat hari saya jejakkan kaki di kota “petrodollar” Lhokseumawe

Tempat makamnya memang persis di pinggir Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum).
Setelah tiba di sebuah kedai kopi di samping makam kami menanyakan keberadaan penjaga makam.
Kami diberi nomor telepon dan langsung menghubunginya.
Beliau adalah Pak Sulaiman (60).
Bu Syamsiah menceritakan maksud kedatangan kami sekaligus memperkenalkan saya sebagai alumnus dari program studi pendidikan sejarah.
Baca juga: Ini Rahasia Suami Ke-100 Putroe Neng yang Berhasil Selamat saat Malam Pertama (2)
Setelah saya memyampaikan maksud ingin bertanya banyak mengenai sosok Putroe Neng, Pak Sulaiman menyampaikan bahwa yang lebih tahu banyak mengenai sosok Putroe Neng adalah ibunya.
Beliau menelepon ibunya dan memintanya datang ke makam, kebetulan rumah beliau masih di sekitar lokasi makam.
Nenek Kamariah (83), ibunda dari Pak Sulaiman datang menemui kami.
Setelah Pak Sulaiman menyampaikan maksud kedatangan dan memperkenalkan kami, Nek Kamariah dengan senang hati berbagi cerita mengenai Putroe Neng.
Berdasarkan penuturan Nek Kamariah, Putroe Neng ini memang orang Cina Siam (Thailand).
Maksud kedatangannya untuk menaklukkan Kerajaan Peureulak, tetapi kalah dan akhirnya Putroe Neng menetap di Teluk Samawi ini.
Awalnya Putroe Neng bukan beragama Islam, kemudian setelah menikah untuk pertama kalinya dengan Meurah Johan barulah ia memeluk Islam.
Malapetaka pun terjadi, esok harinya suami Putroe Neng ditemukan meninggal.
Kemudian Putroe Neng menikah kembali, tetapi malapetaka tersebut terulang hingga pernikahan Putroe Neng yang ke-100.
Pada pernikahan yang ke-100 ini, ia dipersunting oleh murid ulama Syekh Hudam.