Jurnalisme Warga
Putroe Neng dan Kontroversial Hidupnya di Teluk Samawi
DATANG dari Jakarta akhir Agustus lalu, empat hari saya jejakkan kaki di kota “petrodollar” Lhokseumawe

Setelah menemui sang penulis novel, kemudian ia diminta kembali ke makam dan menemui penjaga makam tersebut.
Setelah bertemu dan menceritakan hal yang dialami, ketika kembali menuliskan laporan analisis novel tersebut siklus menstruasinya kembali normal.
Peristiwa kedua dialami salah satu wartawan dari Makassar.
Ia datang ke Aceh dalam kunjungan kerja dan tanpa sengaja mengunjungi makam Putroe Neng.
Setibanya di makam, tidak ada penjaga di sekitar makam.
Tanpa pikir panjang ia mengambil foto di sana dan langsung membuat laporan liputannya.
Alhasil, ia selalu dihantui sosok putih dalam mimpinya secara terus-menerus.
Baca juga: Kisah Kamariah Penjaga Makam Putroe Neng yang Tujuh Tahun tak Bergaji (3-Habis)
Ketika ia mendapat kesempatan untuk kembali ke Aceh, ia menyempatkan diri kembali ke makam tersebut dan berusaha bertemu dengan penjaga makam.
Setelah menceritakan kejadian yang dialami, ia diminta shalat dua rakaat, bersedekah, dan berdoa di makam tersebut.
Akhirnya ketika ia kembali ke Makassar, ia tidak lagi dihantui sosok putih tersebut.
Cerita tersebut yang membuat saya akhirnya berpikir ulang untuk mengulas mengenai Putroe Neng.
Di tengah kekhawatiran, saya sampaikan ke Ibu Syamsiah, “Oma, besok jika jadi ke Makam Putroe Neng, kita tanyatanya dulu siapa penjaga makamnya ya? Kita minta izin dulu padanya.
Jika tidak ketemu juga tidak masalah, kita beralih ke tempat lain saja.
” Bu Syamsiah menyetujui hal yang saya sampaikan.
Esok harinya saya bersama Bu Syamsiah berangkat menuju makam Putroe Neng yang berlokasi di Blang Pulo, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe.