Kupi Beungoh
Pungoe Bui dan Bui Pungoe
Sebenarnya istilah “Pungoe Bui” ini adalah sebuah istilah yang tidak bisa dijelaskan karena berkonotasi keputusasaan.
Sikap super pesimistis yang terjadi dewasa ini, kemungkinan erat kaitannya dengan perkataan indatu dahulu “Ureung Aceh, meunyeu hana beungeih, aneuk kreih jeut ta raba, tapi meunyeu ka teupeih, bue leubeih han geu peutaba”.
Kata-kata ini kelihatannya sangat sederhana, namun mengandung arti yang sangat menukik dimana orang Aceh sebenarnya sangat anti kritik. Kalau sudah di kritik maka akan dianggap musuh bebuyutan.
Ketika sudah tidak suka terhadap seseorang apapun yang dilakukan oleh orang tersebut tidak akan disukai dan semuanya akan dilabel tidak benar, pokoknya salah walaupun kesalahan tersebut tidak bisa dirasionalisasikan.
Sikap seperti ini sebenarnya sebuah karakter yang dimiliki oleh sebuah komunitas primitif.
Baca juga: Santri Pesantren Gontor Tewas Diduga Dianiaya, Viral Setelah Ibu Korban Mengadu ke Hotman Paris
Bagi komunitas primitif tidak perlu benar atau salah, kalau tidak sesuai dengan pikiran dan kebiasaan nenek moyangnya mereka tetap di protes dan semuanya salah. Cara protesnya pun tidak memiliki metode khusus yang penting seruduk saja persis seperti “Bui Pungoe”.
istilah “Bue Leubeih han Geu Peutaba” ini sangat kentara dalam sosial masyarakat Aceh dan bisa diamati dalam masyarakat kelas mana saja.
Dalam istilah lain “Dam” menandai seseorang karena sudah tidak menyenangi atau benci terhadap orang tersebut.
Mendengar namanya saja tensi darah bisa naik 270, apalagi kalau mendengar hasil kerjanya di apresiasi orang.
Tetapi orang Aceh sangat menyukai meulisan dan tidak sadar kalau dirinya “Ka di peu eik ucoeng Putek”.
Apalagi kalau meulisan sangat ‘leukit’ dan semakin leukit meulisan maka akan semakin mudah orang Aceh untuk diperdaya.
Konon menurut legenda kelemahan terbesar orang Aceh itu ada tiga; uang, jabatan, dan meulisan.
Kalau Anda tahu cara “plei meulisan” pada tubuh orang Aceh, semua rahasia akan anda dapatkan secara Cuma-cuma.
Tidak hanya rahasia positif yang negatif pun akan diceritakan. Tujuan dari menceritakannya adalah semata-mata untuk mempertegas “Mbong”, karena “Mbong” bagi orang Aceh sangat penting dan dijaga dengan baik.
Pernah seorang teman berkata pada saya sambil ngopi, “bagi orang Aceh “Mbong” itu sangat sakral, kalau istri tertinggal di warung kopi dia akan minta istrinya kembali dengan Ojek atau becak, tetapi kalau “Mbong” yang tinggal dia akan segera kembali ke Warung kopi untuk mengambilnya, sebelum diambil orang”.
Kelemahan lain yang selama ini belum mampu dihilangkan adalah orang Aceh itu memiliki karakter “Ulee Keih” (Kepala korek, khususnya korek lama yang terbuat dari kayu dan memiliki pemetik api di ujung).