Opini

Memartabatkan Bahasa “Endatu”

Bahasa Aceh masuk ke dalam rumpun Bahasa Austronesia, dan dalam sub-kelompok Malayo Polenesia dan Malayo-Sumbawa

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Memartabatkan Bahasa “Endatu”
FOR SERAMBINEWS.COM
ISKANDAR SYAHPUTERA, Peneliti Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional

OLEH ISKANDAR SYAHPUTERA, Peneliti Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional

BAHASA “Endatu” orang Aceh yaitu Bahasa Aceh.

“Endatu” dalam Bahasa Aceh berarti “nenek moyang”.

Sehingga dapat dipahami bahwa bahasa nenek moyang orang Aceh salah satunya adalah Bahasa Aceh.

Dilihat dari sejarah linguistiknya atau (historical linguistics) yaitu ilmu yang mempelajari sejarah sebuah Bahasa, dapat diketahui bahwa bahasa Aceh masuk ke dalam rumpun Bahasa Austronesia, dan dalam sub-kelompok Malayo Polenesia dan Malayo-Sumbawa.

Bahasa Aceh dalam sejarah linguistiknya juga dikenal dalam Bahasa Cham atau Champa atau bahasa Chamic yang umumnya digunakan di daerah Kamboja, Thailand, Laos, Vietnam, Hainan, dan Cina (lihat SIDWELL 2006).

Fakta linguistik

Tentu saja klaim para pakar bahasa atau linguistik tersebut secara sederhana dapat dilihat dari persamaan bentuk-bentuk kata yang dapat dilihat dari etimologinya.

Etimologi sendiri adalah studi tentang asal-usul kata, perubahan bentuk kata, dan perubahan makna.

Dalam konteks melihat hubungan antara bahasa Champa dan bahasa Aceh maka dengan mudah dapat dilihat persamaan kata dalam hitungan bahasa Champa atau Chamic seperti pelafalan bunyi pada hitungan angka 1-10 dalam bahasa Chamic dan bahasa Aceh: Bahasa Chamic melafalkan angka 1 dengan bunyi (sA, sebaliknya bahasa Aceh melafalkan angka 1 juga dengan bunyi (sA).

Baca juga: Puspeka-Disdikbud Abes Kembangkan Konten Info Grafis & Buku Saku Prevalensi Narkoba ke Bahasa Aceh

Kemudian dengan bunyi angka 2, dalam bahasa Chamic dilafalkan dengan bunyi (dua) begitu juga bunyi angka 2 dalam Bahasa Aceh memiliki bunyi yang sama yaitu (duA).

Namun ada sedikit perbedaan ketika dalam bahasa Chamic melafalkan bunyi angka 3 dengan bunyi (klAu), dan dalam Bahasa Aceh dibunyikan dengan (le).

Selanjutnya dalam Bahasa Chamic, angka 4 dilafalkan dengan bunyi (pak), sementara dalam bahasa Aceh angka 4 dilafalkan dengan bunyi (peut).

Lalu dalam Bahasa Chamic angka 5 dibunyikan dengan bunyi (limA), sementara dalam Bahasa Aceh dibunyikan dengan bunyi (limong).

Begitu juga ketika angka 6 dilafalkan dengan bunyi (nAm) dalam Bahasa Chamic, Bahasa Aceh juga melafalkannya dengan bunyi yang sama yaitu (nAm).

Begitu juga dengan pelafalan bunyi angka 7, dalam Bahasa Chamic dibunyikan dengan bunyi (tijuh), sementara dalam Bahasa Aceh dilafalkan dengan bunyi (tujuh).

Selanjutnya dalam pelafalan angka 8, dalam Bahasa Chamic dibunyikan dengan bunyi (dalapAn), sementara dalam Bahasa Aceh dibunyikan dengan (lApAn).

Selanjutnya dengan angka 9 dalam Bahasa Chamic dilafalkan dengan bunyi (salApAn), sementara dalam Bahasa Aceh dilafalkan dengan bunyi (sikureung).

Kemudian yang terakhir yaitu pelafalan bunyi angka 10, dalam Bahasa Chamic dilafalkan dengan bunyi (sapluh), sementara dalam Bahasa Aceh dilafalkan dengan bunyi (sipluh) (lihat omniglot.com).

Dari data linguistik dalam pelafalan bunyi angka dalam Bahasa Chamic dan Bahasa Aceh di atas maka dapatlah dibuktikan secara empiris bahwa akar Bahasa dari Bahasa Aceh memang berasal dari Bahasa Champa atau keluarga Bahasa Chamic.

Fakta sejarah

Baca juga: Kumpulan Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H dalam Bahasa Aceh dan Indonesia, Cocok Dibagikan

Tercatat dalam sejarah bahwa jauh sebelum era masuk Islam ke Nusantara atau kejayaan Islam di Aceh, diketahui bahwa Aceh pernah dipimpin oleh sebuah kerajaan Hindu yang bernama “Lamuri” atau oleh peneliti asing juga dikenal dengan “Lamri”.

Kerajaan ini berkuasa sekitar awal abad ke 9 hingga akhir abad ke 13.

Kerajaan ini dikenal sebagai pusat perdagangan di zamannya atau juga merupakan jalur sutra (lihat Daly, P et.al 2019).

Berdirinya kerajaan Lamuri atau Lamri tidak terlepas dari penyebaran wilayah kerajaan Champa yang tercatat terletak di Vietnam yang berkuasa sekitar abad ke 6 dan abad ke 8.

Fakta arkeologis lainya yang mendukung sejarah perluasan kerajaan Champa ke kerajaan Lamuri Aceh yaitu dengan adanya peninggalan benteng Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purwa di Aceh.

Nama Indra Pura juga pernah dikenal di Vietnam sebagai ibu kota dari kerajaan Champa pada 875 AD sampai 982.(lihat Coedes, George 1968).

Jika dilihat dengan pendekatan Toponimi maka terdapat kesamaan penamaan ibu kota kerajaan Champa “Indra Pura” dengan penamaan benteng “Indra Puri” di Aceh.

Toponimi adalah bidang keilmuan dalam Linguistik yang membahas tentang asal-usul penamaan nama tempat, wilayah atau daerah tertentu.

Sekali lagi secara empirik historis dapatlah dilihat hubungan antara kerajaan Hindu Champa dan kerajaan Hindu “Lamuri” atau “Lamri” di Aceh pada era sebelum masuknya Islam ke Aceh atau Nusantara.

Fakta budaya

Baca juga: Pria Bule Cicipi Pliek U Hingga Sunti Agar Bisa Bahasa Aceh, Reaksinya tak Terduga Tapi Bikin Ngakak

Tidak dipungkiri bahwa pengaruh budaya Hindu dan India telah mempengaruhi kehidupan rakyat Aceh pada umumnya, baik dari segi kuliner, pilihan warna maupun adat dan tradisi.

Pada umumnya pilihan warna pada perayaan tradisi-tradisi di Aceh menggunakan warna kuning, merah, dan hitam yang hampir sama dengan warna favorit di India.

Jika dilihat dari jenis masakan atau kuliner di Aceh, pada umumnya menggunakan bumbu atau rempah yang juga umum digunakan masyarakat India seperti; lada/merica, cengkeh, ketumbar, jahe, kunyit, daun kari/daun temuru, kapulaga, dan bunga lawang/cengkeh.

Dalam hal tradisi rakyat Aceh juga memiliki beberapa kebiasaan atau tradisi yang masih dipengaruhi oleh budaya Hindu atau India seperti Kenduri/ Khanduri Laot, Khanduri Blang, Peusijuk dan beberapa ritual lainnya.

Sekali lagi hal-hal tersebut di atas menunjukkan adanya hubungan sejarah Hindu yang dibawa oleh kerajaan Champa pada kerajaan “Lamuri” atau “Lamri” sebelum masuknya era kejayaan atau kesultanan Islam di Aceh dan Nusantara.

Menurut catatan sejarah kerajaan Champa dipengaruhi oleh ajaran Hindu melalui India, sebelum kerajaan Champa ditaklukkan oleh Cina yang selanjutnya dipengaruhi oleh ajaran Budha hingga saat ini.

Fakta geografis

Aceh yang secara geografis terletak di ujung Sumatera merupakan jalur sutra perdagangan masa lalu, yang berada pada alur selat Malaka, dekat dengan Vietnam, Kamboja, Thailand, Laos, dan India.

Sehingga memungkinkan terjadinya ekpansi atau perluasan wilayah kerajaan Champa pada masa dahulu hingga ke kerajaan “Lamuri” atau “Lamri”.

Sekali lagi fakta geografis ini mendukung faktafakta empiris sebelumnya.

Memartabatkan bahasa daerah

Terlepas dari sejarah Bahasa Aceh di atas, ada hal yang sebenarnya menjadi penting untuk penulis sampaikan bahwa telah terjadi pergeseran sikap positif terhadap penggunaan Bahasa daerah di Aceh, khususnya Bahasa Aceh dan Bahasa-bahasa daerah lain terdapat di Aceh seperti Bahasa Gayo, Bahasa Kluet, Bahasa Haloban dan Devayan di Simeulue, Bahasa Aneuk Jame, Bahasa Alas dan Singkel.

Rendahnya sikap masyarakat terhadap penggunaan bahasa daerah atau Bahasa ibu mereka tentu saja membawa kekhawatiran bagi kita semua.

Mengingat Bahasa adalah identitas suatu bangsa.

Dalam bahasa terdapat nilai budaya dan dalam budaya terdapat bahasa.

Rendahnya sikap positif penggunaan bahasa daerah atau bahasa ibu pada umumnya telah menjangkiti generasi yang lahir pada era setelah tahun 2000 an atau istilah sekarang generasi milenial atau Gen Z yang merasa malu, enggan atau bahkan tidak lagi bisa bertutur atau menggunakan Bahasa daerah.

Ada anggapan di kalangan generasi muda bahwa menggunakan bahasa daerah kelihatan ketinggalan zaman atau merasa rendah dan terbelakang.

Pola pikir seperti ini harus cepat dihentikan dengan berbagai langkah dan upaya seperti; perlombaan-perlombaan seni dan sastra menggunakan bahasa daerah di kalangan generasi muda, penyuluhan-penyuluhan bahasa daerah bagi generasi muda, lomba menulis dalam bahasa daerah dan lain sebagainya.

Tentu saja dalam konteks ini peran pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam melestarikan bahasa daerah adalah sangat penting.

Memang ada beberapa instansi pemerintah yang telah dan sedang melakukan usaha-usaha pelestarian dan revitalisasi bahasa daerah seperti program-program yang dilaksanakan oleh Balai Bahasa Provinsi Aceh, para peneliti BRIN, dan para akademisi, namun usaha-usaha tersebut tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan dukungan semua pihak yaitu masyarakat dan pemerintah daerah untuk kembali memartabatkan bahasa daerah sebagai kenangan “endatu” atau kenangan sejarah nenek moyang kita.(iska008@brin.go.id)

Baca juga: ISBI Buka Prodi Bahasa Aceh, Prakarsa yang Perlu Didukung

Baca juga: Pemerintah Dukung ISBI Buka Tiga Prodi Baru, Salah Satunya Prodi Bahasa Aceh

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved