Jurnalisme Warga

Menulis Menjadi Keterampilan Dasar di Industri Kreatif

Kedua pelatihan ini diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Menulis Menjadi Keterampilan Dasar di Industri Kreatif
FOR SERAMBINEWS.COM
IHAN NURDIN,  Wakil Sekretaris Forum Aceh Menuslis (FAMe) dan Perempuan Peduli Leuser

OLEH IHAN NURDIN,  Wakil Sekretaris Forum Aceh Menuslis (FAMe) dan Perempuan Peduli Leuser

SEPANJANG tahun ini, ada dua pelatihan yang saya ikuti dan sangat membantu peningkatan keterampilan teknis saya di bidang penulisan kreatif.

Pertama, pelatihan master class pengembangan skenario film TV dan over the top (OTT) pada Maret 2022.

Kedua, pelatihan voice over (suara latar) yang berlangsung pada 11—13 September 2022.

Kedua pelatihan ini diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Pelatihan pertama memberi saya kesempatan belajar langsung dari Rahabi Mandra, Eric Gunawan, dan Gunawan Paggaru.

Nama-nama yang cukup populer dan dikenal di industri perfilman Indonesia.

Rahabi Mandra dikenal sebagai penulis skenario dan sutradara.

Film “Night Bus” yang diperankan artis asal Aceh, Teuku Rifnu Wikana, yang berlatar cerita daerah konflik berhasil mengantarkan Rahabi menjadi Penulis Skenario Adaptasi Terbaik pada Festival Film Indonesia 2017.

Sementara Eric dan Gunawan selain sebagai penulis skenario, mereka juga dikenal sebagai pengajar film.

Untuk pelatihan voice over (VO), Disbudpar menghadirkan tiga narasumber yang sudah malang-melintang di industri “suara”.

Baca juga: Natasha Rizky Hobi Menulis Sejak SMP

Baca juga: Terinspirasi Film AADC, Natasha Rizky Akui jadi Suka Puisi hingga Menulis Buku

Mereka adalah Tisa Julianti, Ian Saybani, dan Agus Hariyadi.

Bagi yang familier dengan telenovela seperti “Rosalinda” atau film-film besutan Disney seperti “Frozen” atau “Tangled” (Rapunzel), maupun “Barbie” dari Universal Studio, si Tisa inilah pengisi suara atau dubber- nya.

Tisa dan Ian merupakan kakak beradik yang mulai berkarier sebagai ‘voice talent’ sejak usia belia pada tahun ‘90-an.

Sedangkan Agus yang tak lain merupakan suami Tisa, lebih berperan sebagai voice director atau “pengarah” suara.

Dua pelatihan ini memiliki sasaran dan ‘output’ yang berbeda.

Yang satu berbasis teks atau tulisan, yang satunya lagi berbasis suara atau audio.

Namun, keduanya saling berkaitan dan saling melengkapi.

Mustahil industri film bisa tumbuh dan berkembang jika tidak ditopang oleh industri VO.

Di Indonesia sendiri, kata Tisa, industri VO telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, ketika drama-drama radio seperti “Saur Sepuh”, “Nini Pelet”, “Serigala Setan” atau “Tutur Tinular” masih menjadi siaran yang paling ditunggu para pendengar.

Tanpa adanya industri VO, tentunya drama-drama itu tidak akan bisa dinikmati di tengah terbatasnya dunia pertelevisian saat itu.

Baca juga: Ayo Daftar! Lomba Menulis Milenial Merdeka Bersama Nasir Djamil Berhadiah Rp10 Juta

Orang-orang di balik layar drama tersebut merupakan penggiat di Sanggar Prathivi yang telah ada sejak tahun ‘65.

Studio ini didirikan oleh Peter W Daniels atau Handoyo Sunyoto yang berdarah Belanda.

Prathivi tercatat sebagai studio pertama dan tertua di Indonesia.

Beberapa artis seperti Aminah Cendrakasih, Maria Oentoe, atau Neno Warisman lahir dari sanggar ini.

Di sanggar ini pula Tisa dan Ian ditempa hingga menjadi seorang VO ‘talent professional’ yang suaranya mengisi film, serial, kartun, atau iklaniklan di televisi.

Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, kedua industri ini juga semakin berkembang.

Kini kita mengenal tidak hanya ada siaran radio, tetapi juga ada siaran podcast yang berbasis aplikasi digital, ada kanal-kanal semacam YouTube, hingga media sosial yang menjadi medium bagi setiap orang untuk menjual atau sekadar tempat untuk “memamerkan” suaranya.

Di dunia film, seperti dijelaskan Eric, industrinya juga semakin berkembang dengan munculnya layanan OTT.

Kini orang tidak perlu membeli televisi untuk menonton film, mereka cukup dengan berlangganan Netflix, Hooq, Iflix, Viu, atau GoPlay.

Kabar baiknya, kata Eric, hadirnya produk-produk teknologi tersebut telah memicu tumbuhnya industri kreatif, yakni suatu industri yang menjadikan ide, talenta, atau kreativitas sebagai potensi untuk memperoleh kesejahteraan atau mendapatkan cuan.

Film-film yang tayang di layanan OTT tersebut tentunya diproduksi berdasarkan ide atau cerita yang dituangkan dalam bentuk skenario.

Baca juga: Sivia Menulis Sepenuh Hati di Single Suara

Semakin banyak layanan OTT, semakin banyak pula jumlah film yang harus diproduksi, maka semakin banyak pula kebutuhan pada naskah film atau skenario.

Itu artinya, keahlian ini menjadi sesuatu yang menjanjikan untuk ditekuni.

Butuh keterampilan dasar Berdasarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2019, ada 14 sektor industri kreatif, yakni: periklanan; arsitektur; barang seni; kerajinan kriya; desain produk; fesyen; film, video, dan fotografi; permainan; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer; radio dan televisi; serta riset dan pengembangan.

Meskipun revolusi industri berpotensi meminggirkan manusia karena banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh robot atau mesin, tetapi, kata Agus Hariyadi, industri kreatif tetap akan berusia panjang karena robot atau mesin tidak bisa mengambil alih pekerjaan tersebut.

Ada satu yang dimiliki manusia dan tidak dipunyai robot atau mesin, yakni rasa.

Di samping itu, industri kreatif akan menciptakan rantai pekerjaan yang panjang sehingga memperbesar peluang bagi banyak orang untuk sejahtera secara bersamaan.

Dalam dunia perbukuan misalnya, untuk menerbitkan sebuah buku, penulis bukanlah “pemain” tunggal.

Dibutuhkan setidaknya penyunting, penata letak, desainer sampul, penerbit, percetakan, hingga tenaga pemasar agar buku tersebut sampai ke tangan pembaca.

Begitu juga di industri film, selain artis, juga membutuhkan penulis naskah, produser, sutradara, penata rias, penata kostum, penata tempat, kameramen, dan lainlain.

Jika ingin dilebarkan lagi maka efek dominonya juga akan merambah hinggaa industri kuliner, pariwisata, transportasi, penyewaan alat, dan perlengkapan, bahkan fesyen.

Hal ini telah dibuktikan oleh komunitas-komunitas film di Aceh, misalnya Aceh Documentary ketika memproduksi “Ziarah Tanah Serambi” yang akan rilis Oktober nanti.

Baca juga: Mahad Aly MUDI Samalanga Gelar Pelatihan Metode Menulis Kitab Kuning

Lebih dari 21 orang terlibat dalam produksi film yang lokasi syutingnya berlangsung di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Tengah, dan Kota Sabang ini.

Dengan demikian, uang yang mengalir dari pekerjaan ini tidak hanya kepada artis atau kru, tetapi juga kepada masyarakat di daerah-daerah tersebut.

Semakin besar industrinya maka semakin besar lingkaran penerima manfaatnya.

Industri kreatif menjadi alternatif yang menjanjikan untuk mengurangi pengangguran di Aceh.

Berbekal talenta dan kreativitas yang terus diasah, industri ini bisa digeluti oleh siapa pun dengan modal yang minimalis.

Tidak memerlukan tempat kerja permanen karena bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Misalnya, berbekal keahlian menulis, tidak menutup kemungkinan bagi seseorang untuk menjadi jurnalis, editor, penulis buku, penulis pidato, ghost writer, teks iklan, atau penulis skenario sekaligus.

Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa menulis menjadi keterampilan dasar jika ingin terjun ke industri kreatif.

Pemerintah hanya perlu mendukung dengan memperbanyak pelatihan yang tepat guna dan tepat sasaran seperti yang dilakukan Disbudpar Aceh.

Ini terbukti ketika ada peserta dari Singkil, Langsa, Lhokseumawe, dan Aceh Jaya tetap bersedia mengikuti pelatihan di Banda Aceh meskipun panitia tidak menanggung akomodasi.

Meminjam pernyataan Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal, Indonesia khususnya Aceh memiliki dua hal besar, yaitu alam yang indah dan manusianya.

Kalau kita tidak mampu mengelolanya karena keterbatasan modal, satu-satunya cara ialah dengan menjadi kreatif. (ihansunrise@ gmail.com)

Baca juga: Wujudkan Literasi Sekolah, Puluhan Siswa SMAN 6 Lhokseumawe Dilatih Menulis 

Baca juga: Dari Teh Awet Muda Hingga Guru Menulis Buku, Ini Sederet Inovasi di MIN 50 Bireuen

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved