Jurnalisme Warga

Abu Tumin, Ulama yang Kekeh Menjaga Martabat Aceh

Dayah yang didirikan oleh Tengku Haji Imam Hanafiah, yaitu kakek Abu Tumin pada tahun 1890 itu merupakan lembaga pendidikan yang sangat legendaris

Editor: bakri
hand over dokumen pribadi
Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si,  Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh, melaporkan dari Blang Blahdeh, Bireuen 

Oleh Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si,  Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh, melaporkan dari Blang Blahdeh, Bireuen

* In Memoriam

HAJI Muhammad Amin, akrab dipanggil dengan Abu Tumin, wafat pada Selasa, 27 September 2022 pukul 15.45 WIB di Rumah Sakit Fauziah Bireuen.

Ulama besar ini berpulang pada saat umur beliau genap 90 tahun, 1 bulan, dan 10 hari.

Kepergiannya membuat Aceh kembali berduka.

Selain dikenal luas sebagai ulama karismatik, beliau juga Pimpinan Dayah Al Madinatuddiniyah Babussalam Blang Blahdeh, Bireuen.

Dayah yang didirikan oleh Tengku Haji Imam Hanafiah, yaitu kakek Abu Tumin pada tahun 1890 itu merupakan lembaga pendidikan yang sangat legendaris.

Berdiri tegak penuh wibawa hingga hari ini.

Abu Tumin adalah salah satu murid Abuya Muda Waly dan Syeikh Muhammad Hasan Al-Asyi Al-Falaki atau yang lebih dikenal dengan Teungku Hasan Krueng Kalee.

Baca juga: Perginya sang Pelita, Abu Tumin Dikebumikan Pagi Ini

Baca juga: ‘Ini Jadi Kehilangan Besar bagi Aceh’

Beliau seorang ahli fikih mazhab Syafii dan ahli tarekat Al-Haddadiyah, serta sangat menguasai kitab Syarah Al-Hikam karangan Syeikh 'Ataillah As- Sakandar.

Tumin dilahirkan pada 17 Agustus 1932 di Gampong Kuala Jeumpa, Kecamatan Jeumpa, Bireuen dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat serta paham terhadap ajaran Islam.

Kakeknya, Abu Hanafiah, adalah seorang pendiri sekaligus guru agama di Gampong Blang Dalam.

Ayahnya, Teungku Muhammad Mahmud atau lebih dikenal dengan Teungku Muda Leube adalah salah seorang guru di dayah yang dibangun oleh Abu Hanafiah.

Teungku Muhammad Mahmud sendiri semasa hidupnya pernah berguru kepada Teungku Hasan Krueng Kalee yang merupakan salah satu ulama besar pada masa itu.

Silsilah keturunan Tumin dari ayah beliau, Teungku Haji Mahmud Syah, memiliki tiga istri.

Yang pertama, Nyak Ti.

Dari istri pertama ayah beliau tidak memiliki keturunan.

Sedangkan istri kedua bernama Juwairiah, punya dua putri, yaitu Halimah dan Habsah serta dua putra, yaitu Syarifuddin dan Jafar.

Baca juga: Jenazah Almarhum Abu Tumin Dikebumikan Rabu Pagi

Istri ketiga ayah beliau bernama Khadijah, memiliki anak Muhammad Amin (Abu Tumin), Muhammad Ali, Nasruddin, Mustafa, Hendon, Abdullah, Fatimah, dan Ilyas.

Ketika kecil beliau lebih banyak mendapatkan pendidikan agama daripada pendidikan umum.

Terutama pendidikan didapatkan dari Inlandsche Volkschool, yaitu sekolah dasar rakyat hingga kelas tiga karena masuknya Jepang ke Aceh.

Pendidikan agamanya didapatkan dari dayah yang didirikan oleh kakeknya.

Selain itu, ia juga belajar di Dayah Pulo Reudeup, Jangka, Bireuen serta Dayah Darussalam, Labuhanhaji, Aceh Selatan.

Salah satu gurunya adalah Teungku Labaidin Susoh.

Setelah menempuh pendidikan selama tujuh tahun maka tahun 1959, Abu Tumin kembali ke kampung halamannya dan mengajar di dayah yang didirikan oleh kakeknya.

Abu Tumin melepas masa lajangnya pada 13 Rajab tahun 1384 (1964) dengan menikahi Ummi Mujahidah.

Pasangan ini dikaruniai enam anak: Khairiah Faridah, Amirullah Syahirman, Haidar Syahminar, Muhammad, Khadijatul Mutsanna, dan Marhaban Isyatul Mardiah.

Keluarga bahagia, sakinah, mawaddah warahmah yang menjadi impian setiap orang, sering dicontohkan kepada beliau yang memang sebagai panutan.

Ilmu agama yang beliau peroleh serta pengalaman mengajar kepada juniornya di berbagai dayah membentuk karakter yang sabar serta jiwa pendidik yang mumpuni.

Di bawah kepemimpinan beliau Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalah mengalami peningkatan luar biasa.

Baca juga: Ulama Karismatik Aceh Abu Tumin Meninggal, Pj Bupati Turut Berduka: Kita Kehilangan Sosok Panutan

Saat perayaan haul ke-57 tahun berdirinya dayah 21 Mei 2017 yang lalu, hadir ribuan alumni dari berbagai daerah dengan beragam profesi.

Saat itu Dayah Al-Madinatuddiniyah memiliki 1.300 santri putra yang mondok di lokasi dayah utama serta 890 santri putri yang pemondokannya berselang sekitar 200 meter dari dayah utama.

Pagarnya bersebelahan dengan kampus kami, Universitas Islam Kebangsaa Indonesia (Uniki) Blang Blahdeh Bireuen.

Tidak hanya santri yang berguru kepada Tumin, tetapi para ustaz pun banyak yang meminta pendapat serta petuahnya.

Jiwa ‘Cek Gu’, yaitu sebagai pendidik yang melekat pada diri beliau hingga akhir hayat masih dijadikan panutan dan rujukan setiap ada pembahasan tentang permasalahan agama.

Beliau sangat loyal terhadap Mazhab Syafii yang juga dianut oleh sebagian besar masyarakat Aceh.

Bila ada ulama yang bermazhab beda, beliau tak akan larut dengan perbedaan tersebut dikarenakan setiap orang yang bermazhab memang harus demikian.

Berbagai persoalan pemeritahan dan agama yang dihadapi oleh Pemerintah Aceh, baik tingkat provinsi hingga ke gampong hampir selalu dimintakan pendapat kepada Tumin.

Setiap pendapat yang beliau keluarkan jarang sekali dibantah oleh cerdik pandai serta ulama lain, bahkan sering dijadikan sebagai fatwa yang disepakati bersama.

Beliau aktif di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sebagai Dewan Penasihat atau Majelis Syuyukh.

Baca juga: Abu Tumin Tutup Usia, Pemerintah Aceh Sampaikan Duka Cita Mendalam

Banyak sudah alumni lulusan Dayah Al Madinatuddiniyah Babussalam yang meyebar ke seluruh penjuru daerah.

Mereka juga banyak mendirikan dayah di kampung halamannya sehingga pemikiran serta tarekat Naqsyanbandiyah tersebar luas di beberapa kabupaten kota di Aceh.

Konflik sosial yang sering terjadi di Aceh, banyak terselesaikan berkat pendapat yang beliau lontarkan dengan santun dan bijaksana.

Seperti halnya konflik tapal batas Gampong Cot Bada dan Teumpok Baroh yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah dengan unsur muspida, tetapi dapat beliau lerai dan cairkan sehingga terjadi kesepakatan dengan akur dan bijaksana.

Beliau juga selalu mendengungkan pentingnya kebersamaan dalam membangun Aceh yang lebih bermartabat.

Konflik serta penerapan konsep adu domba yang diwarisi oleh kaum penjajah hendaknya segera di hapus dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Kebersamaan serta saling menghargai dalam melaksanakan ibadah sunah hasil ijtihad dari sisi yang berdeda tidak boleh dipertajam.

Karena hal tersebut akan sangat merugikan bagi agama, nusa, dan bangsa.

Beliau sangat tidak sependapat bila Provinsi Aceh dipecah belah oleh oknum yang haus jabatan.

Bila Aceh dikoyak serta dibagi- bagi, benar akan ada jabatan gubernur hingga pemerintah terkecil lebih banyak.

Namun, masyarakat Aceh yang dikenal sebagai orang yang taat beragama dengan julukan Serambi Makkah, yang melekat tentu akan terkoyakkan sejalan dengan pemekaran Provinsi Aceh.

Utamanya yang berada di daerah perbatasan yang masyarakatnya sangat rentan terhadap misionaris.

Untuk kepentingan kedaulatan terhadap agama itulah yang membuat beliau tetap ‘kekeh’ untuk memperjuangkan Aceh agar tertap bersatu dengan nilainilai kebenaran religus yang kuat.

Setiap ada pelecehan serta pendiskreditan terhadap Aceh, beliau akan reaktif dan sering beliau ucapkan “Meunyo na gigoe ka kukap” karena marahnya terhadap pelecehan atas kedaulatan Aceh.

MoU Helsinki dan UUPA yang telah diperoleh Aceh ia inginkan diisi dengan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat yang sejalan dengan syariat Islam.

Momentum serta kesempatan tersebut jangan sampai disia-siakan sehingga menyesal kemudian.

Bila orang Aceh sendiri tidak memikirkan untuk pembangunan Aceh, siapa lagi yang diharapkan.

Untuk itu, beliau selalu lebih mengedepan kekompakan serta kebersamaan antarulama dan cendikiawan dengan umara serta masyarakat luas untuk bersatu padu dalam membangun Aceh yang lebih baik.

Semoga pikiran cerdas beliau dapat diteruskan oleh semua pihak dalam membangun masa depan Aceh yang mandiri serta lebih bermartabat. (apridar@unsyiah.ac.id)

Baca juga: ABU TUMIN Sang Ulama Ahli Fiqh Menghadap Ilahi, Aceh Berduka

Baca juga: Profil Abu Tumin, Ulama Kharismatik Aceh yang Ahli Dalam Bidang Fiqh,Kini Telah Menghadap Sang Ilahi

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved