Konflik Rusia Vs Ukraina
Dampak Perang Rusia Vs Ukraina, Kengerian Krisis Ekonomi Inggris, dari Makan Karet hingga Jadi PSK
Konflik Rusia dan Ukraina yang berkecamuk sejak Februari 2014 yang lalu, berdampak terhadap ekonomi banyak negara Eropa, termasuk Inggris
Konflik Rusia dan Ukraina yang berkecamuk sejak Februari 2014 yang lalu, berdampak terhadap ekonomi banyak negara Eropa, termasuk Inggris.
Negara maju itu kini tengah menghadapi krisis ekonomi parah.
Harga bahan pangan naik tajam, dan membuat banyak warganya kelaparan karena tak sanggup membeli makanan.
PADA 24 Februari 2022, Rusia menyerbu Ukraina, yang menandai eskalasi besar perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada tahun 2014 silam.
Konflik yang berkecamuk itu telah berdampak terhadap ekonomi banyak negara Eropa, termasuk Inggris.
Hal ini dikarenakan perang Rusia-Ukraina menjadi penyebab melambungnya harga minyak dan gas dunia.
Akibatnya, harga-harga kebutuhan pokok di berbagai negara Eropa, khususnya Inggris pun kian mahal.
Masyarakat Inggris pun terpaksa harus membayar biaya listrik yang melonjak sangat tinggi akibat perang Rusia-Ukraina.
Pada Agustus 2022, tingkat inflasi di negara itu masih berada di level 9,9 persen.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Dunia Bakal Resesi pada 2023, Ini Pilihan Investasi yang Tahan Krisis Ekonomi
Baca juga: Pemerintah Iran Abaikan Krisis Ekonomi dan Demonstrasi Nasional, Sebut Bukan Masalah Besar
Seorang mahasiswa Indonesia di London, Dhita Mutiara Nabella, mengungkapkan harga sewa tempat tinggal saat ini telah naik sebesar 15-25 persen.
Kenaikan harga juga terjadi pada bahan makanan.
Di restauran kenaikan yang terjadi mencapai 10-20 persen, sedangkan bahan makanan di supermarket dan pasar seperti telur naik mencapai 30 persen, demikian juga untuk daging dan sayur-sayuran.
Terkait energi, Nabella memaparkan kenaikan tagihan listrik bisa mencapai 60-80 persen.
Mengutip The Guardian, Jumat (23/9/2022), menurut laporan Money Advice Trust, diperkirakan 20 persen orang dewasa Inggris atau 10,9 juta orang menunggak tagihan listrik.
Angka ini naik sekitar 45 persen sejak perhitungan terakhir di Maret lalu.
Selain itu, berdasarkan survei opinium, terdapat 5,6 juta warga rela mengurangi jatah makan dalam tiga bulan terakhir sebagai akibat dari krisis.
Ini termasuk melewatkan makan, makan sekali sehari, atau tidak makan sama sekali pada beberapa hari.
Kepala Eksekutif Opinium, Joanna Elson, menyatakan jaminan harga energi pemerintah telah memang meredakan ketakutan akan kenaikan tagihan di masa yang akan datang.
Baca juga: Tunisia Didera Krisis Ekonomi, Kebutuhan Pangan Kosong, Warga Protes hingga Rebutan Gula dan Beras
Namun, krisis terlanjur berdampak pada jutaan orang.
"Banyak rumah tangga sudah menghadapi pilihan yang tidak mungkin, seperti melewatkan makan hanya untuk menyalakan lampu," kata Elson.
Tidak hanya mengurangi jatah makan, Opinium mengatakan hampir 8 juta warga Inggris sampai harus menjual barang pribadi atau alat rumah tangga demi meringankan biaya hidup terutama menutupi tagihan listrik.
Beberapa kepala sekolah di Inggris melaporkan anak-anak memakan karet atau bersembunyi di taman bermain saat jam istirahat karena mereka tak mampu membeli makan siang.
Sebagaimana diberitakan The Guardian, seorang anak di salah satu sekolah di Lewisham bahkan sampai berpura-pura makan makanan dari kotak bekal kosong karena tak mendapatkan makanan gratis dari sekolah.
Ia juga disebut berpura-pura makan karena tak ingin teman-temannya tahu kalau di rumahnya tidak ada makanan.
"Kami mendengar kasus anak-anak yang sangat lapar dan kemudian memakan karet di sekolah,” kata Naomi Duncan, Kepala Eksekutif Chefs in Schools.
"Anak-anak yang datang juga tak makan apapun sejak menerima makan siang pada sehari sebelum.
Pemerintah harus melakukan sesuatu," lanjutnya.
"Ini sangat menyedihkan bagi koki kami.
Mereka (para koki) secara aktif keluar dan menemukan anak-anak bersembunyi di taman bermain karena berpikir mereka bisa mendapatkan makanan, lalu kemudian (para koki) memberikan makanan ke anak-anak itu," tambah Naomi Duncan lagi.
Krisis ekonomi itu juga membuat banyak perempuan Inggris memilih menjadi pekerja seks demi bisa memenuhi biaya hidup mereka.
Baca juga: Banyak Warga Korea Utara Cerai karena Krisis Ekonomi
Juru bicara organisasi English Collective of Prostitutes, Niki Adams, menuturkan, para perempuan itu melakukan pekerjaan seks dengan berbagai cara, baik di jalan maupun secara virtual.
"Apa yang kami lihat saat ini adalah orang-orang bekerja di sana karena putus asa,” ucapnya.
Selain itu, Evening Standard mengungkapkan jumlah permintaan bantuan dari English Collective of Prostitutes meningkat sepertiga kali pada musim panas ini.
English Collective of Prostitutes sendiri merupakan organisasi bawah tanah bagi pekerja seks komersial di Inggris.
Organisasi ini memiliki jaringan bantuan dan pusat di berbagai kota Inggris, dan bertujuan memberikan pelajaran pada pekerja seks komersial untuk menjaga diri agar tetap aman.
Adams menilai tak hanya membuat sejumlah perempuan baru memilih bekerja seks, krisis juga menyebabkan masyarakat yang sudah lepas dari pekerjaan itu kembali lagi.
"Mereka didorong ke (sektor) tersebut karena entah mereka kehilangan pekerjaan 'lurus' mereka akibat Covid-19, atau itu tidak menutupi apa yang mereka butuhkan untuk hidup," katanya.
Tak hanya Adams, CEO lembaga pendukung pekerja seks MASH, Annie Emery, mengakui lebih banyak perempuan menghubunginya untuk menjadi PSK demi bisa hidup dan mendapatkan tempat tinggal.
Emery menilai pandemi Covid-19 memang memperburuk kehidupan perempuan yang sudah berada dalam situasi sulit.
"Saat Covid-19 melanda, kami melihat kenaikan angka perempuan yang kehilangan pemasukan mereka hanya dalam waktu semalam, membutuhkan paket pangan darurat, yang diusir dari tempat tinggalnya, atau tak dapat melakukan isolasi," ujar Emery. (CNN Indonesia)
Baca juga: Massa Tuntut PM Sri Lanka Mundur di Tengah Krisis Ekonomi, Presiden Tak Terdeteksi di Mana
Baca juga: Virus Corona Mendunia, Apakah Indonesia Bakal Alami Krisis Ekonomi? Ini Jawaban Menkeu Sri Mulyani