Breaking News

Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos?

Semua sejarawan sepakat menyebutkan bahwa masa kekuasaan Isandar Muda adalah masa emas kerajaan Aceh yang tak tertandingi

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos? 

Pujian itu tidak hanya diikuti dengan membuka cincin dan membiarkan raja melihat keindahan cincin itu oleh Baleau, namun ia segera menukas, ia memang sudah lama berkeinginan menghadiahkan cincin zamrud itu kepada Raja Aceh, Iskandar Muda.

Residu kehebatan Iskandar Muda dalam mengurus kepentingan berbagai negara melalui kegiatan perdagangan tetap berlanjut ketika menantunya berkuasa Iskandar Thani- dilanjutkan oleh puterinya-Ratu Safiatuddin, berikut dengan 3 ratu turunannya yakni Naqiyatuddin, Zaqiatuddin, dan Keumalat Syah.

Semua mereka menurut berbagai catatan adalah pemungut pajak perdagangan yang keras dan tak mengenal kompromi. Anehnya tak seorang pedagangpun, termasuk negara induknya yang berani melawan peninggalan Iskandar Muda itu.

Baca juga: Dideklarasikan Capres 2024, Anies Kutip Peribahasa Aceh: Jadda wa Jaddi, Meunan ta Pinta Meunan Jadi

Apa yang membuat Aceh sangat berbeda ketika Iskandar Muda berkuasa dibandingkan dengan para raja sebelumnya adalah prinsip sentralisasi pemerintahan yang sangat kuat, yang semua keputusan untuk wilayah taklukan, sepenuhnya berpusat di Bandar Aceh.

Disamping itu kekuatan militer Aceh, mampu menjadikan kerajaan ini sebagai satu-satunya “anti thesis” kehadiran dan penjajahan bangsa-bangsa Eropah yang sudah mulai menguasai sebagian besar Nusantara- Balanda, Portugis Timor Timur, dan bahkan Filipina- Spanyol.

Aceh dengan tegas memproklamirkan Portugis sebagai musuh yang telah dimulai oleh tiga raja sebelumnya -Ali Mughayatsyah, Al Qahhar, dan Almukammil.

Upaya hegemoni Portugis di kawasan Selat Malaka menjadi incaran “permanen” Aceh yang tidak pernah berhenti lebih dari satu abad.

Dengan sangat cepat Iskandar Muda menguasai pantai Utara Sumatera, dimulai dengan Kerajaan Deli pada tahun 1612. Aru dan Johor ditaklukkan pada 1613, Bintan 1614, Pahang 1617, Kedah 2019, dan Perak pada tahun 1620.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu

Walaupun Johor berhasil ditaklukkan, dan rajanya Alaudin Riayat Syah III dan keluarganya dibawa ke Aceh, perang dengan Johor tak pernah berhenti total. Nasib raja Pahang , Sultan Ahmad Syah juga sama dengan raja Johor, ditawan, dan dibawa ke Aceh.

Apa yang membuat Aceh unik dan hebat pada masa itu menurut Lombard (1991) adalah perbedaannya yang sangat mencolok dengan banyak kerajaan di Nusantara pada masa itu.

Jika banyak kerajaan lain di Nusantara adalah negara agraris, Aceh adalah kerajaan yang berbasis maritim dalam bentuk negara kota.

Aceh bahkan harus mengimpor beras dari kawasan lain, walaupun pada paruh dua kepemimpinan Iskandar Muda, Aceh swasembada beras.

Hal ini terjadi karena ia telah mendatangkan pekerja dan pembuka sawah untuk tanaman padi di lembah Krueng Aceh, dan di kawasan Pidie. Utamanya pekerja itu adalah para budak yang dibeli dan berasal dari India.

Kualifikasi negara kota paling kurang dicirikan oleh dua basis kuat yang saling terkait yakni, volume perdagangan luar negeri yang masif, dan kedigdayaan angkatan perang, terutama angkatan laut. Sumber utama keuangan kerajaan

Aceh pada masa Iskandar adalah salah satu mata rantai konektivitas global yang menghubungkan Asia Timur-Cina, Asia Tenggara, Asia Selatan-India, dengan Timur Tengah, Asia Kecil-Turki, sebagian Afrika-Ethiopia, dan benua Eropah.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved